Tragedy Tarik Tambang Dan Malam Penyerahan Piala Yang Sunyi
Lamcin Squad is ready to receive the trophy |
Pagi yang cerah, segelas susu hangat
menemani kami setelah membereskan semua jenis makanan yang dipersiapkan oleh 3
panglima dapur. Lagu Pesawat tempurku dari Bang Iwan Fals berulang-ulang kami
nyanyikan di teras rumah ini, apalagi pada bagian yang paling saya senangi
“Penguasa penguasa berilah hambamu uang, beri hamba uang”. Ah, entah apa yang
musisi legendaris bernama asli Virgiawan Listanto rasakan ketika menciptakan
lagu itu, tapi liriknya tepat mengekspresikan perasaan dompetku. Mungkin ada
yang mulai bosan mendengarnya tapi apa boleh dikata, gitarisnya adalah saya
sendiri, gitaris dadakan yang tak sedikitpun merasa alergi untuk mengulanginya.
Kampung Merapun sangat sibuk di pagi
hari, mobil-mobil pengangkut karyawan sawit mondar-mandir sejak subuh. Para
petani yang tak menggantungkan lehernya ke perusahaan sawit bergegas menuju ke
ladang, bus sekolah tak henti-hentinya membunyikan klakson untuk membangunkan
anak SMP, pegawai kantoran berlalu menebar pesona dengan baju dinasnya, kawanan
anjing sibuk kejar-kejaran di jalanan, anak-anak sibuk bermain sepak bola,
Pa’le Pentolan sibuk melayani bocah yang mengerumuni dan memainkan terompetnya.
Dan saya, saya sibuk memperhatikan semua itu. Kurang kerjaan!
Hari ini akan menjadi hari terkhir
perhelatan PORSENI, Lamcin masih menyisakan 4 cabang olahraga yang harus di
hadapi, Final sepak takraw, perburuan posisi 3 volley putri dan semi final
tarik tambang putra putri. Artinya hari ini akan menjadi penentuan berapa
banyak piala yang bisa kami boyong setelah memastikan satu perak di hari
pertama lewat cabang olahraga lari 100 meter putra. Setelah menyerup semua isi
gelas dan menutup indahnya pagi dengan lagu Rumah kita dari God bless, kami
bersiap-siap menuju lapangan takraw menghadapi tuan rumah Gunta Samba.
***
Kostum hitam putih dengan logo 3
balok terpampang di dada memberi kesan garang pada para pemain SD Gunta Samba
yang didominasi oleh anak-anak berbadan kekar dan kulit hitam. Lamcin sendiri
masih setia dengan kostum biru gelap mereka. Supporter tuan rumah sudah
memenuhi lapangan lengkap dengan alat drum band semacam bas dan cymbal, mereka
benar-menar total memberi dukungan dan sepertinya siap merayakan kemenangan.
Tapi kami tak ingin ciut, meskipun hanya bermodalkan botol air mineral yang
sudah babak belur kami juga tetap mendukung penuh. Kehebohan pendukung kedua
kubu menambah sensasi panas laga final.
Amos, Jeki, Yaret, Yoses Pemain takraw andalan SD Lamcin |
SD Long Lamcin Vs SD Gunta Samba Laga Final Sepak Takraw Porseni Merapun 2016 Kelay, Berau |
Jeki, Yaret, dan Yoses masih
dipercayakan untuk menjadi starters. Mereka bertiga memang pasangan yang kompak
dan serasi, trisula yang mematikan. Sejak awal kami membawa bola takraw ke
kampung 4 bulan yang lalu, ketiga anak ini memang paling rajin latihan, bahkan
ketika perayaan Natal gabungan di Lamcin pada bulan Desember Jeki dan Yaret
sudah meraih medali perak. Waktu itu, saya sendiri yang menjadi kapten mereka
menempati posisi yang sekarang diisi oleh Yoses, tekong.
“Gunta Samba, Gunta Samba, Gunta
Samba” Cabe-cabean di pinggir lapangan mulai bersorak memberi dukungan dengan
nada 4 ketukan. Alat drum band mereka menjadi keributan tersendiri tapi
terdengar seru. Not bad!
“LAMCIN, LAMCIN, LAMCIN” meskipun
sudah berteriak dan sekuat tenaga menghajar botol bekas, suara kami masih tenggelam
oleh keperkasaan instrument mereka. Ah, sudahlah. Biar pertandingan yang
menentukan.
Bola kuning yang terbuat dari bahan
plastic itu menyebrangi net bergantian memasuki area team. Satu, dua poin
bertambah untuk Gunta, kesalahan-kesalahan kecil yang sering dibuat Yoses
memudahkan team lawan unggul. Sepertinya dia grogi dengan kehebohan penonton.
Jeki dan Yaret terlihat gemas dengan mental Yoses yang cepat gentar.
Berkali-kali mereka menyemangati rekan se-timnya itu. Pak Adi ikut bertepuk di
sisi lapangan mengingatkan Yoses agar bermain santai.
11-3 untuk keunggulan Gunta, lalu Pak Adi
meminta waktu break kepada wasit, wasit memberi izin. Pak Adi mengulang-ulang
kata yang sama, “Bermain rileks Yos, anggap saja ini latihan, OK!” Yoses
meminum air putih lalu menyiram wajahnya. Seluruh pendukung bersorak kompak
lalu pemain kembali memasuki lapangan.
Ajaib, senyum mengembang di wajah
Yoses yang berpipi bakpao itu. Dia seperti baru saja bangun tidur dan mendapat
kekuatan super. Kesalahan-kesalahan yang tadi sering dia lakukan telah sirna.
Umpan-umpan manis terus dia sodorkan ke dekat net dan langsung disambar dengan
heading menukik oleh Jeki dan Yaret. Pendukung Gunta kehilangan alasan untuk
membunyikan cymbalnya lagi. Suara botol bekas bergemuruh sepanjang laga sampai
akhirnya pertandingan berakhir dengan skor 21-16.
Babak kedua menjadi laga yang tragis
untuk team tuan rumah. Beberapa kali mereka mengganti pemain untuk menyegarkan
kekuatan namun hasilnya nihil. Keperkasaan trisula Lamcin benar-benar menjadi
mimpi buruk untuk Gunta Samba. Jeki dan Yaret tanpa ampun membuat mereka tak
berdaya, Yoses menjadi pemain kunci yang memuluskan aksi 2 sepupunya di depan
untuk memupuk poin-poin kemenangan. Terong dicabein yang berjejer di sisi area
Gunta menjadi layu dan tak bergairah lagi memberi teriakan-teriakan histeris
seperti pada awal laga. Bahkan ketika andalan mereka mencetak poin, itu terasa hambar
dan sepertinya hanya kebetulan saja. Pertandingan usai dengan kemenangan
kembali untuk Lamcin, 21-8.
Penampilan yang sungguh sempurna, Lamcin
halal menyandang status juara satu untuk cabang sepak takraw tingkat Sekolah
Dasar tahun ini. Dalam euforia yang membuat suaraku terasa parau, pikiranku
tiba-tiba menerawang jauh kembali pada saat anak-anak ini dengan ekspresi
memelas meminta diajari cara mengontrol takraw dengan dada, melepaskan heading
yang tajam, memberi passing menggunakan kaki bagian dalam, atau melakukan smash
yang mereka sebut “lipat”. Apa yang dengan sabar mereka pelajari waktu itu,
kini dengan sempurna mereka praktekkan dan membawa mereka pada status juara.
Ah, mereka sungguh siswa-siswa yang hebat, hanya butuh sedikit pemantik untuk
melejitkan potensi mereka. Guru-guru yang selalu menganggp siswanya brutal dan
tumpul semoga mau mengintropeksi diri dan merubah cara pandang mereka dari
melihat masalah ke potensi. Mungkin dengan itu, pendidikan di negeri ini bisa
maju.
***
Laga perebutan posisi tiga untuk
cabang volley putri mempertemukan Lamcin dengan Long Suluy. Belum lagi
pertandingan dimulai, kehebohan sudah terjadi ketika Fitri dan Mila menghampiri
saya dan Ahmad.
“Sory ces, kami tidak
bertanggungjawab kalau anggotamu ditumbangkan sama pasukanku” Mila membuka
percakapan dengan sedikit menyombong. Lalu terbahak dan meminta tos.
“Apa na kana innie, kalian
tidak lihat kah itu pasukannya Lamcin, kayak mahasiswa semester 3 semua
besarnya” Balas Ahmad bercanda.
“Lamcin semester 3, Suluy ibu-ibu
PKK” Tambah Pitto datar lalu kami semua tertawa. Wkwkwk.
“Weh, bagaimanaji hasilnya takraw?”
Tanya Mila penasaran.
“O, jelas juara toh. Siapa dulu
pelatihnya.” Jawabku sambil menegakkan kera jaket orens kebesaran LPTK UNM.
“Sombooong!” Kata mereka kompak
sambil memukuliku.
“Serius, juara?” sekali lagi Pitto
mengkonfirmasi.
“Iye, serius!”
“Wah selamat cika’, keren memang
siswa-siswamu bah” kata mereka berdua sambil menyalami saya dan Ahmad.
“Eh, maumi mulai pertandingan, kami
pergi dulu kasi semangat pasukan nah”
“Ok!”
Mereka kembali ke pasukan mereka,
kami juga bergabung dengan team. Sejurus kemudian, peluit telah berbunyi dan
partandingan pun dimulai. Tak ada lagi suara alat drum band seperti tadi, tapi
keseruan tetap terjadi.
Seperti kata Mila “siswa kalian
memang keren” Resta, Juli, Herlina, dan Yenni menyelesaikan laga dengan mudah.
2 set berlalu dengan cepat dengan kemenangan yang nyaris terbilang sadis. Team
putri mengunci juara 3 dan ikut menyumbang 1 medali, Alhamdulillah.
Mila dan Pitto datang lagi dengan
ekspresi dan keceriaan yang masih sama. Seperti yang sudah saya katakana,
“kemenangan peserta didik kami adalah kemenangan pejuang pendidikan”. Mereka
ikut senang dengan hasil pertandingan yang baru saja usai seolah tak ada beda
antara Lamcin dan Suluy. Kami tetap melanjutkan obrolan sampai keramaian
membubarkan diri dan kami pun ikut bubar kembali ke peristirahatan
masing-masing. What a wonderful morning.
***
Sore datang lebih cepat, hujan yang
baru saja reda membuat suasana menjadi gloomy. Langit gelap dan angin
bertiup kencang. Umbul-umbul yang menghiasi kampung di sepanjang jalan terlihat
melambai-lambai dan tiangnya bermiringan tertiup angin. Rumput lapangan basah
dan genangan air terdapat di beberapaa titik. Hal ini tidak berarti baik untuk
pertandingan tarik tambang yang sebentar lagi akan dimulai.
4 team tersisa untuk tarik tambang putra,
Lamacin, Suluy, Labaan dan Long Boy. Kelas putri juga demikian, 4 team lolos ke
semi final yaitu: Suluy, Lamcin, Merasa dan Long Nguikian. Penonton yang begitu
padat cukup teratur dengan mengindahkan instruksi panitia untuk mengambil jarak
minimal 3 meter dari tambang. Peserta leluasa bergerak, pandangan penonton juga
tidak saling menghalangi.
Laga
awal mempertemukan Long Boy vs Labaan dan dengan mudah dimenangkan oleh Labaan.
Bagaimana tidak, atlit Labaan adalah kumpulan anak mami yang bertubuh gemuk,
bulat dan bergairah, mirip pesumo Jepang. Mereka kelihatan lamban tapi sangat
kuat menarik tali terlebih dengan berat badan mereka yang entah berapa, membuat
mereka sangat sulit digerakkan. Anak-anak Long Boy terlihat menyedihkan
terseret hingga baju mereka beruba warna. Umi dan Ika, guru SM-3T Long Boy
hanya bisa tersenyum kecut melihat kenyataan yang terjadi. Sabar kawan,
perjuangan masih panjang!
Setelah
satu laga putra, selanjutnya adalah Putri. Dan yang pertama bertanding adalah
Lamcin melawan Suluy. Seperti yang Pitto katakana tadi pagi di lapangan volley,
siswi mereka adalah ibu-ibu PKK, sedangkan Lamcin hanya seukuran mahasiswa
semester 3. Dengan begitu, kekuatan fisik jelas Suluy yang unggul. Tek perlu
berpanjang lebar, Suluy memanangkan 2 set langsung dengan mudah. Wajah Pitto,
dan Mila langsung berseri-seri.
Penonton
tak bisa ditahan lagi ketika yang berlaga adalah Lamcin vs Suluy versi jantan. Keduanya
memiliki postur yang relative sama, meskipun ada satu pemain Suluy yang
ukurannya macam mahasiswa pasca sarjana, tapi itu tidak terlalu berpengaruh
karena 4 lainnya seukuran saja dengan 5 pemain Lamcin. Penonton merengsek
mendekati tambang, mempersempit ruang gerak pemain.
Tambang
sudah dalam genggaman, Jeki yang menempati posisi paling depan tak
henti-hentinya mendapat sorakan dari para penonton. Aksinya pada laga tarik
tambang sebelumnya memang sangat memukau. Terlebih karena posturnya terbilang paling
pendek diantara teman-temannya tapi isinya otot semua. Peluit berbunyi dan
teriakan menyemangati dari penonton tak ada putusnya.
Suaraku
semakin parau, sepertinya tak waras jika hanya berdiri dan tenang sambil melipat
tangan di dada ketika melihat laga tarik tambang semacam ini. Garis merah pada
tambang bergantian melewati batas bahkan terkadang hanya diam menegang.
Anak-anak yang masih berstatus siswa SD ini mempertontonkan kekuatan yang tak
pernah kulihat sebelumnya. Urat-urat mereka menonjol bak kawat baja, keringat
berkejaran menyucur dari pori-pori lalu mengalir di atas otot-otot yang
membatu. Kehidupan keras yang mereka lalui setiap hari jelas bertanggung jawab
atas kekuatan yang luar biasa ini.
Sama
kuat tak berarti keduanya harus sama-sama menang, mesti ada yang kalah atau
mengalah, dan yang lebih dahulu melakukan itu adalah team Suluy. Nafas kembali
lega setelah sempat tertahan beberapa saat, 1-0 untuk Lamcin. Terjadi pertukarn
tempat dan laga kembali dilanjutkan.
Di
babak kedua, Suluy menarik tambang lebih kuat dan berhasil memenangkan
pertandingan. Skor 1-1 dan harus dilanjutkan ke babak ketiga. Sebelum babak
penentuan ini berlangsung terjadi sedikit ketegangan karena panitia tak kembali
menukar posisi. Bang Jack, suami Ibu Linlin yang environmentalist itu
melayangkan protes namun tak direspon dengan baik. Menurut pengamatan Bang
Jack, Lamcin dirugikan jika tidak dilakukan pertukaran tempat karena ada
genangan air di sana dan itu menyulitkan para pemain untuk mempertahankan
posisi mereka. Setelah melakukan negosiasi akhirnya disepakati untuk
memindahkan arena ke lokasi yang benar-benar kering.
Telapak
tangan anak-anak telah terkupas, Jeki dan Yaret yang paling parah. Saya
menggenggam tangan mereka satu persatu sambil memberi semangat agar tidak
berputus asa, “Sedikit lagi, nak. Kalian pasti menang” Kataku. Dan hitungan
sampai tiga kembali terdengar. Wajah kelelahan dan nyaris putus asa terliahat
dari setiap pemain, penonton yang tadi bersorak seru dan menikmati pertandingan
kini terlihat iba menayksikan kerja keras para pemain, sakitnya jeratan tambang
dan luka lecet seolah ikut mereka rasakan. And finally, Lamcin kembali keluar
sebagai pemenang. Skor 2-1 mengantarkan mereka ke pertandingan puncak melawan team
“sumo” dari Labaan. Yes!!!
Sebelum
laga final putra berlangsung, kembali semi final putri dilaksanakan. Panitia
terbilang cerdas dengan membuatnya selang-seling seperti ini agar para pemain
memiliki waktu jeda yang cukup untuk mengumpulkan tenaga. Long Nguikian,
sekolah tempat Sade’ dan Firman mengabdi menjamu team kuat dari kampung Merasa.
Pasukan Merasa adalah Labaan dalam wujud perempuan, sungguh besar dan
bulat-bulat, Female Sumo. Hasilnya sudah bisa ditebak, kemenangan mutlak
untuk Merasa. Dengan ini maka Long Nguikian akan menghadapi Lamcin untuk
perebutan posisi 3, sedangkan Merasa akan menjamu team yang seimbang dengan
mereka yaitu Suluy, Sumo vs pengurus PKK.
Perburuan
posisi 3 terlebih dahulu digelar baik putra maupun putri. Penonton semakin banyak
memadati arena, dan aksi senggol-senggolan tak bisa dihindarkan. Panitia nampak
kewalahan mengurusi kekacauan ini tapi pertandingan tetap bisa berjalan.
Hasilnya, Suluy keluar sebagai juara 3 Putra dan Long Nguikian menumbangkan
Lamcin untuk memastikan tempat di posisi 3 Putri. Sade’, Firman, Mila, dan
Pitto tertawa lebar.
Tidak seperti sebelum-sebelumnya, wasit kali
ini memonopoli hitungan sehingga terjadi kejutan di babak pertama laga final
putra antara Lamcin melawan Labaan. Jika sebelumnya penonton ikut berhitung,
kenapa sekarang hanya wasit dan dia melakukannya dengan terburu-buru, jelas ada
yang tidak beres dengan ini. “Satu… dua, tiga” seharusnya “Satu… dua… Tiga!”
Anak-anak jelas kaget karena pada hitungan pertama mereka masih dalam tahap mengumpulkan
tenaga dan mencari posisi yang pas, tapi tiba-tiba saja hitungan wasit
berkacamata hitam itu langsung meluncur bagai kilat hingga hitungan 3. Walaupun
sempat menahan tali tapi kekuatan fisik dan mental pemain Lamcin sudah kacau
dan akhirnya menyerah.
“Apa-apaan
ini wasit! Kenapa hitungannya seperti itu?” Bang Jack membuka keran protes.
“Lho,
kenapa? Sampe tiga, kan!” Wasit yang ternyata guru dari SD Labaan itu membela
diri.
“Memang
sampe tiga, Pak, tapi jangan terburu-buru seperti itu. Kami bukan anak kecil
yang bisa di bodohi” Pak Rendi ikut protes. Sang wasit masih mengelak dan
seolah-olah apa yang dia lakukan itu tidak salah. Sontak hal itu mengundang
keributan dan akhirnya salah seorang pengawas melerai dan meminta agar
pertandingan dilanjutkan, adapun babak pertama tadi tetap dianggap sah. Jelas
kami tidak ikhlas. Anak-anak sebenarnya tidak mengerti dengan kecurangan yang
terjadi, setahu mereka adalah mereka kalah tanding.
Babak
kedua dilanjutkan dengan hitungan yang normal, ketegangan memenuhi arena
pertandingan. Tubuhku terasa gemetar dengan emosi yang meluap-luap, penonton
tidak terlalu ribut kali ini, fokus menyaksikan laga. Dan hasilnya positif,
Jeki Cs menyeret lawannya seperti sedang menarik ketinting yang kandas di
sungai yang dangkal. Saya berteriak kegirangan tak karuan, emosi yang sempat
tertahan langsung meledak dan nyaris menghancurkan pita suaraku. Pertandingan
ditentukan ke babak 3.
Environmentalists, Bang Jack And Bu Lilnlin |
Penonton
semakin tak terkendali dengan merengsek sampai hanya beberapa centi saja dari
tali. Tanpa berlama-lama, hitungan yang normal kembali dilakukan dan tambang
langsung menegang. Saya pikir ini akan menjadi mudah seperti babak ke-2 tadi
tapi ternyata salah. Susah payah pemain Lamcin menarik tapi tak sejengkalpun
Labaan bergerak, nafas mereka yang tertahan guna mengumpulkan tenaga membuat
wajah mereka memerah bukan main dan nyaris tak menyerupai wajah asli mereka
lagi. Akhirnya mereka kehabisan tenaga dan balik diserang, perlahan namun pasti
Labaan menarik tambang dengan mantap hingga sedikit lagi batas akhir tali
melewati titik kemenangan.
Dadaku
berdetak 10 kali lebih cepat seolah tak percaya dengan apa yang sedang
kusaksikan ini. Semakin dekat, saya bersusah payah meyakinkan diri bahwa ini
hanyalah permainan dan menang kalah adalah hal yang wajar. Kembali kupandangi
anak-anak satu-satu, Jeki, Yaret, Mika, Welden, dan Amos, mereka nyaris mati
mempertahankan tambang ini dan pasti rasa sakit di telapak tangan mereka sudah
sungguh tak terperi. “sudah lah, nak. Lepaskan saja tambang itu, kalian sudah menjadi
juara buatku” bisikku dalam hati. Dan tali akhirnya mengendor.
Bukan
kalah, bukan. Adu mulut kembali terjadi. Bang Jack lagi-lagi melakukan protes,
kali ini lebih keras.
“Kurang
ajar! Kau ini siapa? Kenapa mengacaukan permainan?” Kata salah seorang kepala
sekolah yang berbadan tinggi gelap dengan perut buncit dan bibir yang sangat
hitam, ya, Dialah Pak Dedi.
“Tidak
penting saya ini saiapa, yang jelas permainan tidak fair, curang! Ada kaki yang
masuk di tengah untuk jadi tumpuan mereka. Banyak yang lihat itu!” Kata Bang
Jack dengan sangat emosi. Bukannya mencari tahu siapa yang telah berbuat
curang, sang kepala sekolah malah mendorong-dorong Bang Jack dan mepersoalkan
identitasnya.
“Heh,
kamu ini bukan siapa-siapa di sini, yang boleh protes itu cuman official” dan
sekali lagi mendorong dada.
Melihat
percekcokan itu, saya langsung berlari menarik Bang Jack, dan ikut protes.
“Jangan
begitu, Pak. Bang Jack ini orang Lamcin juga jadi wajar dia protes. Kita cari
saja pelakunya biar masalah selesai” Kataku mencoba menengahi.
“Kamu
jangan banyak cincong! Mau kuhajar kamu?” katanya sambil menarik-dorong leher bajuku
yang tak berkera. “Kamu official kah?” dia menambahkan.
“Saya
gurunya, pak. Masa dilarang protes”
“Argh,
kau ini SM3T bikin kacau saja” tatapannya tajam membara dan sekali lagi
mendorongku dengan kasar. Orang ini sudah sangat keterlaluan, pikirku.
Masalahnya adalah saya dan team secara pribadi tapi yang diseret adalah
institusiku. Tidak mencerminkan sikap seorang pendiddik! Pikiranku makin tak
karuan, segala macam tindakan offensive kupikirkan, seolah tak peduli lagi
dengan perawakannya yang menyeramkan. Sebelum saya melakukan tindakan yang
bodoh, sekali lagi rombongan pengawas dan guru datang melerai dan menawarkan
negosiasi.
“Kami
tidak minta banyak pak, kalau memang yang tadi melakukan kecurangan tidak mau
diperjelas, cukup penonton ditertibkan. 3 meter dari pemain” pintaku dengan
suara bergetar.
“Ok,
kita ulangi babak ke-3. Penonton menjauh” kata salah seorang diantaranya.
Sementara
Penonton diterbitkan, saya mendekati anak-anak dan melihat tangan mereka yang
semakin parah, bukan lagi lecet tapi benar-benar sudah robek.
“Bagaimana,
nak? Masih kuat kah?”
“Kayak
mau menyerah saya, Pak guru. Sakit sekali!” Kata Yaret dengan wajah kesakitan.
“Saya
juga, Pak guru. Mereka kuat bettul” Jeki menambahkan.
Kasihan
sekali melihat mereka mengeluh kesakitan, ingin rasanya kukatakan “ya udah,
lepaskan saja kalau begitu, nak” tapi mulutku justru mengatakan sebaliknya, kalian
dengarkan Pak guru, nak. Kalian lebih kuat dan mereka sudah kehabisan tenaga.
Kalian genggam tali ini kuat-kuat dan jangan pikirkan sakitnya. Ingat, jangan
pikirkan sakitnya, fokus untuk bertahan dan menyerang. Ok! Kita pasti bisa!
kugengam tangan mereka semua satu persatu lalu menepuk pundaknya.
Saya
kembali ke barisan penonton tapi kali ini lebih di belakang sampai pandanganku
tidak jelas melihat tali. Hanya punggung penonton yang bersorak dengan lantang
yang bisa saya saksikan. Angka 3 tersebutkan dan tak lama kemudian kulihat dari
sela-sela kurumunan Jeki menghempaskan tubuhnya ke bumi. Penonton serempak
menyesaki arena dan kulihat senyum bahagia dari orang-orang yang kukenal. Ya,
Lamcin telah menang. Saya langsung berlari cepat sambil berteriak sangat
kencang tanpa tahu lagi kata apa yang kusebutkan. Kupeluk Jeki yang nyaris
kehabisan nafas dan telah terkapar di lapangan. Guru, pemain, pendukung
berkerumun merayakan kemenagan yang sulit itu. Dan suaraku telah habis dalam
arti yang sebenarnya.
Dalam
perjalan berombongan kembali ke markas, saya mencoba merapikan perasaan dan
pikiranku yang betul-betul telah berantakan. Tak habis pikir dengan perilaku
beberapa oknum panitia yang serius mencoba mencurangi kami. Terlebih pada satu
orang itu yang perkataannya sangat kasar. Arrghh, Big Men, entah kapan
kebencianku padanya bisa memudar.
Beberapa
kemungkinan sambar menyambar melintas di pikiranku. Pikiran tentang adanya
kecemburuan, ketakrelaan, kepenatan yang memuncak, sampai pada kemungkinan
praktik perjudian oleh orang-orang tertentu. Ah, entahlah. Yang jelas, momen
tanding seperti ini seharusnya bisa dimanfaatkan sebagai ruang pendidikan
nilai-nilai kehidupan seperti fair play, kesetiakawanan, kekompakan, kejujuran,
keadilan, dan demokrasi. Bukan malah kesewenang-wenangan dan kediktatoran.
Sudahlah,
pikirku. Setiap orang
memiliki persoalan masing-masing dan mungkin yang baru saja terjadi hanya
sebuah pelampiasan dari rentetan peristiwa yang tidak mengenakan. Cukup di
lapangan ini saja, dan moment ini saja, saya datang untuk mengabdi dan menginspirasi
bukan mencari masalah apalagi membuat kekacauan. Lagipula, malam ini saya akan
mengiringi teman-teman seperjuanga tampil mengisi sesi hiburan. Kupandangi
sungai Merapun yang mengalir deras dan berbelok-belok, puluhan bocah tak
berbaju yang bermain air, hijaunya deretan pepohonan di sepanjang sungai
membuat hatiku kembali sejuk, kutarik nafas panjang lalu kutenggelamkan
kepalaku dalam-dalam. Hanyutlah kau masalah!
***
Selepas magrib, Merapun malam ini tidak
kalah sibuk dengan Merapun yang tadi pagi. Panitia sibuk menyiapkan panggung
hiburan beserta tenda para tamu dan undangan, pasukan Lamcin sibuk mendandani
diri agar tampil mempesona kala menerima piala nanti, pedagang sibuk melayani
pembeli ada juga yang hanya sibuk menarik perhatian orang yang melintas, Ahmad
sibuk mengambil gambar, Ibu Eka sibuk mendiamkan Dika, anaknya, Pak Rendi sibuk
mengusir semut dari kopinya, Ibu Linlin dengan suaminya. Dan saya, saya merasa
sepi, tepatnya sibuk dengan kesunyian.
Amos dengan tropy juara 2 lari sprint 100 meter |
Orang-orang berseliweran di depan
rumah dengan keperluan masing-masing kebanyakan menuju pusat keramaian yaitu
panggung hiburan. Suara music dengan dentuman gendang yang cepat bertalu-talu
dari speaker bertumpuk, terasa hingga ke jantung. Suaraku sudah hilang 90
persen, hanya dengan kerja keras mulutku bisa mengeluarkan gelombang tapi
rasanya tidak perlu menyiksa diri untuk berbicara lagi. Seluruh rentetan
pertandingan telah usai dan anak-anak sudah meraih hasil yang maksimal,
sebentar lagi mereka akan mengangkat 4 piala dan itu menjadi balasan yang
setimpal atas hilangnya suaraku.
Saya akhirnya ikut bersama rombongan
menuju tenda acara setela bersusah payah meyakinkan diri sendiri. Anak-anak menempati kursi yang
telah disediakan dan saya berdiri melipat tangan di dada menyaksikan keramaian.
Entah kenapa, saya kehilangan gairah. Saya tidak yakin bisa tampil malam ini.
MC membuka acara, melakukan ritual
kata sambut dan puji-pujian yang overdosis kepada para pemangku jabatan entah
itu pimpinan perusahaan, lurah, tokoh adat, pemuka agama, orang dinas,
macam-macam. Sepertinya tidak sah dengan sekedar mengucapkan selamat datang.
Setelah rentetan sepatah kata dari beberapa orang, saatnya pembacaan nama-nama
juara dan penyerahan piala.
SDN 012 Kelay, Long Lamcin
tersebutkan sebanyak 4 kali di atas podium. Bergantian siswa yang telah ibu Eka
tunjuk maju untuk mengambil piala dan berpose untuk memuaskan kamera di
genggaman Ahmad. Amos untuk juara II lomba lari 100 metter, Herlina menaiki
panggung dengan rambut kepang duanya untuk mewakili team voli putri sebagai
juara III, Yaret dengan gagah untuk juara 1 sepak takraw, dan yang mendapat
sorakan paling meriah adalah Jeki dengan postur mininya mewakili seluruh team
untuk juara 1 tarik tambang putra.
Sampai acara selesai, tak sedikitpun
ada singgungan mengenai sesi hiburan yang akan diisi oleh guru-guru SM-3T. That’s
fine, I am not surprised. Teman-teman yang lain sebagian merasa kecewa,
terlebih mereka yang belum tahu sebab musababnya, kejadian di arena tarik
tambang tadi memang menyisakan sedikit luka. Bergantian teman-teman
menghampiriku dan mengkonfirmasi cerita miring yang mereka dengar dari guru dan
kepala sekolah masing-masing. Tentang Anak SM-3T Lamcin yang mengacaukan acara
PORSENI, rasanya sangat berlebihan dengan itu tapi apa daya, suaraku
benar-benar sudah habis maka jawabanku hanya anggukan dan gelengan, Ahmad bisa
menjelaskannya sedikit-sedikit dan melalui buah perenunganku inilah saya
jelaskan apa adanya.
***
Baca juga:
0
komentar