Perjalanan Ke Long Lamcin
Waktu masih menunjukkan pukul 5
pagi, Pak Duta bersama tiga anak SM-3T lainnya sedang sibuk mempersiapkan
barang—barang sebagai bekal menuju ke desa. Sedangkan saya, tak tau malu masih
terbaring lemas di atas kasur merah bernama sprimbet. Belum shalat subuh pula.
Pagi itu, sesuai rencana awal, kami
akan berangkat ke desa Long Lamcin menempuh jalur darat. Jadi, sebenarnya ada
dua jalur menempuh perkampungan Dayak tersebut, sungai menggunakan ketinting
dan darat menggunakan mobil 4WD (4 Wheel Drive), biasanya mobil TRITON. Perjalanan kesana
membutuhkan banyak pertimbangan. Pertama, musim apakah hujan atau kemarau. karena
mengarungi sungai di musim kemarau berarti menyerahkan diri pada batu-batu
sungai yang siap menghadang perjalanan anda. Konon, ada yang melintasi sungai
pada saat kemarau, tapi naas nasib mereka terhenti oleh bebatuan. Adapun jika
musim hujan tiba, sepertinya tidak lebih baik dibanding kemarau karena air akan
melimpah dan arusnya akan sangat deras. Terlebih lagi, Long Lamcin terletak di
hulu yang artinnya perjalanan sungai harus melawan arus. Arus deras, perahu
kecil, barang bawaan banyak plus jarak tempuh 7-10 jam. Ooo, Indo’e. toba’ ka’!
Penarikan kesimpulan saya untuk sementara adalah, hujan atau kemarau perjalanan
melalui sungai itu lebih tepat dikatakan uji nyali daripada bepergian.
Adapun menggunakan jalur darat,
baik hujan ataupun kemarau kendaraan yang paling ampuh adalah mobil strada itu.
Di saat hujan, adrenalin akan diuji karena kebanyakan driver strada adalah
orang-orang yang hobby offroad, sebuah olahraga balap mobil yang dilaksanakan
di jalan yang becek dan licin di daerah pegunungan dengan jurang-jurang yang
menganga. Dan medan dari Tanjung Redeb ke Long lamcin sangat memenuhi syarat
untuk menjadi arena ofroad. Untunglah, saat ini adalah musim panas yang cukup
untuk mengeringkan jalan sehingga perkiraanku adalah perjalanan kami akan
lancar dan mulus-mulus saja.
Selain pertimbangan musim, budget
adalah hal yang sangat urgen. Bayangkan saja kawan ongkos naik perahu itu mencapai
2 juta rupiah, dengan perincian barang bawaan, manusia yang membawa
barang-barang tersebut dan bensin untuk menyalakan mesin agar tetap menyala
melawan arus sungai. Perjalanan melalui darat lumayan lebih murah, tapi ada
jadwalnya, tidak seenak hati seperti para pemain cinta yang datang lalu pergi
kapanpun mereka sukai. Aha, cinta. Secara rutin, jika Tuhan memberi kesempatan,
para offroader akan berangkat ke Kelay, ibu kota kecamatan kampung Long Lamcin,
di hari sabtu dan rabu dengan biaya 170.000 rupiah. Sedangkan hari yang lain,
berarti carter itu ongkosnya Rp.1.700.000.
“Stop!” Ah, terlalu panjang saya menjelaskan
perincian perjalanan, seolah-olah saya ingin menjadi pengusaha jasa
transportasi dengan harga yang lebih murah, ah sudahlah, itu mustahil!
Kelanjutan ceritanya begini kawan.
Setelah mem-packing semuanya, kami, terdiri dari Pak Duta,
Ahmad, Firman, Saad, Mila, dan Fitri dengan profil: pak Duta adalah kepala
sekolah SD 07 long Suluy, sekolah tempat 2 gadis tersebutkan terakhir bertugas.
Adapun dua bujangan yg tersebutkan di tengah adalah pendidik muda yang akan
ditempatkan di Long Ngukian. Ahmad kurniawan sendiri adalah kawan
seperjuanganku di sekolah yang sama. kenapa kami beramai-ramai karena jarak
sekolah kami agak berdekatan, hanya 3 jam perjalanan air dan tak bisa
perjalanan darat. Nantinya setelah sampai diujung jalan, kami akan turun dan
melanjutkan perjalanan air. Selain jarak, beramai-ramai naik mobil akan
mengurangi beban biaya. Coba hitung sendiri kawan, jangan biarkan otankmu berkarat.
Rp.1.700.000 dibagi 7.
Perjalanan dari Tanjung Redeb, ibu
kota kabupaten Berau adalah aspal yang sangat mulus, kira-kira sama dengan
jalan-jalan aspal yang ada di seluruh dunia. Setelah jalan aspal selama kurleb
satu jam dengan kcepatan rata-rata 110 km/jam, kami sampai di jalan berbatu dan
berkerikil dengan taburan pasir halus berwarna putih. Jalan itu adalah tanda
kami memasuki area hutan lindung dengan pohon-pohon hutan Kalimantan timur yang
besar diameternya mencapai 200 CM. Terlihat di kanan kiri, bekas pembakaran
hutan yang cukup menganggu mata, merusak pemandangan. Merusak ekosistem hutan
juga!
Semakin lama, perjalanan kami
semakin menantang. Bagaimana tidak, tikungan tajam dan mendaki di sana-sini. Belum
lagi pantat mobil ini lurus saat memasuki tikungan kepalanya sudah memasuki
tikungan baru. Sungguh tak berperasaan jalannya! Ditambah lagi dengan aksi pak
Haji Ali yang sangat senang menyetir strada putihnya. Bagi dia, pejalanan itu
adalah komedi, sedangkan bagi kami para penumpang, perjalanan itu tak ubahnya
sebuah tragedy. Kami sedih dia tertawa, kami menangis dia tertawa, kami mual
dia tertawa, bahkan disaat Saad memuntahkan seluruh isi perutnya, masih juga
dia tertawa. Selera komedinya agak rancu! Dia Nampak sangat bahagia dengan penderitaan
yang kami alami, seolah-olah kehancuran kami adalah prestasi membanggakan bagi
dia. Sungguh tak berperasaan dia! Sampai-sampai saya sempat berpikir untuk
menghentikan perjalanan dan melanjutkan dengan jalan kaki tapi lagi-lagi itu
sepertinya mustahil karena bocoran informasinya adalah perjalanan darat
menggunakan strada akan kami tempuh selam 5 jam dengan kecepatan rata-rata
90km/jam. Bayangkan apa jadinya betis ini kalo berjalan kaki sejauh 450km di
tengah hutan, sendirian dengan medan yang terus mendaki dan sesekali menurun.
Ah letusan betisku pasti akan terdengar sampai ke kota bagai gunung merapi.
Sepanjang perjalanan itu, yang
kupikirkan adalah, kenapa masih saja ada orang yang ingin tinggal di tengah
hutan sana, mengasingkan diri di saat orang-orang kota sudah sangat sibuk
dengan kemoderenannya. Bayangkan saja kawan, semuanya hutan lebat yang masih
sangat “perawan”, kecuali di beberapa titik nampak penebangan hutan oleh
perusahaan logging. Sempat beberapa kali kami berpapasan mobil perusahaan yang
sangat panjang yang menyeret kayu-kayu hutan. Dan ternyata, jalan yang kami
lalui itu adalah jalan yang dibuat oleh perusahaan, bukan pemerintah.
Diperuntukan untuk kepentingan perusahaan, bukan untuk warga kampung hulu.
Entah apa jadinya jika hutan-hutan ini telah habis dan tak mampu lagi memenuhi
dahaga para korporasi itu. Jalan tutup, ekosistem hancur, masyarakat pedalaman
semakin terisolasi, Pak Haji Ali tak bisa ngebut-ngebut lagi dan kami para
utusan SM-3T harus berjalan kaki. Huh, ngeri!
Pada tengah hari itu, tibalah kami
di tepian sungai. Itu artinya, perjalanan darat telah usai dan selanjutnya
adalah perjalanan air menggunakan perahu ketinting. Yah begitulah kawan, jarak
yang begitu jauh hanya dapat kami pangkas dengan perjalanan darat. Tidak
berarti kam langsung tiba di lokasi. Terkhusus untuk Long Lamcin, hanya butuh
jasa penyebrangan, karena perkampungannya sudah Nampak di seberang sungai
tempat mobil berhenti. Sedangkan Long Ngukian dan Long Suluy masing-masing
masih membutuhkan perjalanan melawan arus sungai berkilo-kilo jauhnya. Maka
berangkatlah mereka terlebih dahulu, empat orang teman dengan pelampung orange
melekat di badan. Selamat berjuang teman, sebulan lagi kita bertemu untuk
merayakan lebaran haji bersama.
22 agustus 2015, di tepi sungai
yang lebar itu, kuinjakkan kakiku seraya menutup mata dan dengan perlahan
menghirup udara segar, saya membatin dengan khusyuk “padamu negeri aku
berbakti, padamu negeri aku mengabdi, padamu negeri aku berjanji, bagimu negeri
jiwa raga ini”.
Long Lamcin, 24 agustus
2015
0 Response to "perjalanan ke Kampung Long Lamcin"
Posting Komentar