DION
BERCERITA LAGI
Dion adalah
siswa kelas 5 yang selalu membuat kejuatan. Baik di sekolah atau sedang bermain
bersama, Ia selalu menceritakan kisah-kisah yang “tak masuk akal”. Saat sedang
duduk termenung sambil menunggu masakan, tiba-tiba ia berucap “Pak guru, jangan
bilang-bilang ya, saya ini sudah bergabung dengan sebuah organisasi setan”.
Saya sangat kaget dan langsung menanyakan bagaimana bisa. Ia kemudian
melanjutkan dengan tertawaa-tawa kecil, dan malu-malu khas bocah SD.
“Sebenarnya saya adalah anak kedua dari salah satu iblis di
sebuah kerajaan setan. Awalnya saya bermimpi, dan dalam mimpi itu saya telah
menandatangani sebuah kontrak yang dibawa oleh seorang penyihir wanita. Kontrak
itu mengatakan bahwa saya akan diberikan sebuah kekuatan yang sangat dahsyat,
dengan syarat saya harus menyelamatkan panglima mereka yang sedang ditawan oleh
sekelompok musuh di Luar negeri”.
Dia berhenti sejenak sambil tertawa bahagia melihat kebengongan
saya yang tak percaya seorang bocah ingusan mampu bercerita sebagus itu, entah
datang darimana imajinasi yang liar itu, apalagi kondisi di kampung ini,
jangankan menonton bioskop yang sering memutar film horror, Tv saja sangat
susah ditemukan mengingat listrik yang hanya hidup kalau matahari sedang sangat
terik, itupun tidak mampu menghidupkan TV. Kemudian saya menyadari bahwa anak
ini memiliki kemampuan yang sangat unik dan mengagumkan. Dia satu-satunya siswa
saya yang mampu bebrahasa Indonesia dengan lancar. Yang lain masi Punan.
“terus? Terus? Bagaimana selanjutnya?” tanyaku penasaran.
“Saat bagun saya benar-benar memiliki kekuatan yang sangat
dahsyat itu, saya mampu mengeluarkan api dari mata dan mengangkat benda apapun
yang saya inginkan. Bahkan di tempat tidur itu sudah ada sebilah pedang yang
sangat cantik sekali” Dia melanjutkan dengan expresi dan intonasi yang
benar-benar pas!
Saya bengong dan menganga nyaris meneteskan air liur.
Dia melanjutkan. “keesokan harinya, di saat malam sangat
gelap, bulan tak berachaya dan bintang pun tertutup oleh awan, saya didatangi
seorang kakek-kakek yang sangat tuuuuuaaaa sekali, dengan wajah yang terus
menunduk, dan memakai penutup kepala dari kain yang juga adalah bajunya. Dia
mendekat dan memegang tangan saya, tiba-tiba saya langsung berada di luar
negeri”
“di Negara mana?”
“hmmm…. Hehehe, bohong saya pak Guru”
“Waduh, kamu bohong? jadi cerita ini semua cuman
bohong-bohong?” Padahal, tanpa dia bilang pun saya juga tau kalo dia cuman mengarang,
tapi cara dia bercerita seolah-olah dia telah membacanya dari buku, dan itu
sangat amazing buat saya.
Setelah mengatakan bohong itu dia sepertinya kehilangan
lanjutan ceritanya dan saya juga langsung panik karena nasi telah mengeluarkan
aroma hangus yang parah. Akhirnya kisah itu terhenti, beberapa kali saya
memintanya untuk menuliskan tapi selalu dia mengatakan tidak bisa. Keesokan
harinya dia datang lagi setelah pulang sekolah dan membawa kalimat
sepotong-sepotong yang sangat imajinatif.
Saya sedang duduk memasak air menggunakan dapur kayu, dia
datang dan duduk didekat saya berkata tanpa ditanya,
“pak guru, saya baru-baru ini sudah memangsa seekor beruang”
Dalam hati saya oh pasti di rumahnya sedang ada beruang
hasil berburu bapak dan kakanya.
“Masa’ Dion? Di mana? Kapan?” Tanyaku memancing seolah
percaya dengan kata-katanya.
“Tadi pak guru, pas pulang sekolah saya ke sungai mau beol,
tiba-tiba saya diserang oleh seekor beruang yang besaaaaarrrr sekali. Mendadak,
saya langsung menunduk dan kuku-kuku saya memanjang tajam dan kulit saya
dipenuhi oleh bulu. Gigi saya langsung bertaring dan tanpa sadar saya langsung
menjadi seekor singa yang saaaaaaangat besar”
Saya langsung terkejut dan menerka-nerka pasti anak ini baru
saja membaca cerita yang baru. Tapi kisah yang mana ya? Tidak mungkin dia
membaca novel serial Harry Potter atau serial twilight, karena siapa yang bisa
punya buku-buku seperti itu di tempat ini. Di daerah perkotaan saja yang akses
buku itu mudah, belum tentu ada yang mau baca. Pun kalo ada yang membaca belum
tentu bisa bercerita sebagus Dion dan mengkontekstualisasikannya dengan kondisi
kampung. Kalo begitu dia dapat darimana cerita-cerita omong kosong itu.
Ah sudahlah saya nikmati saja.
“Kamu jadi singa Dion?” saya berpura-pura memastikan dengan
ekspresi takjub..
“ia Pak Guru jadi selain kekuatan bisa mengeluarkan api dan
mampu mengangkat segalanya, ternyata saya juga bisa menjadi seekor singa besar
pada saat saya dalam posisi terserang musuh. Dan ini semua terjadi setelah saya
terbangun dari mimpi pada hari itu” Dia berekspresi seolah ingin prihatin
dengan kondisinya yang tidak normal itu tapi tertutupi oleh tertawa-tawa geli,
mungkin karena ia sadar dengan cerita dongengnya sendiri.
Buseeeetttt!!! Anak ini gila, dia sepertinya ingin
melanjutkan kisah kemarin, pasti sudah membaca kelanjutannya karena kemarin dia
lupa. Baiklah saya mau lihat sampai dimana dia mampu bercerita.
“mana beruang yang kau mangsa itu dion?”
“saya makan dagingnya sampai habis dan meminum semua
darahnya, tak ada yang boleh melihat perubahan saya pak guru, karena itu adalah
salah satu janji yang telah saya sepakati dengan penyihir tua yang memberikan
saya kekuatan.”
“Coba kamu berubah jadi singa biar Pak Guru percaya” saya
menguji dia
“oh jangan, itu tidak boleh, pak guru adalah orang baik dan
saya tidak mungkin memangsa pak guru, bahkan saya punya kewajiban menjaga orang
yang baik dari gangguan binatang buas dan ancama para iblis jahat”
“Bagaiman kalau saya menyerangmu sekarang juga, apakah kamu
akan berubah menjadi singa?”
“Ya tergantung, kalau pak guru bebar-benar ingin melukai
saya, pasti saya berubah, tapi kalo hanya sekedar menguji, saya tidak akan
berubah apa-apa.”
Jawabannya sangat diplomatis dan itu sepertinya mustahil
untuk anak kelas 5.
“saya sudah memangsa banyak binatang buas pak guru, pernah
saya berkelahi dengan kura-kura raksasa, ikan yang sangat besar, buaya, dan
lebah-lebah yang saaaangat banyak. Belum ada yang berhasil mengalahkan saya.
Saya menjaga ketentraman kampung ini tapi tidak ada yang tau, dan saya memang
harus merahasiakannya”
“Terus kenapa kamu menceritakannya sama saya?”
senyum tengiknya muncul dan dia kehabisan kata tak bisa
memberi alasan. Seharusnya saya tidak memberi pertanyaan itu
“hehe… saya cuman main-main pak guru”
Saya tidak mengatakan apa-apa setelah itu, menunggu jawaban
dan berusaha mencari kata yang tepat agar ceritanya bisa bersambung. Kami
sama-sama diam sulit untuk memulai. Setelah beberapa lama dalam diam, Dion
benar-benar tidak bisa melanjutkan ceritanya lagi bahkan setelah saya
mengulangi ceritanya dari awal dengan harapan dia bisa melanjutkan, tapi nihil.
Saya merasa kecewa pada diri sendiri karena telah memperlihatkan bahwa saya
tahu ceritanya cuman omong kosong dan dia juga terkepung rasa malu karena ketahuan
tak bisa memberi alasan yang tepat. Dia Blunder! Saya juga Blunder.
“terus apa lagi Dion?” tanyaku memecah sunyi.
“ennong” artinya tidak
dalam bahasa Indonesia.
Dia tidak melanjutkan ceritanya meskipun sudah saya pancing
beberapa kali dan akhirnya pulang lagi. Dia gagal menyelesaikan kisahnya, saya
juga gagal menjadi pendengar yang baik. Ya sudahlah, kalau ada kesempatan lagi
saya janji akan membiarkannya terus bercerita sampai habis. Biar dia puas saya
juga lega. Tapi kesempatan yang saya tunggu-tunggu itu tak kunjung datang
sampai berminggu-minggu.
***
Pada sabtu siang, hari yang memang
dikhususkan untuk berburu atau mencari ikan oleh seluruh warga kampung, saya
dan pak Ahmad yang juga guru 3T, mendapat ajakan dari Pak Maret, Guru Lokal
yang tak lain adalah kakanya Dion. Ceritanya, kami pergi kesebuah anak sungai
yang lumayan jauh jaraknya dari sekolah menggunakan perahu milik pak Maret.
Saya, Pak Ahmad dan Dion menjadi penumpang, duduk manis dan tenang. Sedangkan
Pak Maret, sibuk bergerak kanan kiri mengarahkan baling-baling kecil sebagai
juru mudi. Satu orang lagi yang duduk paling depan bertugas meloloskan perahu
ketinting dengan turun mendorong saat perahu terhenti oleh bebatuan sungai. Dia
adalah Mika, kakanya Dion adiknya Pak Maret.
Setelah satu jam di atas perahu, kami tiba di sebuah anak
sungai Njengan, kami berjalan menyusuri anak sungai yang terletak di tengah
hutan belantara itu, cukup horror bagi saya meskipun sebenarnya sangat indah
dengan keasriannya yang tak terganggu oleh tangan-tangan jail. Tidak ada
coretan-coretan nama menggunakan pilox seperti di kawasan wisata pada umumnya,
tidak ada sampah plastik, atau pedagang kaki lima, yang ada adalah rebahan
kayu-kayu tua yang memotong sungai, endapan lumpur, kubangan babi, dan
jejak-jejak langkah binatang hutan yang menurut Dion adalah jejak kaki Iblis.
Kondisi sungai dan hutan yang cukup menakutkan itu ternyata
memicu imajinasi Dion untuk kembali bercerita.
“Dulu, saya pernah mendapatkan emas yang sebesar paha saya
pak guru, tapi saya buang saja karena saya tidak mau dengan kemewahan”
“Oh ya? Kamu serius?”
“Ia pak guru, kemewahan dunia yang berlebihan akan membuat
manusia menjadi kacau dan saling membunuh”
“Betul-betul, jadi kamu buang di mana emas itu dion? Siapa
tau saya bisa temukan dan bawa ke kampung saya” tanyanku menggubris seolah percakapan
kami adalah percakapan dewasa yang benar-benar serius. Mika hanya
menggeleng-geleng kepala seolah tidak percaya ada seorang guru yang mau di
bodohi oleh adiknya yang ngawur itu. Pak Maret cukup tertawa-tawa geli sambil
melempar jala, adapun pak Ahmad, sangat sibuk mengambil gambar dan sesekali
nimbrung dalam percakapan saya dengan Dion.
“Emas itu saya kuburkan di bawah tanah ini, dan menyimpannya
di sebuah kerajaan bawah tanah, pak Guru tidak akan bisa mendapatkannya, karena
kerajaan itu sangat jauh di dalam tanah dan di jaga oleh para pasukan yang
kuat”
“Ooo… kamu sering ke kerajaan itu Dion?”
“Ia sering, di sana ada banyak harta karun, dan putri-putri
kerajaan yang cantik, dan permainan yang sangat banyak. Kerajaan itu adalah
surga yang sering dijanjikan untuk manusia yang berbuat baik”
Saya terkejut lagi, mana mungkin dia bisa membalik surga
yang terletak jauh diatas langit tiba-tiba berada di bawah tanah. Tapi saya
harus menjaga respon saya agar dia bisa bercerita lepas sampai selesai,
kesempatan ini sudah lama saya tunggu, dan dia sedang on fire!
“Ceritakan lagi Dion!”
“Pak guru lihat jejak langkah itu?” Dia menunjuk beberapa
jejak kaki yang menurut pak Maret dan Mika adalah jejak kaki kijang yang datang
ke sungai untuk minum tapi tidak bagi Dion.
“Jejak kaki itu adalah langkah para iblis yang datang ingin
menembus tanah untuk memasuki kerajaan surga bawah tanah itu, mereka ingin
mengambil sebuah benda yang saya sembunyikan di sana. Jadi selain emas dan batu
permata, saya juga telah menyimpan jantung raja mereka di sana, mereka terus
berusaha untuk mendapatkannya tapi tidak berhasil karena saya hidup di kampung
ini untuk menjaganya, sekaligus menjaga keamanan desa.”
“Jantung raja iblis? Bagaiman bisa kamu mendapatkannya”
“Pada saat saya berada di luar negeri bersama kakek-kakek
tua yang pernah saya ceritakan itu, saya memasuki sebuah gua yang di terangi
oleh lilin yang sangat banyak. Kakek itu mengatakan bahwa saya harus
menyelamatkan panglima mereka sekarang juga. Panglima itu bernama Alpious, anak
seorang iblis yang memimpin sebuah organisasi setan. Saya bertanya bagaiman
cara menyelematkan panglima itu, dan kakek itu berkata bunuhlah raja mereka
yang juga adalah iblis jahat. “Dulunya kerajaan kami hanya satu tapi kerana
kesalahpahan dan perebutan kekuasaan akhirnya kerajaan itu terbagi 2, satu
dipimpin oleh iblis Smarpious, ayah Alpious, dan kerajaan yang satu dipimpin
oleh Kraigien, seorang iblis yang sangat sadis. Dialah yang harus kau bunuh,
ambil jantungnya dan selamatkan panglima kami” - kakek itu kemudian menghilang
dan meninggalkan saya sendirian pak guru”
Cerita ini semakin bersambung dengan yang berminggu-minggu
telah lewat, bagaimana anak ini bisa menemukan kisah itu ya? Atau jangan-jangan
dia benar-benar anak iblis, atau paling tidak bergabung dengan organisasi setan
itu. Ah, mustahil, pasti dia sudah mendengar atau membacanya.
“Lanjutkan Dion!” Tambahku memanasi dia, menjaga kata agar
tidak mengganggu dia lagi.
“Saya memasuki gua itu, dan tiba-tiba di tangan saya ada
sebuah pedang yang saya temukan saat saya bagun dari mimpi. Saya terus
berjalan, dan hawa panas semakin terasa. Duarrrrrr….. lantai gua didepan saya
langsung meletus dan keluar seekor ular yang sangat besar, ular itu menyerang
saya dengan bisanya, tapi saya menghindar lalu mengangkat sebuah batu dan
melemparkannya sekuat tenaga. Dengan ekornya, ular itu menangkis dan batu terlempar
kembali kearah saya hampir menimpa tubuh saya, tapi untunglah tiba-tiba api
menyembur dari mata saya dan menghancurkan batu itu.”
Dion semakin asik bercerita, saya fokus mendengar, tapi Mika
sibuk mencela kami berdua. Seolah tak
mendengar apa-apa, Dion melanjutkan.
“Dengan kecepatan kilat, saya melompat diatas kepala ular
itu dan menusuknya dengan pedang sehingga dia mati tak berdaya, kucabut pedang
itu lalu kupenggal kepalanya”
“Wow, hebat kamu Dion. Terus?”
“Saya melewati ular itu dan melanjutkan perjalanan. Banyak
lagi binatang siluman yang mencoba menghadang perjalanan saya tapi semua tak
mampu mengalahkan saya. Dan tibalah saya di ujung goa itu, sekarang lilin sudah
tidak ada lagi. Cahaya gowa kini berasal dari api yang menyala dari sebuah
lubang di bawah tanah, di atasnya tergantung panglima yang akan saya
selamatkan. Saya menembak tali itu dengan api yang keluar dari mata saya tapi
ternyata tidak tembus, sepertinya ada yang menghalangi. Sesaat kemudian
terdengar suara tawa yang sangat besar, itu pasti adalah suara Kraigien. Benar,
itu dia. Kraigien ternyata iblis betina berparas cantik yang sangat mempesona,
dia tidak mengerikan seperti yang saya bayangkan. Matanya, kulitnya,
benar-benar adalah manusia, seperti kita, tapi secantik apapun dia, dia tetap
adalah iblis yang harus saya bunuh. Saya langsung menyerangnya dengan mata api,
dia hanya mengipasnya dengan selendang sutra yang ia pakai dan api itu padam. Dia
balik menyerang, meniupkan angin kencang dari mulutnya sambil melepaskan
ular-ular raksasa dari ujung jari tangannya. Saya tersudutkan dan nyaris
terbunuh oleh ular-ular itu, untung saja panglima Alpious menyerang Kraigien
dengan tendangan memecah buminya, dalam kondisi terikat dia masi bisa
mengeluarkan tendangan yang sangat dahsyat itu sehingga Kraigien terjatuh dan
angin kencang serta ular-ular itu langsung lenyap. Saya langsung menerjangnya
dan menusuk dia dengan pedang tapi lagi-lagi dia lepas dan langsung berada
dibelakang saya, saya berbalik tapi pukulannya sudah mendarat di wajah membuat
saya terlempar jauh dan mengeluarkan banyak darah. Dia melompat ingin menusuk
saya dengan tangannya yang tiba-tiba berubah menjadi pedang, saya menutup mata,
bersiap mati dalam misi penyelamatan itu. Tseeekkkk, uhhhh… pedangnya menusuk
tubuh, tapi itu bukan tubuh saya karena sang Panglima, entah dengan cara apa dia
lepas langsung menghalang saya dengan tubuhnya. Saya bangkit dan langsung
menyerang Kraigien dengan mata api, tepat di matanya, ia panic dan tak bisa
melihat apa-apa, saya tusuk dia dengan padang dan membelah tubuhnya.
Berhamburan darahnya yang berwarna hijau, sama seperti darah Pangeran. Tempat
itu lalu bergetar dan tergoncang hebat. Akhirnya saya berhasil membunuh dia,
tapi Panglima Alpious juga ikut terbunuh. Saya mengambil jantung Kraigien dan
berlari meninggalkan gowa yang akan hancur. Saat saya berlari, beberapa
prajurit iblis itu muncul dari sela-sela gowa dan menyerang saya, mereka ingin
mengambil jantung tersebut. Saya mempertahankan diri dan berhasil membunuh
mereka, tapi bebrapa pasukan Kraigien berhasil lolos dan berjanji akan merebut
kembali jantung itu untuk menghidupkan raja mereka kembali.”
“Keren, kamu luar biasa. Tapi kasihan sekali panglima itu,
lalu kemana kamu membawa jantung itu Dion?”
“Saya terus berlari sampai di mulut goa. Di luar goa itu
telah menunggu sang Raja bersama kakek-kakek tua. Raja sangat sedih karena
kematian Panglima Alpious, dan ternyata Kraigien adalah bekas istri sang raja
sendiri, Ibu kandung Panglima. Lalu kemudian sang raja mengangkat saya sebagai
anak keduanya, pengganti panglima yang mati di tangan ibunya sendiri. Dia
meminta saya untuk menguburkan jantung itu di kerajaan surga bawah tanah, tepat
di bawah kaki kita sekarang ini pak Guru. Saya sebenarnya sudah berusia sangat
tua, tapi orang tua saya tidak tau, dan disini saya akan terus menjaganya, jika
orang-orang sekarang telah tumbuh dewasa, tua, dan akhirnya mati saya akan ikut
mati tapi pasti bereinkarnasi menjadi apapun yang Smarpious inginkan, para
pasukan iblis jahat itu tidak akan pernah berhenti mengejar jantung Kraigien
tapi tak akan bisa memasuki surga dengan cara yang merekah tempuh, karena surga
hanya bisa dimasuki oleh orang-orang yang suci dan berbuat baik. Tak ada tempat
bagi iblis di surga Pak Guru”
***
Dion benar-benar bercerita seolah baru saja menonton film,
entah darimana datangnya karangan-karangan itu tapi sangat hebat dia
menyambung-nyambungnya menjadi sebuah cerita utuh. Apa lagi saat dia
menyebutkan kata reinkarnasi itu, saya merasa sedikit bangga karena 2 hari
sebelumnya, saya mengajarkan pelajaran IPS tentang kepercayaan agama hindu
dalam hal kelahiran kembali, reinkarnasi. Padahal, hari itu dia masih kesulitan
menyebutkannya tapi pada saat dia bercerita dia menyebutkan sekaligus
menceritakannya pada konteks yang tepat. Ketika dia mengatakan panglima untuk
Alpious, mungkin yang dia maksud adalah kata Pangeran, tapi itu tidak menjadi
kesalahan karena ternyata di ujung anak sungai Njengan itu, ada sebuah kuburan
tua yang menurut Pak Maret adalah makam panglima perang suku dayak punan.
Mungkin hanya ada kata panglima yang pernah dion dengar sehingga hanya itu yang
ada di kepalanya.
Saya sudah pernah melihat dan
mendengar anak-anak SD bercerita, bahkan dalam bahasa inggris, lancar dan
dengan ekspresi yang benar-benar sesuai, bersuara ular ketika memerankan ular, singa yang garang atau
binatang apapun mereka tiru dengan baik. Saat itu saya merasa bahwa anak-anak
ini sangat hebat dan sangat cerdas. Ternyata itu karena mereka memang
difasilitasi dengan tontonan dan bacaan yang sudah jadi, sudah utuh, pokoknya
tinggal pakai. Di sisni, di kampung yang hanya ada hutan, Dion mampu bercerita
dengan cerita karangannya sendiri, menjadi sebuah cerita utuh, cerita yang
mengandung pesan pengetahuan. Kecerdasan berimajinasi dan berkisah yang sungguh
membakar semangatku dalam misi pendidikan di daerah 3T Kalimanatan Timur ini.
Kini, Dion bercerita dengan imajinasinya,
dan hanya saya pendengarnya. Tapi esok di hari yang akan terus saya tunggu,
Dion pasti akan bercerita dan menuliskan semua imajinasinya. Semua orang akan
membaca dan mendengar. Semua orang akan tau, kalau di daerah terdepan, terluar
dan tertinggal, ada suara yang perlu didengarkan.
Tanjung Redeb,23
September 2015. Menanti Lebaran haji tanpa orang tua.