Day 3, Show Time
Sngai Merapun. Walau tak sebersih sungai Lamcin kami tetap menikmati mandi dan bermain di sini. |
Jeki dan Yaret sedang pamer bekas kerokan |
Mentari
sedang mengintip di ufuk timur ketika kami kembali dari sungai menunaikan
ibadah mandi (bukankah kebersihan adalah bagian dari iman), saya langsung
terlibat perbujukan sengit dengan Simson. Tatapan mata Simson yang sangat tajam
ditambah dengan karakter suaranya yang lantang dan tegas membuatku tertarik
untuk menjadikannya orator dalam lomba pidato yang beberapa jam lagi akan
dilaksanakan. Tapi Simson bersikeras untuk menolak, alasannya sangat logis,
belum ada persiapan. Kami memang baru tahu kalau ternyata seni pidato
diperlombakan dalam kegiatan porseni ini, sehingga tidak ada pelatihan sama
sekali sebelumnya. Saya juga bertekad untuk mengikutsertakan sekolah kami, bukan
untuk menjadi juara, bukan! Tapi hanya ingin membuktikan kepada orang-orang
bahwa anak-anak hulu juga bisa membaca, karena selama ini, suara sumbang yang
terdengar di telingaku adalah sudah kelas 6 bahkan SMP masih belum bisa baca.
Listen, Simson mahir membaca dan dia baru kelas 4!
“Son, kamu
yang pak guru andalkan, nak. Ini pak guru sudah buat teksnya” kataku membujuk.
“Attai (Jika
dilanjutkan akan menjadi Attaiwa yang artinya aduh, seruan
ketidakpuasan), Pak guru. Kayak mana juga pidato itu? saya tidak mengerti.”
“Kamu pernah
lihat pak gembala menyampaikan khotbah di gereja?” tanyaku memancing.
“Iya, sering
juga, pak guru”
“Nah,
begitulah pidato, kamu berdiri di depan orang banyak, terus berkhotbah. Tapi
bukan Alkitab yang kamu sampaikan, ini dia, pak guru sudah tulis kamu tinggal
baca nanti. Ok?”
“Attaiii,
saya tidak bisa pak guru. Malu saya”
“Malu sama
siapa? Memangnya ada yang kenal kamu di sini? Atau ada madomu yang
lihat?”
“mm
taqumde, pak guru” dia spontan mengelak, mado berarti cewek.
“Trus
kenapa, nak? Eh, dengar pak guru. Kalau kamu tidak ikut, bukan cuma kamu yang
malu tapi sekolah kita, bahkan kampung Lamcin. Kamu mau orang bilang, SD Lamcin
tidak ikut pidato karena tidak ada yang bisa membaca siswanya?” Nada suaraku
sedikit mangancam.
Simson
bergeming, dan membuatku kebingungan. Berkali-kali kuminta tetapi dia teguh
untuk menolak. Tiba-tiba Ibu Beti datang menghampiri, dia adalah ketua PKK yang
ikut sebagai perwakilan orang tua murid, sekaligus bibi Simson sendiri. Dia
membujuk Simson menggunakan bahasa Dayak Punan dan dengan tatapan memohon.
Tidak banyak yang bisa kupahami dari kata-kata yang meluncur dari mulut ibu
Beti tapi saya bisa menarik kesimpulan begini “Son, kamu jangan begitu, Pak
guru itu sudah capek buatkan kamu pidato sampe larut malam”. Dan ternyata
berhasil, Simson kembali mengangkat wajahnya yang sedari tadi hanya menunduk
dan diam.
“Moh Pidatonya,
pak guru?” akhirnya ia berbicara lagi.
“Ini, nak.
Kamu baca-baca dulu ya, pak guru dengarkan, baru nanti pak guru ajari caranya
yang benar”
Mulailah
simson berlatih, beberapa kata yang terbilang baru untuk dia seperti reboisasi,
konservasi, dan climate change, dan bebrapa kata lain yang berhubungan
dengan lingkungan terdengar masih terbata-bata, lidahnya agak kaku menyebutkan
kata-kata ajaib tersebut. Sementara Simson berlatih, di tengah ruang tamu yang
sekaligus menjadi tempat penampungan kami terlihat Ahmad dengan serius
menyeleksi antara Dion dan Firaun untuk maju sebagai peserta lomba menggambar.
Nasib menggambar tidak lebih baik dari lomba pidato, sama-sama baru diketahui
bahwa akan diperlombakan juga. Untungnya, Ahmad yang memang sangat jago dalam
urusan melukis sudah sering mengajarkan anak-anak cara menggambar, bahkan
setelah beberapa kali kulihat hasil pengajaran Ahmad kepaada anak-anak saya
merasa kerdil di depan mereka karena tak bisa menghasilkan gambar sebagus yang
mereka buat.
Waktu pelaksanaan
lomba akhirnya tiba, pukul 10.00 secara bersamaan takraw, menggambar, pidato
dan lomba volley putri terlaksana di tempat yang berbeda-beda. Kami para guru
yang kekurangan personil menjadi kelabakan mondar-mandir sana-sini untuk
mengtur dan memberi semangat kepada anak-anak kami. Saya mendampingi Simson di
bagunan bekas gereja untuk lomba pidato, Ahmad di ruang kelas SDN 01 Merapun
untuk lomba lukis, Pak Adi mendampingi team putra di lapangan takraw, itu
adalah laga semi final yang pasti sangat seru karena bertemu dengan salah satu
team terkuat, Long Nguikian. Adapun team volley putri yang juga di babak semi
final didampingi oleh Pak Rendi, dan ibu Linlin (seorang environmentalist dari
LSM Payopayo). Sungguh tenaga dan pikiran terkuras habis menjalankan peran yang
sangat berharga ini.
3 rekan
seperjuangan, guru SM-3T lengkap dengan jaket orens strip hitam bertuliskan
“Maju Bersama Mencedaskan Indonesia” telah menempati deretan bangku juri,
mereka didapuk oleh panitia pelaksana untuk mengisi peran sebagai team penilai
dalam lomba pidato ini, Alhamdulillah SM-3T sekali lagi membuktikan
eksistensinya. Di belakang juri telah duduk para peserta dengan make up
memesona, dan pakaian super rapih, plus aksessoris yang memenuhi badan, juga
bapak dan Ibu guru mereka beserta teman-teman yang memberi dukungan.
Kupalingkan wajahku pada penampilan Simson, baju putih yang berbintik hitam di
sana-sini tak terselip kedalam celananya. Tak ada atribut sekolah di sana,
hanya lambang SD di kantong depan yang separuh menggantung karena jahitannya
sebagian lepas. Saya manarik nafas panjang kemudiaan mengacak-acak rambut
Simson. “Ya Allah, sebegini timpangnyakah pendidikan di negeri ini?” Hatiku
merintih.
“Son, mirip
gereja kan? Lihat mimbar itu, nanti kamu di situ menyampaikan pidato tentang
lingkungan kamu. Ok!”
“Iya, pak
guru” Katanya sedikit ragu.
“Nda usah
hawatir Son, yang jadi juri teman pak guru juga, yang kiri itu ibu guru Susi
dari SDN 010 Merabu, yang tinggi kurus itu namanya Pak guru Rachman dari Panaan,
Nah yang sebelah kanan itu kamu kenal, kan? Ibu guru Cuncu dari SD Lamjan”
“Mm,” Simson
hanya mengangguk takzim, mulutnya masih berkomat-kamit mencoba menghafalkan beberapa
bagian.
Seluruh
hadirin tiba-tiba diam tatkala seorang bapak berparas tidak jelek memainkan
perannya di atas panggung dengan mengucapkan salam sebagai tanda kegiatan telah
dimulai. Dengan beberapa kata pengantar dan orasi singkat perihal pentingnya
pendidikan beliau mendaramatisir suara agar lebih seru dan mulai menyebutkan peserta
pertama yang harus tampil.
“Peserta
pertama, datang dari sebuah kampung yang sangat kaya dengan madu dan emas, kita
sambut dengan tepuk tangan yang meriah, inilah dia siswa terbaik dari SDN 07
Long Suluy” suara tepuk tangan memenuhi udara di dalam gedung. Seluruh mata
lalu mencari-cari siapakah penampil pertama itu. Setiap sudut ruangan telah
terjejali oleh tatapan penasaran tapi tak seorangpun yang berdiri atau
mengangkat tangan. MC terlihat kebingungan dan sedikit kecewa karena keseruan
yang baru saja ia ciptakan tak diindahkan oleh peserta pertama yang membelot
dari scenario lomba.
Sang MC
mulai berbisik-bisik dengan beberapa panitia yang ada di sebelah panggung,
sejurus kemudian dia kembali dengan keceriaan yang dibuat-buat seolah tidak
terjadi apa-apa. “Peserta selanjutnya, pendatang baru kita, SDN Long Lamciiin”
Penonton sedikit ragu memberi tepuk tangan, mengantisipasi kalau kalau tepuk
tangannya sia-sia karena pesertanya tidak ada. Jantungku tiba-tiba berdetak 3
kali lebih kencang dari biasanya, ketegangan yang seharusnya dirasakan oleh
Simson justru berpindah kepada saya. Apalagi dia menjadi penampil pertama.
Disebelahku
Simson sudah berdiri tanpa kuminta atau kubujuk sedikitpun, dari bangku paling
belakang kami duduk, dengan mantap Simson maju dan saya mengekor di dekatnya,
melewati deretan penonton yang melepaskan pandangan intimidatif dan sedikit
jijik. Sebagian menawarkan senyuman yang entah itu tulus atau palsu. Kami tak
terpengaruh.
Ketika
mendekati ujung barisan penonton, sesorang berkata kepadaku “Pak guru mana dasi
dan topinya, itu bajunya kenapa tidak dimasukkan?”
Dengan
senyum jail dan tatapan tak tau malu kujawab “resleting celananya rusak buk,
nanti burungnya ngamuk diatas panggung. Heheh, ini masih mending dia mau pake
baju sekolah”. Tak ada lagi balasan darinya, hanya senyum kecut sambil menelan
ludah. Dalam hatiku membenarkan, sebenarnya bukan itu, buk, resleting celana
Simson tidak rusak hanya saja bajunya terlalu kecil untuk dimasukkan, mungkin
baju itu dibelinya ketika masih kelas 1 dulu.
“Assalamualaikum
warohmatullahi wabarokatuh, selamat pagi dan salam sejahtera untuk kita semua.
Dewan juri yang saya hormati, Bapak dan ibu guru yang saya cintai, teman-teman
tersayang dan seluruh hadirin di dalam ruangan ini, terima kasih atas
kesempatan yang kalian berikan kepada saya sehingga bisa berdiri di mimbar ini
dan menyampaikan pidato singkat mengenai pentinya menjaga lingkungan dengan
judul, “Kelestarian Bumi Untuk Masa Depan Manusia” Simson mengawali pidatonya
dengan suara yang lantang dan jelas tanpa melihat teks. Spontan bulu kudukku
merinding, dan dadaku tersesaki oleh perasaan bangga. Dia telah menjadi juara
dalam hatiku, dan dia juga menjadi bukti nyata bahwa minimnya fasilitas
sebenarnya bukanlah masalah utama pendidikan, melainkan ketersediaan tenaga
pendidik yang mau bekerja keras dan mati-matian memperjuangkan hak-hak anak
untuk mendapatkan kesempatan belajar yang sama, itulah intinya.
Selanjutnya,
setiap paragrap Simson baca dengan lantang dengan sesekali melepaskan tatapan
tajamnya kepada mata penonton. Tak ada hambatan berarti hingga akhirnya ia
sampai pada paragraph terakhir dan kemudian mengucapkan kata-kata penutup yang
sekali lagi tanpa melihat teks. Simson menuruni panggung dengan senyum lebar
dan diikuti oleh tepuk tangan meriah dari seluruh penonton. Saya langsung
meminta tos dua tangan kemudian memeluknya dengan sangat erat. Ah, Simson thank
you so much, nak. I am so proud of you!
Penampil-penampil
berikutnya juga sangat baik bahkan jika dilihat secara objektif maka saya akan
menilai bahwa beberapa anak menjadi juara satu, dua, dan tiga dalam kategori
berpidato yang baik dan benar, sesuai dengan aturan atau criteria penilaian
yang juri telah buat. Terlebih pada peserta asal SD Gunta Samba, seorang anak
laki-laki berkulit gelap dan rambut keriting yang ia tutup dengan songkok hitam
seperti Soekarno, sebuah selendang bertuliskan INDONESIA membalut tubuhnya
menyerupai selendang miss Indonesia yang selalu kalah dalam ajang
internasional. Dia tampil begitu gagah dan mampu membuat penonton larut dalam
setiap kata yang ia ucapkan. Tampil tanpa teks dan dengan penekanan-penekanan
yang benar-benar pas membuat dia layak jika nanti didapuk sebagai juara
pertama. Bagaimanapun juga, Simson sekali lagi telah menjadi juara buatku.
Ternyata
masih begitu banyak generasi bangsa ini yang cerdas, dan bertalenta luar biasa
dalam menyampaikan aspirasi. Bukan anak-anak yang dilatih untuk menjadi
banci-baci di layar televisi. Mereka berbakat dan berpotensi menjadi
orang-orang hebat yang kelak bisa mengharumkan nama negeri tercinta ini. Dari
pelosok negeri, ada harapan, mimpi, dan cinta yang begitu besar yang sangat
sayang jika tak digapai.
***
Setelah MC
menutup acara dan menginformasikan bahwa pengumuman juara akan dilaksanakan
pada malam penerimaan piala, saya dan Simson langsung meluncur ke lapangan
volley untuk menyaksikan pertandingan semi final team putri antara Lamcin
melawan SD dari kampung Merasa. Belum lagi kami tiba, penonton terlihat
serentak memasuki lapangan dengan melompat-lompat dan bernyanyi. Kerumunan
orang yang begitu banyak, membuat debu lapangan beterbangan sampai tak nampak
jelas lagi apa yang terjadi di sana.
Semakin
dekat udara terasa semakin tidak bersahabat, jaket orens kebesaran SM-3T yang
sedari tadi membungkus tubuhku kulepas dan kugunakan untuk menutup sebagian
wajahku. Simson tanpa ragu berlari ke arah kerumunan meninggalkan saya yang
sudah sangat penarasan.
“Mikaaaa!”
teriakku ketika melihat Mika di sudut lapangan. Dia langsung menghampiriku.
“Kenapa ramai
sekali Mik?”
“Itu
penonton gila Pak guru!” dia menjawab sedikit kesal.
“O, hehehe,
Merasa menang kah Mik?”
“Iya, Pak
guru. Padahal sedikit sekali lagi kita menang. Aih, mado juga itu bodd*k
bettul. Masa mereka sudah 22, lawannya masih 15, eh dikejar dia
sampe kalah. Attaiwa!”
“Tidak papa,
kita masih bisa cari juara 3. Ya kan?”
“Itulah, Pak
guru”.
Voli Putri |
Saya
langsung bergabung dengan seluruh tim dan mendengarkan cerita panjangnya.
Ternyata mereka bermain 3 set, dengan margin angka yang sangat rapat. 25-20,
22-25, dan terakhir 23-25. Sangat menegangkan memang dan wajar saja penonton
begitu ramai tumpah ruah menyesaki lapanga volley mini itu. Kekalahan team
putri sedikit terobati karena takraw berhasil menumbangkan team asal Long
nguikian juga dengan rely yang panjang sebanyak 3 set. Takraw melaju ke babak
puncak menghadapi team tuan rumah Gunta Samba. Laga tersebut akan berlangsung
keesokan harinya. Sedangkan team volley putri, juga akan berlaga melawan team
vavorite Long Suluy untuk memperebutkan juara 3. Kami kembali ke mes untuk
istrahat, makan siang, dan tentunya memainkan gitar milik Pak Mared, Lagu
Bongkar dari Iwan Fals sudah rindu untuk dinyanyikan lagi.
Salah
seorang panitia dengan wajah kelelahan mendatangi kami yang sedang ramai
bernyanyi di teras rumah. Dia menyampaikan bahwa ada sedikit perubahan jadwal,
babak 8 besar badminton yang seharusnya dimainkan sebentar malam, dimajukan
siang ini juga karena pementasan seni akan berlangsung malam nanti. Tidak
banyak yang bisa pergi mendampingi Jeki dan Yaret untuk bertanding karena
sebagian atlet sedang istrahat siang apalagi jarak gedung badminton itu jauh,
melewati jembatan gantung yang sangat tinggi.
Suasana pertandingan bulu tangkis di gedung olah raga Merapun |
30 menit
kemudian kami telah tiba di sebuah gedung bercat biru dengan ukuran tidak
terlalu besar, hanya ada satu lapangan badminton di dalamnya dengan kapasitas
penonton tidak lebih dari 100 orang. Suara hantaman botol-botol plastic bekas
kembali memantul-mantul di dalam ruangan sempit itu. Di dalam lapangan sedang
bertanding team Merabu vs Merapun. Sedangkan Lamcin akan kembali menghadapi
team kuat Lamjan yang kemarin unggul di lapangan Volly. Lamcin sebenarnya tidak
berharap banyak di cabang badminton ini, kami tidak memiliki lapangan di
kampung, tidak pernah latihan 4 bulan terakhir dan hanya bisa meminjam raket
dalam tournament ini, tapi kekalahan di lapangan volley kemarin membuat Jeki
dan Yaret sangat ingin mengalahkan team Lamjan.
“Bermain
maksimal, keluarkan semua kemampuan kalian dan jadilah pahlawan di dalam
lapangan ini” Kataku kepada pemain sesaat sebelum pertandingan dimulai.
“Tumbangkan
mereka. Balaskan kekalahan yang kemarin.” Pak Adi menambahkan.
“Tangan di
tengah, ready!”
“Lamcin,
Lamcin, Lamcin, HUUUUUHAAAAA!” Sorakan kami menggema, menjadi perhatian.
Team lamjan
kembali diperkuat oleh salah seorang pemainnya yang kemarin begitu menonjol di
atas lapangan volley. Namanya adalah Ardan, tubuhnya yang gempal dengan
otot-otot yang kokoh membuatnya tak meyakinkan lagi untuk menyandang status
anak SD. 2 siswaku saja, Welden dan Amos yang betubuh kekar namun tak seberapa
dibanding Ardan ini selalu mendapat tatapan sinis karena dianggap bukan anak
sekolah lagi. Tapi inilah permainan kadang banyak intrik yang ikut membumbui.
Permainan
dimulai dan sangat jelas terlihat bahwa Jeki dan Yaret sangat bernafsu untuk
memenangkan pertandingan. Semangat mereka yang berkobar-kobar menjadi satu
kekuatan tersendiri untuk melakoni laga yang sarat gengsi ini. Berkali-kali
pemain Lamjan melakukan kesalahan di awal laga, Lamcin unggul hingga 5 poin.
Para supporter mereka diam seolah tak percaya dengan apa yang terjadi. Cuncu
dan Tori, 2 Pejuang SM-3T yang bertugas di Lamjan tak henti-hentinya meneriaki
saya dan Ahmad dari ujung ke ujung. Meskipun Anak-anak sedang panas menjalankan
peran mereka di lapangan, kami guru SM-3T tetap adem dan selalu beranggapan
bahwa kemenangan anak didik kami adalah kemenangan untuk para pejuang
pendidikan ini.
Laga
berlangsung sengit ketika Lamjan menemukan ritme permainan mereka.
Kejar-mengejar angka terus terjadi di akhir babak pertama. Rely-rely panjang
tak bisa dihindarkan dan jual beli smash membuat penonton semakin riuh
bersorak.
“HHUU”
Lamcin memukul Bola.
“HA” Giliran
Lamjan yang mengambil
“HHUU”
“HA”
“YEAAA. Puk
puk puk….” Bola jatuh di dalam area Lamcin kemudian diikuti oleh suara
membangunkan orang sahur lengkap dengan tepukan botolnya. Babak pertama
berakhir dengan kemenangan Lamjan, 15-13. Pemain bertukar posisi begitu pula
dengan supporter, pertemuan antara keduaanya di tengah-tengah lapangan membawa
sensasi ketegangan tersendiri. Ada kekhawatiran jika saja salah seorang
supporter nekat memulai tindakan propokatif maka pasti kekacauan tidak bisa
dihindarkan. Untung saja hal itu tidak terjadi dan pertandingan kembali
berlanjut.
Gemuruh
suara penonton di babak kedua lebih banyak didominasi oleh supporter Lamjan,
Ardan dan Joshua berkali-kali mencetak point sehingga sejak awal laga mereka
terus memimpin pertandingan. Cuncu dan Tori, nama gaul dari Husni dan Endang
Pratiwi tak henti-hentinya mengolok dan meremehkan saya dan Ahmad. Mereka
nampak sangat bahagia dengan keunggulan anak didik mereka, senyum sumringah
dari wajah keduanya menandakan bahwa mereka sangat puas melihat kami ciut tak
berdaya. Semangat serta kerja keras Jeki dan Yaret tak kuasa membalikkan
keadaan sampai akhirnya mereka resmi gugur tatkala angka Lamjan mencapai 15,
perkasa atas lamcin yang hanya berhasil mengumpulkan 9 angka.
Dari laga
yang baru saja berlangsung, saya melihat bukti dari sebuah pelajaran hidup
bahwa hanya dengan semangat yang menggebu-gebu tidaklah cukup untuk memenangkan
persaingan menjadi juara. Skill dan latihan yang keras adalah syarat utamanya
kemudian semangat adalah kuncinya. Ketiganya harus bersatu padu untuk menjadi
juara yang sesungguhnya, karena juara adalah hasil usaha bukan pemberian.
Meskipun
begitu, anak-anak dan seluruh team tidaklah terlalu kecewa dengan hasil ini.
Bisa berpartisipasi bahkan mencapai babak 8 besar setelah memenangkan satu laga
adalah prestasi yang lebih dari cukup. Mengingat fasilitas yang kami miliki
sangat minim maka tidak heran jika langkah kami harus terhenti sampai di sini.
Terlebih karena ini adalah kompetisi yang pasti berujung pada menang atau
kalah. Hari ini hanyalah awalnya, begitu banyak pelajaran yang kami dapatkan
dan besok kami akan berbenah.
***
Formasi Pentas musikalisasi puisi |
Licinnya
rumput setelah terjadi hujan kecil sore ini menjadi drama tersendiri dalam
pertandingan tarik tambang babak 8 besar. Baik team putra maupun putri
sama-sama meraih kemenangan mudah dan akhirnya lolos ke babak semi final yang
akan berlangsung esok hari. Sore itu juga tanpa berlama-lama larut dalam
euphoria kemenangan kami langsung meluncur ke sungai bebersih diri dan kembali
untuk mempersiapkan penampilan pentas seni.
“Semua pake
seragam sekolah, nak. Rapikan rambut kalian dan pake wangi-wangian. Pokoknyaa
malam ini kita konser, guncang merapun.” Ucapku dengan semangat.
“Pak guru,
baju si Yoses tidak ada.” Kata Yaret sambil membongkar-bongkar tumpukan tas
yang berserakan.
“Saya juga,
pak guru” tambah welden dengan wajah yang takut kena omel.
“Kenapa bisa
tidak ada? Kan sudah diingatkan sebelum berangkat, katanya sudah ada semua.”
“Itulah, Pak
guru. Aku juga sudah suruh dia masuk tas waktu itu tapi kenapa dia hilang
sudah” Yoses menjawab.
“Itulah”
Welden membenarkan
“Waduh,
bagaiman ini, Pak. Ada yang tidak punya seragam”
“Begini
saja, Yoses dan Welden kan di barisan belakang, di situ ada 6 orang, bagaimana
kalau mereka ber-6 ini pake pakean olahraga biar sedikit bervariasi. Sekalian
memperlihatkan nama sekolah mereka.” kata Ahmad memberi solusi, lalu diikuti
anggukan setuju oleh guru-guru yang lain.
“Saya juga
punya ide, kita buatkan mahkota-mahkota untuk anak-anak sebagai aksessorisnya
supaya kelihatan rame” Kataku dengan sunyum sumringah seolah itu adalah ide
brillian.
“Mahkota?
Mahkota apa pak?” Tanya Pak Adi penasaran.
“Sembarang,
pokoknya dari daun-daunan supaya kesan bahwa kita dari hutan itu terasa”
“Keren!
Boleh itu Pak. Saya tahu cara buatnya.”
“Mantap,
kalau begitu eksekusi sekarang, pak. Saya sama Ahmad latih anak-anak untuk
pemantapan dulu”
“Ok, Sipp!”
Pak Adi langsung hilang ditelan kegelapan malam, memasuki kebun-kebun kecil
yang ada di belakang rumah. Anak-anak bergegas mengganti pakian, dan mandandani
diri mereka, sesuatu yang tak pernah kulihat sebelumnya. Ibu Linlin, Ibu Eka
dan Ibu Beti menjadi perias andal malam itu. 4 anak perempuan yang selalu dekil
kini menjelma menjadi gadis cantik dengan balutan bedak dan lipstik yang tipis,
rambut mereka tersisir dan dikepang 2 di belakang dengan penuh pertimbangan,
sangat sederhana sesuai dengan karakter mereka yang berasal dari daerah pelosok
yang jauh dari gaya anak jaman sekarang.
Saya sendiri
memilih celana kain berwarna biru gelap dan kemeja kotak-kotak lengan panjang
berwana putih cokelat kombinasi hitam. Ah, saya teringat lagi, baju ini adalah
pemberian dari seorang yang sangat special buatku, Hastuti. I miss her so
much. Jas kebesaran SM-3T dengan logo MBMI, RISTEK DIKTI, dan UNM yang
terpampang di depannya menyempurnakan penampilanku yang akan memainkan gitar
untuk mengiringi siswa-siswi kami menyanyikan lagu Laskar pelangi.
2 kali
latihan pemantapan telah usai, tak ada kesulitan berarti di sana. Hanya Nopel,
siswa kelas IV yang kadang-kadang masih lupa dengan gerakannya tapi itu tidak
menjadi masalah karena ia selalu bisa menyesuaikan diri. 4-4-6, begitulah
formasinya. Simson, Dion, Firaun, dan Yaret menempati baris pertama, mereka
bernyanyi seperti yang lain dan sekaligus berpuisi, sebuah puisi tentang mimpi
di balik bukit ciptaan Ahmad, secara bergantian masing-masing 1 bait. Yeni,
Resta, Herlina, dan Juli berada di garis kedua, mengisi backsound ketika
musikalisasi puisi dimulai. Baris terakhir ada 6 orang yaitu Welden, Mika,
Amos, Nopel, Simson, dan Yoses, juga mengisi backsound. Jika dilihat dari atas
maka formasi ini mirip dengan logo wifi yang dihapus satu titiknya pada telepon
pintar.
Pak Adi telah selesai dengan
mahkotanya. Daun kakao yang dilipat dan disambungkan beberapa helai menggunakan
lidi kini siap untuk menyempurnakan penampilan kami. Tanpa ragu sedikitpun
anak-anak langsung menyambarnya dan dengan bangga memasang di kepala. Saya juga
demikian. Kami membentuk barisan lalu berjalan menuju gedung yang tadi menjadi
panggung orasi Simson. Lagu warisan dari pelatihan Bela Negara di Rindam VII
Wirabuana mengiringi langkah kami memunggungi rumah.
“Minggir
dong, Minggir dong, Minggir dong, Pasukan Lamcin mau lewat badannya sehat-sehat
ototnya kuat-kuat, minggir dong minggir dong minggir dong. Apa tandanya kampung
Long Lamcin di sana sini hutan semua. Apa tandanya kita berkawan? Ikan se anjat
join-joinan….” Terus bernyanyi sampai akhirnya kami tiba di gedung
pementasan.
Orang-orang
telah memadati ruangan. Setiap sudut telah terisi dan kami mengambil posisi
paling belakang. Terlihat bukan hanya para peserta lomba atau warga sekolah,
tetapi juga warga kampung Merapun yang sepertinya haus dengan hiburan macam
ini. Sangat ramai sampai-sampai banyak orang yang rela menonton melalui
jendela. Kursi juri kembali diisi oleh teman-teman guru SM-3T, ada Syamsul Adil
dan Ilham dari SD Lesan Dayak, Annisa dan Ningsih dari SD Tabalar, mereka
mendapat kehormatan sebagai juri karena merekalah yang kami anggap paling
kompeten.
Bapak-bapak
berkulit gelap kini kembali memainkan perannya sebagai pemandu acara, dia
nampak begitu enerjik dan lincah berpindah dari ujung ke ujung panggung,
penguasaan panggungnya pasti dapat 100. Dia menjadi kunci raminya acara malam
ini, terlebih ketika dia meminta sura penonton mirip biduan dangdut koplo.
“Penonton?”
“Iyeee”
“Mana
suaranya?”
“Huuuu”
“Mana
pendukungnya, Gunta Samba?” Tidak kurang dari 50 orang di barisan paling depan
berdiri dan bersorak secara serempak.
“Mana
pendukungnya, Long Gie?” Sekelompok anak perempuan berbalut riasan pernikahan
berdiri dan diikuti oleh pendukung yang tidak kalah banyak dari sebelumnya.
Satu persatu semua sekolah disebutkan termasuk Lamcin yang supportenya paling
sedikit tapi paling heboh. And, show time begins.
“Yang
pertama dari SD Sido bangen, akan menampilkan tarian Dero dari Sulawesi tengah.
Kita sambut inilah dia, SDN 014 Kelay”
Ada 20 anak
yang langsung menaiki panggung dengan pakaian casual dan selendang warna-warni
membalut tubuh mereka. Membentuk 2 sap di atas panggung dan seluruh mata
tertuju pada mereka. Sejurus kemudian musik Dero yang telah dimodernisasikan
bertalu-talu dari speaker raksasa di sebelah kiri panggung. Sekelompok anak
yang imut itu kemudian menari mengikuti irama music dan seluruh penonton
langsung bertepuk tangan dengan sangat meriah. Saya merasakan sensasi
kebanggaan melihat anak-anak yang dengan kepercayaan diri menaiki panggung
kemudian menyerap perhatian banyak orang, dan mampu menunjukkan kebolehan
mereka dengan sangat baik.
20 menit
berlalu dengan sangat cepat, gerakan yang berulang-ulang dari tarian Dero tidak
berhasil membuat penonton merasa bosan. Penampil pertama berhasil menaklukkan
panggung dan menghibur penonton. Saatnya MC mengambil alih.
“Wow, tepuk
tangannya sekali lagi untuk Sido bangen, luar biasa. Gurunya pasti stengah mati
melatih anak sebanyak itu” Tawa pecah dari penonton.
“Selanjutnya,
menampilkan tari gerak sama dari suku Dayak. Kita Sambut, SD Gunta Samba” Para
penari gerak sama terdiri atas 8 anak perempuan yang berpakaian khas Dayak
dengan manik-manik yang mengkilat bak permata. Mereka tampil begitu cantik
dengan riasan pengantin yang mencolok. Beberapa helai bulu burung berwarna
hitam putih ikut menyempurnakan jari-jari mereka. Bunyi kecapi dari pengeras
suara mengiringi gerakan mereka yang terlihat sederhana namun mengagumkan.
Setiap langkah dan ayunan tangan serta goyangan pinggul mereka benar-benar
seirama dan sama. Penonton tak bisa menyembunyikan kekaguman mereka pada 8
penampil itu. 10 menit kemudian, penari dengan teratur menuruni tangga panggung
dan diikuti oleh tepukan puas dari seluruh penonton. Terlihat senyum mengembang
dari bibir para juri.
“Tari
Tunggal merupakan tarian khas suku Dayak. Tarian ini mesti dilestarikan dan
penampil berikut akan membuktikan pada kita bahwa dia ingin melestarikan tarian
dari tanah kelahirannya. Kita beri tepuk tangan kepada peserta selanjutnya,
Long Suluy”
Penonton
sedikit ragu, jangan-jangan pesertanya tidak tampil lagi seperti perlombaan
pidato pagi tadi. Tapi keraguan penonton langsung terbantahkan ketika seorang
anak berkulit putih dan bermata sipit bergerak perlahan menaiki panggung dengan
balutan baju khas suku dayak yang terbuat dari kulit kayu. Tepuk tangan meriah
dan siulan terdengar di sana-sini. Mila dan Fitri, guru SM-3T yang mengabdi di
sekolah tersebut, kelihatan begitu sibuk hilir mudik mencari sang kepala
sekolah yang memegang file musiknya. Sementara penonton sudah tak sabar
menunggu, sang operator malah hilang entah kemana.
Beberapa
menit kemudian setelah nama sang pemegang kunci tersebutkan berkali-kali dari
pengeras suara, datanglah dia dengan note pad putih
di tangan. Tanpa berlama-lama lagi music langsung play dan mulailah penampil
tunggal itu meliuk-liuk di atas panggung. Saking senangnya melihat si penari,
beberapa penonton menaiki panggung dan memberikan lembaran-lembaran berharga,
ada yang berwarna merah ada juga yang berwarna biru. Sawer membuat si penari
makin bersemangat, penonton juga makin terhibur.
Peserta-peserta
berikutnya tetap menampilkan tarian tradisional dari berbagai daerah. Ada tari
zaman, tari Toraja, dan lain-lain tapi paling banyak tari tunggal dan gerak
sama khas suku Dayak. Malam semakin larut dan penonton juga mulai jenuh dengan
penampilan seni tari, satu persatu penonton kelihatan gelisah ingin
meninggalkan ruangan tapi masih penasaran dengan penapilan macam apa yang akan
diperlihatkan oleh sekelompok anak berbaju kumal dan bermahkota daun kakao yang
kini terlihat mengantuk di deretan kursi belakang.
Mahkota mereka yang terbuat dari anyaman daun kakao menjadi saksi menunggu itu melelahkan. |
Saya juga
sudah sangat gelisah karena sudah urutan ke-13 dari 17 peserta namun nama kami
belum juga disebutkan. Saya menghampiri sang MC dan melihat susunan pesertanya,
ternyata kami akan tampil diurutan 15. Kupandangi anak-anak dari jauh terlihat
mereka sudah lelah menunggu dan satu persatu mulai melepas mahkota kebesaran
mereka.
“Pak,
berarti setelah ini Lamcin ya.” Kataku pada MC
“Iya, pak.
Vocal group dan musikalisasi puisi kan?”
“Betul, pak.
Mantap!”
Saya kembali
pada anak-anak dan meminta mereka bersiap karena setelah ini kami akan tampil.
Mereka mengusap wajah mereka yang sudah kusut, meluruskan kembali daun mahkota
mereka yang melengkung dan bangkit dari tempat duduk.
“Peserta
selanjutnya, akan menampilkan sesuatu yang lain dari yang lain. Pembeda untuk
malam ini, kita sambut, penampilan musikalisasi puisi dari SDN 012 Long Lamcin”
Penonton bertepuk tangan dengan riuh, ada yang mencari-cari telinga di samping
kanan kirinya untuk melepaskan bisikan, ada yang berdiri dari duduknya bahkan
sebagian yang berdiri di atas tempat duduknya. Mereka yang duduk di depan
menoleh ke belakang dan memanjangkan leher mereka seolah tak ingin kehilangan
sedikitpun dari penampil berikut ini yang sungguh membuat orang penasaran.
Termasuk 4 orang juri.
Pasukan
berbaris membentuk 2 banjar di belakangku. Pak Adi mengambil alih dengan sebuah
yel-yel yang memantik semangat.
“LAMCIN!” Teriak
Pak Adi, penonton terpaku.
“YES!” Jawab
pasukan serentak sambil mengepalkan tangan di udara.
“LAMCIN”
Sekali lagi.
“WE ARE
LAMCIN” Dengan sekali tepukan menyilang di dada kemudian hentakan kaki 2 kali
di lantai. Awal yang mengesankan dan membungkam seluruh hadirin.
Saya menaiki
tangga lebih dahulu, memberi salam hormat kepada seluruh hadirin dan melempar
senyum jail kepada para juri. Gitar tua yang ada di pelukanku kupetik sekali
kemudian duduk menyerong di sebuah kursi yang telah dipersiapkan oleh
Ahmad. Kutekan Kord G seraya menggejreng sinar gitar sebagi
kode untuk pasukan segera menaiki panggung.
Dengan
teratur dan rapi seluruh pasukan telah berada pada posisi masing-masing sesuai
dengan yang telah direncanakan dari awal. Saya mulai memainkan Intro, kord: G C
G C. Kunci selanjutnya tetap G C dan lagu masuk.
“Mimpi
adalah kunci” seluruh pasukan bernyanyi, terkhusus Saf belakang mengangkat
tangan mereka membentuk huruf V.
“Untuk kita”
Barisan tengah menyilangkan tangan mereka di dada.
“Menaklukkan
dunia” Barisan depan mengangkat satu tangan sambil memandang jauh ke langit
kemudian menggenggam mimpi dan menariknya kedalam pelukan mereka.
“Berlarilah tanpa
lelah” semua saf mengambil gerakan tangan dan kaki yang sama membentuk V terbalik,
kemudian menunjuk penonton dengan kedua tangan dan kembali menggenggam angin
kedalam pelukan mereka ketika liriknya berlanjut “Sampai engkau meraihnya”.
“Laskar
pelangi”
“Takkan
Terikat waktu”
“Bebaskan
mimpimu di angkasa”
“Warnai
bintang di jiwa” Setiap gerakan menggambarkan lirik lagu yang dinyanyikan.
Anak-anak begitu menghayati lagu dan gerakan mereka. Saya tidak kuasa menahan
diri untuk tidak ikut bernyanyi ketika masuk ke reff. Hebatnya, seluruh
penonton larut dan ikut menyanyi bersama.
“Menarilah
dan terus tertawa”
“Walau dunia
tak seindah surga”
“Bersyukurlah
pada yang kuasa”
“Cinta kita
di dunia” Kristal menggumpal di mataku, sejenak kuhentikan suara gitar,
kemudian melanjutkan dengan menekan kunci G dan diiringi oleh nyanyian seantero
ruangan “Selamanya”.
“Cinta
kepada hidup”
“memberikan
senyuman abadi”
“walau hidup
kadang tak adil”
“Tapi cinta
lengkapi kita”
“Hoooo”
Selanjutnya
hening, petikan gitarku hanya sesekali dan beberapa senar saja. Barisan kedua,
4 anak perempuan langsung menyanyikan reff dengan suara pelan, saf ketiga
dengan suara nyanyian malam. Saf pertama melantangkan suara mereka dan mulai
berpuisi.
“Tersembunyi
di balik belantara” Dion memulai dan penonton sontak heboh bertepuk tangan. Dia
melanjutkan dengan tatapan yang percaya diri.
“Kokoh
berbaris gunung mengelilingi”
“Jalan
terjal yang berliku”
“Deras arus
hanyutkan nyali” Dion berhenti dan dilanjutkan oleh Simson.
“Adakah itu
pembenaran bagimu?” Dia mengedarkan pandangan tajamnya seolah menghakimi.
“Lupa kah engkau
dengan sumpahmu?”
“Bernaung
kitab engkau bertutur”
“Dustakah,
dustakah sumpah yang kau ucap?”
Setiap kalimat
yang mengudara dari mulut Simson terasa sangat menusuk karena tatapan dan
gerakan tangannya yang sangat tajam. Firaun melanjutkan dengan hentakan kaki
dan kepalan tangan menantang langit.
“Mencerdaskan
kehidupan bangsa”
“Itulah
janji kemerdekaan”
“Namun, saat
sumpah tak lagi berarti”
“Kapankah
janji itu akan tunai?” Tanpa jeda sedikitpun, Yaret langsung menyentuh dengan
suara berbelas kasih.
“Kusam
memang seragam yang menyelimuti”
“Tidak
menawan dan tidak pula mewangi”
“Tertinggal
memang tertinggal”
“Tapi…” Dia
berhenti sejenak lalu ke empatnya kompak menghentakkan kaki dan berteriak “KAMI
PUNYA MIMPI!”
“Bukan untuk
kepuasan pribadi tapi demi senyum di wajah Pertiwi”
Puisi berakhir dan setiap barisan saling menggenggam
tangan dan kembali menyanyikan reff sekali lagi. Lagu berakhir dan ditutup
dengan salam penghormatan bagai kesatria. Anak-anak turun dari panggung dengan
sorakan dan tepuk tangan yang sangat meriah dari seluruh penonton. Terlihat
beberapa orang menghapus sungai di pipi mereka. Termasuk Ibu Beti yang seolah
tak percaya dengan apa yang baru saja ia saksikan. Anak-anak yang selama ini
hanya masuk hutan, bermain basah-basahan di sungai lalu kejar-kejaran sampai
baju mereka mengering di badan ternyata bisa tampil dan memukau begitu banyak
penonton dari atas panggung. Kebanggaan dan harapan jelas tergambar di matanya.
Sekali lagi,
saya merasa sangat terharu dengan apa yang anak-anak berikan malam ini. Kerja
keras kami para guru yang selama ini membimbing dan melatih mereka telah
membuahkan hasil yang sangat memuaskan, ini seperti cinta yang terbalaskan.
Sangat membahagiakan.
Sebelum
benar-benar meninggalkan ruangan, seseorang memanggilku, Pak Dedi. Dia
menawarkan sebuah tantangan yang sulit untuk saya tolak. Mengisi sesi hiburan
dalam bentuk apa saja bersama teman-teman SM-3T. Besok pada puncak acara, malam
penyerahan piala. Saya tidak bergabung bersama pasukan kembali ke rumah tapi
mengumpulkan teman-teman seperjuangan yang hadir di Merapun ini untuk
memikirkan kreativitas seni macam apa yang akan kami tampilkan besok.
***
Tendangan maut dari Jeki untuk Welden. Hanya terjadi di alam mimpi. |
Malam itu,
langit benar-benar berbintang. Udara dingin tidak berhasil membekukan suasana
reuni kecil-kecilan sesama rekan-rekan seperjuangan. Hadir dalam lingkaran
besar yang kami buat untuk menghabiskan malam panjang itu 2 bujang dari Long
Nguikian, Firman-Sade’ yang masing-masing mengantongi sertifikat S1 pendidikan
Bahasa Inggris dan PKN. Sepasang Alumni pendidikan sejarah Umi-Ika dari Long
Boy. 2 perempuan yang sudah layak menjadi ibu-ibu karena mengantongi ijazah
pendidikan anak usia dini, Tori dan Cuncu, mengabdi di Long Pelay. Fisikawan lucu
dan alim dari Panaan, Bang Rachman-Hamzah. Gadis berbadan petinju yang sering
kami panggil Jon dan Frans tapi nama sebenarnya adalah Mila-Fitri dari Long
Suluy. Sarjana muda berijazah pendidikan bahasa Indonesia yang ditugaskan di
kampung Merabu, Susi-Asmi. Pasangan sejati bersertifikan PGSD yang sering
mendapat olokan LGBT, Ilham-Adil dari Lesan Dayak. Saya sendiri pendidikan
bahasa Inggis dan partner saya alumni fisika, Ahmad. Ada tambahan 3 orang yang
menjadi tamu kehormatan, karena mereka bukan dari kecamatan Kelay yaitu gadis
krreatif bernama Anisa dan Partnernya Ayuni Ningsih. Terakhir adalah yang
termuda diantara semuanya yaitu Ridho.
Canda tawa
menghangatkan pertemuan itu sebelum masuk ke pembahasan inti yaitu rencana
mengisi satu sesi dalam acara penutupan. Permainan jujur atau berani adalah
biang kerok atas groginya beberapa orang untuk mengungkapkan kata hatinya. Umi
contohnya, ketika mata pena yang diputar menunjuk dirinya, setiap peserta
berlomba ingin memberi pertanyaan, tapi saya selaku operator berhak mengizinkan
2 orang saja. Adil menjadi penanya pertama, “Umi, kamu masih single atau
sudah punya Abi?” Lalu tawa pecah, memecah sunyi. Palan tapi jelas yang
ditanya menjawab, pedaftaran masih buka. Ahhai!
Jawaban itu sangat ditunggu oleh
bebrapa bujang pastinya. Seolah sudah diatur, Sade’ yang saya beri kesempatan
langsung menggiring Umi ke jawaban bunuh diri, Pilih tentara atau
anak SM3T? Umi menjadi sangat kaku menjawabnya, selepas liburan
tahun baru kemarin, teman-teman memang pada tahu kalau ada kawan seperjuangan
yang sedang menaruh hati padanya.
Setelah puas
bercanda, mulailah kami mendiskusikan renacana itu, dan akhirnya disepakati
untuk bernyanyi dan musikalisasi puisi. Alasannya sederhana, waktu yang kami
miliki sangat sempit, hanya beberapa jam saja, dan itu tidak memungkinkan untuk
menampilkan drama, teater, atau tari yang mungkin bisa lebih menghibur. Sebuah
lagu dari God Bless yang discover oleh Indonesian voice berjudul Rumah Kita
menjadi pilihan kami, dan puisinya adalah puisi karangan Eki, kawan
seperjuangan juga yang bertugas di Maratua menjadi pelengkapnya.
Tidak butuh
waktu yang banyak untuk memastikan seluruh personil menghapal lagu itu. Saya
sendiri sebagai pengiring dadakan langsung mencari kordnya dan menetapkan Do=C.
Ahmad dan Susi sebagai pembaca puisi dan yang lainnya penyanyi. Latihan pun
kami muali, beberapa kali pengulangan dan tambal sulam di beberapa bagian
akhirnya musikalisasi puisi ala SM-3T V Kecamatan Kelay siap dtampilkan.
***
Baca juga
0
komentar