My First Day At School
Dingin
angin berhembus di pagi itu. Dengan bebas ayam berkokok membangunkan jiwa-jiwa
yang masih terlelap dalam pelukan bantal yang tak bersarung. Burung-burung
bernyanyi dengan indah menciptakan sebuah keharmonisan dalam keberagaman.
Sunggguh kuasa Tuhan sangat besar, menganugerahi setiap makhluknya dengan
keistimewaan yang tak terkira. Rumput halaman sekolah masih basah oleh embun
yang sejuk, sama basahnya dengan sang merah putih yang berkibar di sebuah tiang
yang tak bertali. Sang saka, lambang kemerdekaan yang sekali terikat, berkibar
sepanjang hari, sepanjang tahun hingga akhirnya ia hancur. Senin yang sepi
untuk ukuran sebuah sekolah dasar, tak ada upacara bendera sebagaimana senin
pada umumnya, dan ternyata tak ada yang merasa risau dengan hal itu. Akupun
tidak!
***
Setelah
mendengarkan curhatan para guru tentang kondisi sekolah pada hari sebelumnya,
semangat yang telah menggunung di dadaku tiba-tiba mengempes bak balon gas yang
tertusuk jarum. Terbang tak tau arah! Akibatnya adalah gerkanku melambat di pagi
itu, semua aktifitas menjadi slow motion. Aduh, bungaku yang belum sempat mekar
mengapa engkau layu.
Waktu masih menunjukkan pukul 6
saat saya mengepulkan asap di dapur kayu, terasa sangat lama nasi untuk sarapan
pagi itu masak, mungkin karena pengaruh dinginnya cuaca kampung yang terkepung
gunung ini sehingga api ikut-ikutan mengigil. Atau mungkin juga pengaruh
perasaanku yang sekarang mendingin tak memancarkan kobaran semangat seperti
sebelum mendengar cerita guru-guru yang telah berpengalaman itu. Entahlah,
intinya saya galau.
Posisi dapur berada di bagian
belakang rumah, jika sedang memasak atau hanya sekedar duduk-duduk di situ saya
bisa melihat jalan utama kampung dan sebuah gereja. Kali ini terdengar lagi nyanyian
anak-anak seperti hari kemarin tapi yang memandu bukanlah pak Gembala melainkan
suara ibu-ibu yang terdengar seperti guru-guru TK. Kufokuskan pandangan ke
gereja, tapi di sana sepi tak ada aktifitas, lalu di mana anak-anak itu bermain?
Ternyata tak jauh dari gereja itu ada sebuah gedung balai pertemuan tempat
rapat-rapat kampung yang merangkap fungsi juga sebagai gedung PAUD. Lha, kok
ada PAUD? Desa saya saja yang sejak tahun 1998 sudah ada listrik, baru punya
begituan sekarang. Kampung yang tidak dimasuki kabel-kabel PLN sampai sekarang
ini juga ternyata bisa punya arena bermain untuk anak-anak. Lumayan maju lah
kalau begitu.
Sambil menunggu masakan, saya
mencuci beberapa piring bekas makan malam. Karena air tidak mencukupi maka saya
berjalan beberapa meter ke selang sumber air terdekat. Ya begitulah kondisinya
kawan, semua yang kita konsumsi di tempat ini harus kita uasahakan terlebih
dahulu, kalau mau air ya harus ngangkat dulu. Pada saat menunggu ember penuh,
lewat beberapa rombongan anak-anak berpakaian merah putih. Mereka tampak riang
gembira meski pakaian yang mereka gunakan sangat kumal bahkan banyak yang tak
memakai sepatu. Tiba-tiba senyum melebar di wajahku, ada sejenis ketenangan
batin saat melihat mereka bepakaian sekolah. Ah, sejenak saya bernostalgia
dengan masa kanak-kanak yang memang selalu riang gembira. But wait, they are
little busters like their teachers said. Huh!
Anak-anak mulai ramai saat saya
sudah siap ke sekolah. Sesaat saya teringat dengan pesan yang disampaikan
secara berulang-ulang oleh para pelatih pada masa prakondisi SM3T di Rindam 7
Wirabuana, Pakkatto. Mereka menekankan bahwa seorang guru, terlebih dahulu
harus meyakinkan dirinya bahwa dia bisa menjadi guru, bisa tampil di depan
murid-muridnya karena dialah yang akan menjadi panutan. Seorang guru harus
benar-benar memperhatikan penampilannya, jangan sekali-sekali ada yang rancu
dari penampilan guru karena itu akan memicu kekacauan yang lain. Maka kuyakinkan
diriku bahwa saya bisa menghadapi segala jenis murid bahkan yang lebih parah
sekalipun dari penggambaran guru-guru lokal tentang murid yang akan saya hadapi.
Mereka brutal saya harus lebih siaga, mereka tumpul saya harus menjadi batu
asah yang baik, mereka bosan saya harus tampil lebih menarik. Kupilih pakaian
yang paling rapi, dengan warna yang paling sesuai, celana hitam yang licin, dan
baju batik berwarna merah gelap bermotif bunga-bunga mekar yang indah, plus jas
hitam pekat SM3T yang pas di badan. Kutenteng 2 buah buku di tangan kiri dan
sebuah spidol hitam di tangan kanan. Tampillah aku dengan sangat mempesona.
Sampai-sampai saya sendiri heran kalau ternyata saya bisa serapi itu. Oh andai
bidadari melihatku pasti dia langsung jatuh hati.
Saya memasuki ruang kantor yang
bersambung langsung dengan kelas 6 yang ternyata siswanya digabung dengan kelas
5. Kusalami satu persatu guru-guru yang kemarin telah mencederai semangatku.
Saya menunggu penyampaian secara formal dari kepala sekolah tentang tugas yang
harus saya kerjakan, tapi sampai 1 jam saya duduk disitu nyaris tidak ada
pembahasan mengenai pembagian tugas. Aroma lotionku mulai melemah dan saya
belum juga dipersilahkan untuk memasuki salah satu kelas walau hanya sekedar
memperkenalkan diri pada siswa. Saya bingung harus berbuat apa, tapi setelah
kuanalisa sepertinya sekolah itu sama sekali tidak memiliki formalitas
sebagaimana managemen sekolah pada umumnya. Tidak ada upacara, tidak ada rapat,
ruang guru atau kantor sangat sepi dari berkas-berkas atau administrasi
sekolah, maka saya berinisiatif untuk meninggalkan kantor dan memasuki salah
satu kelas.
“Permisi Pak, boleh saya masuk?”
“Silahkan Pak”
Saya mengambil posisi di bangku
paling belakang sambil melihat cara pak Adi mangajari anak kelas 4 pelajaran
IPA. Sepertinya saya tau cara mengajarnya, dia meminta para siswa untuk
menuliskan soal-soal pilihan ganda lengkap dengan pilihan jawabannya lalu pergi
meninggalkan kelas. Sangat khas gaya belajar sekolah dasar. Setelah mereka
menyelesaikan tugas itu saya meminta sisa waktu yang masih satu jam untuk
memperkenalkan diri pada siswa.
***
Kelas empat memiiki 6 orang siswa, satu
putri dan 5 putra, dengan usia rata-rata 12 tahun. Physically, jika hitam
kulit keriting rambut itu Papua, maka putih kulit lurus rambut itu adalah
Dayak. Mata mereka agak sipit, bibir tipis-tipis mirip dengan orang-orang
Thailand atau Vietnam dengan badan yang kekar-kekar. Ya, mereka memang pekerja
berat. Satu persatu kupandangi mata mereka yang berbinar, terheran-heran
melihat penampilanku yang sangat rapi itu. Mungkin mereka bertanya dalam hati,
siapakah dikau anak muda?
“slamat pagi” ku salam mereka
dengan suara keras dan tegas mirip seorang tentara.
“seelaaamat pagiii” jawab mereka,
loyo tak bertenaga.
“kalau saya katakan slamat pagi,
semua harus menjawab “pagi” tiga kali dan tangan kanan di angkat dengan
bertenaga” lanjut saya sambil mempraktekkan mirip seminar-seminar MLM.
Mereka mulai tertawa-tawa kecil
sambil berbisik-bisik dalam bahasa daerah yang terdengar mirip dengan bahasa
Thailand.
“slamat pagi!” saya mengulangi
penuh semangat
“paagi, paagi ….” mereka menjawab
Pagi hanya 2 kali dengan dua huruf A, kemudian menertawakan diri sendiri lalu saling
melirik. Saya ikutan tertawa tapi tetap menjaga wibawa. Assikk!
“ingat, bukan paagi, tapi PAGI!
Tiga kali, PAGI! PAGI! PAGI!, Ok?
“OK!” Simson menjawab dengan nada
keras penuh semangat, 5 orang temannya kaget lalu ikut berteiak “OK!”
“SLAMAT PAGI!”
“PAGI! PAGI! PAGI!”
“Ya, begitu dong. Mantap!” lanjutku
memberi apresiasi sambil mengangkat two thumbs for them.
Saya mulai ragu kalau mereka nakal
dan tumpul-tumpul. Apa lagi mereka melakukan instruksi sederhana yang memang
telah saya rencanakan. Mereka memiliki respon terhadap perintah, itu BUKAN
BODOH! Kemudian saya melanjutkan dengan perkenalan dan survey kecil-kecilan
tentang kemampuan mereka.
“Nama saya Saddang Husain,S.Pd.” saya
memperkenalkan diri sambil menuliskan di papan tulis yang ternyata masih
menggunakan kapur, sehingga spidol yang tadi saya bawa tidak berfungsi sama
sekali.
“coba kalian sebut nama saya”
Mereka cukup kesulitan menyebut
nama saya dan terdengar lucu, ada yang mengatakan Sadana Husan, Sandan, Saden
dll, pokoknya tak satupun yang bisa mengucapkannya dengan tepat. Ternyata
mereka cukup kesulitan menyebut huruf NG dan DD sehingga kupandu dengan
mengatakan beberapa kata yang memiliki kedua huruf itu, Gunung, Nangka,
panjang, addunya, fiddiin, fiddunya.
Mereka malah makin kesulitan, maklumlah mereka semua belum tau hukum tajwid.
Tak apalah, apa juga arti nama ini untuk mereka.
“ada yang tau arti S.Pd?
“mmm … tidak tau Pak Guru”
Dari kata S.Pd inilah saya mulai
bercerita panjang lebar tentang dunia perkuliahan dan kehidupan di perkotaan.
Mereka sangat antusias mendengar cerita saya, sesekali kuturunkan volume suara
dan mereka mencondongkan kepala, itu artinya mereka sangat perhatian. Ku
berikan tekanan pada kata-kata tertentu dan mereka menampakkan expresi terlibat
dalam cerita itu. Saya melucu mereka tertawa, saya mengambil jeda dan menarik
nafas, mereka setia menunggu kata-kata selanjutnya meluncur dari mulutku. Sejak
saat itu saya mulai tidak percaya sebagian omongan para guru itu bahwa mereka
bodoh.
“berapa umur pak guru?” Yoses
bertanya penuh gairah, saat kupersilahkan.
Bukannya langsung menjawab saya
malah memberi pertanyaan “berapa umur kamu Yoses?”
“12 tahun Pak guru”
“baiklah, mari kita hitung
sama-sama berapa usia saya dengan menjumlahkan usia kalian yang kelas 4 SD
sampai saya menjadi S.Pd.”
“kelas 4=12 tahun, kalau kelas 6=
berapa tahun?
“14 Pak guru”
“setelah SD kemana?
“SMP!” mereka menjawab dengan kompak.
“berapa tahun di SMP?”
“3 tahun”
“setelah SMP?”
“SMA”
“berapa Tahun?”
“3”
“setelah SMA?
Mereka diam, saling melihat sambil
bertanya kepada sesama temannya dalam bahasa yang tak saya pahami. Lalu Fir’aun
memberi jawaban dengan suara pelan penuh keraguan “Kuliah pak Guru”
“Yes, betul! Kuliah, semua beri
tepuk tangan untuk Fir’aun”
Mereka bertepuk tangan penuh
kebahagiaan seolah-olah itu adalah tepuk tangan pertama mereka selama di
sekolah.
“ada yang tau berapa lama kita
kuliah?” Fir’aun sekali lagi memberi jawaban “4 tahun Pak Guru”, saya terkejut
dan kembali meminta tepuk tangan yang meriah untuk Fir’aun.
“baiklah mari kita hitung
bersama-sama. Di SD kalian berusia 14 tahun + SMP 3 tahun + 3 tahun di SMA + 4
tahun kuliah, jadi berapa sekarang umur pak Guru?”
Agak lama mereka menghitungnya lalu
kemudian Serentak cenderung berlomba mereka menjawab “24 tahun Pak Guru”
“Very good, Clap Hand” lagi-lagi
mereka bertepuk tangan dengan meriah sampai semua guru mengintip melalui
jendela, berbaris terheran-heran.
Saya melanjutkan dengan bercerita
tentang status saya sebagai guru SM-3T. Tentang bagaimana saya harus melewati
rangkaian tes yang panjang, terseleksi dari ribuan pendaftar, hingga akhirnya
terpilih menjadi satu diantara 40 orang yang dikirim ke kabupaten Berau. Saya
mendramatisir cerita dengan menekankan bahwa betapa berharganya mereka, anak
pelosok negeri bagi kami para guru 3T yang ingin mendidik dengan semangat
nasionalisme. Tidak mudah bagi kami para sarjana di perkotaan untuk bisa sampai
di sekolah mereka yang sangat jauh itu. Terakhir saya kataka “kalian adalah
masa depan negeri ini”. Mereka tampak terharu dengan kata-kata itu dan tersirat
perasaan bangga akan diri mereka sendiri sekaligus kepercayaan diri bahwa
ternyata mereka masi memiliki harapan. Sebuah perasaan yang sepertinya selama
ini tertutup oleh kabut.
“kalian mau belajar bahasa
inggris?”
“mauuuu” mereka menjawab penuh
semangat dan selalu seperti itu.
“Are you ready?”
“Yes! Yes! Yes!”
Sejak hari pertama itu saya mulai
mengganti beberapa instruksi sederhana dengan bahasa inggris, dan ternyata
mereka merespon dengan sangat antusias meskipun mereka cukup kesulitan
mengucapkannya. Saya meminta agar mereka menjawab “present ser atau absent ser”
pada saat saya menyebut nama mereka, meminta izin dengan mengatakan “excuse me
ser”.
***
Bagi saya, tak ada yang lebih
membahagiakan bagi seorang guru kecuali keberhasilan dalam menarik perhatian
para peserta didik. Melihat mata mereka yang berbinar menanti kata-kata
selanjutnya yang akan saya ucapkan adalah cinta yang terbalaskan. Mereka
tertawa saat saya bermaksud melucu, mereka berlomba mengatakan “saya pak guru”
saat saya menanyakan siapa yang bisa adalah api semangat yang takkan padam. Mereka,
para siswa akan menjadi guruku yang sesungguhnya. My first day is wonderful, my
spirit is reborn.
Long
Lamcin, 9 September 2015
0 Response to "HARI PERTAMA MENJADI GURU SM-3T DI KAMPUNG LONG lAMCIN"
Posting Komentar