Bolehlah beberapa seniman dunia
menciptakan sebuah karya seni berdasarkan perenungan religiusitasnya yang dalam.
Sebut saja Dante Alighieri, seorang seniman brillian dari italy yang telah
menghasilkan sebuah karya sastra yang sangat fenomenal dan meggetarkan dunia
pada zamannya, bahkan sampai sekarang masi ada yang mendiskusikan karyanya,
sebuah karya berupa puisi yang diberi nama INFERNO. Inferno atau Neraka adalah
sebuah puisi yang menceritakan perjalanan Dante ke neraka. Karya ini menempati
bab pertama dalam bukunya The Divine Commedy. Cerita perjalanan itu
kemudian menginspirasi seniman lain untuk menghasilkan sebuah karya. Botticelli
memvisualisasikan keadaan neraka versi Dante kedalam sebuah lukisan, lalu ada
Dan Brown yang bahkan menjadikannya bahan dalan Novelnya yang kemudian
mengambil kata Inferno sebagai judul novel itu. Tindakan-tindakan semacam itu
tentulah menjadi polemic, tapi begitulah seni dan agama kawan, selalu seksi
untuk di perbincangkan.
Kali ini saya tidak sedang ingin
membahas teori yang berbelit-belit tentang bagaimana romantisme antara agama
dan seni atau mengulas bagaimana benturan antara keduanya. Saya hanya sekedar
ingin berbagi cerita bagaimana pada kamis 10 september 2015 saya
menggabungngkan mata pelajaran Seni Budaya dan mata pelajaran Agama. Sebuah
kreativitas yang lahir dari segala keterbatasan. Tidak ada guru seni, tidak ada
guru agama, tidak ada buku cetak. Jangan tanya tentang Rencana Pelaksanaan
Pembelajaran (RPP) atau media pembelajaran yang bisa menjadi panduan, maka kreativitas
akhirnya muncul secara mendadak dari kepala saya. (mungkin juga ini kenekatan)
***
Sejak ditinggalkan
oleh beberapa guru lokal sekitar 2 minggu yang lalu, kami kekurangan tenaga
pengajar untuk menghendel 6 kelas. Hanya ada 4 orang guru yang tersisa, 2 guru
local dan 2 guru SM-3T termasuk saya sendiri. Kelas 1, 2 dan 3 masing-masing di
tangani oleh 3 guru dalam ruangan yang berbeda, Pak Ahmad kelas 3, Pak Maret
kelas 2 dan Buk Eka kelas 1, sedangkan kelas 4, 5 dan 6 saya pegang dalam satu
ruangan. Kondisi ini sering kita sebut dengan kelas rangkap formasi 3.1. Tiga
level berbeda dalam ruangan yang sama. Memang terdengar cukup ektrim
menggabungkan 3 kelas dalam satu ruangan, apalagi anak SD yang ribut dan suka
berlarian. Tapi ternyata pemirsa sekalian, yang namanya sekolah di daerah 3T
selalu terdapat keunikan di dalamnya. Dan keunikan di sekolah ini yang pertama
adalah ada siswa kelas 4 memiliki adik kandung di kelas 5, bahkan ada seorang
siswa kelas 3 yang lebih tua umurnya dari siswa kelas 6, entah bagaiman
sejarahnya dan bagaimana atauran idealnya yang jelas realitasnya seperti itu.
Keunikan yang kedua adalah semua siswa dari 3 kelas yang berbeda ini memiliki
hubungan darah, kalau bukan saudara kandung atau om-keponakan pasti sepupu.
Bukan sepupu jauh, satu kali saja cukup. Ok! (saya kadang bertanya-tanya, nenek
mereka siapa ya?). Berdasarkan analisa sederhana saya, setelah melakukan
beberapa kali uji coba (cieee asikk), fakta membuktikan bahwa kemampuan mereka
baik kognitif, psikomotorik atau afektif itu relative sama. sehingga
penggabungan ini saya rasa cukup solutif terlebih lagi kondisi yang memang
cukup menggemaskan.
Kelas 4 seharusnya belajar Seni
Budaya, kelas Lima dan Enam (memang sudah digabung oleh guru sebelumnya)
seharusnya belajar Agama. Kalau saya berikan 3 pelajaran yang berbeda untuk 3
level berbeda dalam satu ruangan maka itu formasinya adalah 3.3.1. adapun jika satu
mata pelajaran untuk 3 level dalam 1 kelas namanya 3.1.1. Tapi mengajarkan 2
mata pelajaran yang berbeda untuk tiga level berbeda dan dalam satu kelas yang
sama itu tidak ada dalam teori pengajaran. Maka hari itu juga saya telah
berhasil menciptakan formasi baru, 3.2.1. Ini adalah rekor pemirsa, kalian tidak
akan mendapatkan model pengajaran semacam ini bahkan di sekolah internasional
sekalipun.
***
100% pribumi kampung Long Lamcin
adalah penganut Kristen Protestan. Mereka cukup religious dalam pengamatan saya,
karena dalam beberapa aktifitas dimana saya sempat terlibat secara langsung dan
tidak langsung didalamnya pasti mereka mendahuluinya dengan berdoa bersama
dengan khusyu’. Contoh, Nugal (menanam padi di gunung), Berburu binatang,
bersih-bersih kampung, membuat rumah, membuat dapur dan Rapat-rapat kampung
yang kesemuanya itu mereka lakukan secara bersama dan sukarela (aktifitas yang
sangat langka di era dewasa ini). Bahkan sempat beberapa kali murid-murid
bertamu di rumah tempat tinggal saya dan saya mengajak mereka makan, ternyata
mereka yang justru mengajak saya berdoa. Saya merasa sedikit malu mengingat
saya adalah guru mereka, tapi merekalah yang mengajarkan saya etika. Tiba-tiba
saya teringat dengan kebiasaan makan bersama di kota yang selalu saya lalui
dengan hanya berfoto-foto ria sebelum makan bukannya berdo’a dan mensyukuri
nikmat Tuhan yang ada.
Nyanyian dalam agama Kristen
protestan (mungkin juga katolik), terdengar sangat identik. Keduanya seakan tak
terpisahkan meskipun saya kurang paham apa status nyanyian dalam agama ini. Setiap
mereka ke gereja pada hari minggu dalam rangka menunaikan ibadah kepada Tuhan
yang mereka yakini mereka selalu menyanyikan lagu-lagu rohani dengan suara yang
indah dan harmonis. Dalam pemikiran sederhana saya, gereja adalah tempat ibadah
mereka, “rumah Tuhan” kata anak-anak kampung, dan hari minggu adalah “harinya
Tuhan”. Mereka bernyanyi di rumah ibadah, mereka bernyanyi untuk memuji Tuhan,
mereka bernyanyi untuk memohon do’a, nyanyian adalah ekspresi kesyukuran
mereka, nyanyian adalah pengobat luka bagi mereka. Saya menyadari ada hal yang
bagi sebagian orang adalah biasa saja tapi tidak bagi orang lain. Menyanyi
contohnya, bagi saya menyanyi hanya sekedar expresi seni, bagi mereka, menyanyi
memiliki sebuah arti yang dalam, mengandung makna keimanan yang begitu kuat,
menyanyi adalah bagian dari kepercayaan dan filosofi hidup. Nyanyian bukan
sekedar nyanyian.
***
Hari itu,
tak ada yang bisa mengajarkan pelajaran agama Kristen karena guru-guru yang
tersisa adalah muslim (paling tidak mengaku muslim). Ada yang kristen, Pak
Maret tapi dia sedang sibuk mencari siswa-siswanya yang pada izin ke toilet
tapi tidak kembali. Menyuruh mereka pulang saja juga rasa-rasanya kurang bijak
mengingat hiburan dan tempat bermain mereka hanya di sekolah. Daripada kelas
sunyi sepi maka saya yang akan mengajarkan seni dan agama sekaligus. Mendidik itu
kan tidak mesti memberikan sesuatu yang baru. Menstimulus mereka untuk
mengingat kembali apa yang telah mereka ketahui itu juga mendidik. Bahkan kata
Plato, pengetahuan yang murni itu adalah pengetahuan yang diingat kembali. Uwwek,
Sok tau. Hehehe.
Tentu kau sudah bisa menebak apa
yang terjadi di kelas pada hari itu kawan. Tepat sekali! Sekolah menjadi gereja.
Semua siswa berdiri dengan semangat penuh khidmad menyanyikan lagu-lagu rohani
yang terdengar indah. Mereka bersusun rapi, menyanyikan lagu-lagu pilihan yang
mereka sepakati bersama, kompak tak bercela. Dan saya, berdiri di depan mereka,
menikmati alunan suara merdu anak-anak kampung. Sesekali saya menutup mata
merenungi lirik lagu yang mereka ucapkan, mencoba memahami, memasuki relung
hati mereka dan berpikir dengan cara mereka. Nikmat, sejuk, membakar semangat,
dan … Ah, sudah lah. Tuhan memang penuh kasih. Utunglah jam pelajaran hanya
sejam, kalau lebih lama mungkin saya langsug di baptis. Wkwkwk.
Long
Lamcin, 4 Oktober 2015
0 Response to "Mengajarkan pelajaran Seni dan Agama sekaligus"
Posting Komentar