Curhatan Para Guru Tentang Siswa Dan Masyarakat
Kampung
Sekolah kecil dengan masalah yang
besar. Realitas pendidikan di kampung Long Lamcin, sebuah kampung yang
terkepung oleh pegunungan.
***
Minggu, 23 agustus 2015. Kampung
tak se sunyi kemarin, terdengar nyanyi-nyanyian rohani dari gereja kecil di
belakang rumah. Masyarakat kampung, pribumi suku Dayak adalah penganut Kristen
yang taat. Hari minggu adalah hari yang difokuskan untuk ibadah, tak ada
aktifitas pendidikan formal, tak ada aktifitas ekonomi atau aktifitas olahraga.
Full hari minggu adalah hari gereja. Jarak gereja yang cukup dekat dengan
perumahan guru yang saya tinggali membuat suara nyanyian atau khotbah dari pak
gembala terdengar sangat jelas. Bukan sok toleran, tapi memang jika didengarkan
dengan khidmat dan penuh penghayatan lagu-lagu mereka sangat lembut dan
harmonis, menyejukkan hati. Kunikmati itu sebagai harmonisasi seni, bukan
sebagaimana cara mereka melihat posisi nyanyian dalam beribadah.
Di gereja mereka khusyuk beribadah,
di teras rumah Saya dan Pak Harry Kurniawan sibuk berdiskusi luas tentang
realitas sekolah yang telah dinahkodainya selama 2 tahun terakhir. Sebelum
menjadi kepala sekolah pada 2013 beliau adalah guru PNS biasa bergolongan IIb
sejak 2010. Dalam diskusi yang lebih tepat dikatakan curhatan Pak Harry itu,
beliau menyampaikan betapa batinnya tersiksa berada di sekolah SD Negeri 012
Kelay. Ia menuturkan bahwa siswa yang jika digabung kelas 1 sampai 6 tidak
cukup 30 orang itu adalah siswa-siswa yang sangat tumpul dan brutal. Mereka
kerap merusak fasilitas sekolah dan bahkan melawan guru. Selain itu, ia juga
mengeluhkan tentang para guru yang susah diajak bekerja sama.
“Kalau anak-anak itu pecahkan kaca
jendela, tidak ada guru yang berani kasi hukuman” ujarnya dengan logat jawa
yang meddho’. Saya bertanya kenapa, beliau bilang guru-guru di sini takut
mengambil tindakan karena sedikit-sedikit denda. Katanya hukum adat adalah
hukum tertinggi di kampung ini. Para warga tidak mengenal hukum Negara, makanya
perlu sangat berhati-hati dalam bertindak. Sembarang menebang pohon bisa kena
denda, melukai anjing peliharaan yang kerap masuk rumah sembarangan bisa kena
denda, mencuri, merampok, asusila, berkelahi semua akan terkena denda. Dan
dendanya tidak tanggung-tanggung, beberapa hari yang lalu karyawan perusahaan
logging menebang sebuah pohon yang dilindungi harus membayar denda 400 juta.
Wah parah ini, bisa-bisa saya melarikan diri dari tugas kalo suatu hari kena
denda sebesar itu. Mudah-mudahan tidak ya Allah. Amin3x!!!
“Lihat saja kaca-kaca itu, semuanya
pecah ulah siswa-siswa yang anarkis” ujarnya seraya menunjuk deretan jendela
sekolah. “sengaja aku tidak perbaiki biar orang tua mereka liat”. Wajah Pak
Harry semakin memerah menampakkan kemarahan yang selama ini terpendam.
Kupalingkan pandangan kejendela sekolah itu ternyata tidak semuanya hancur
berantakan, cuman 4 di antara 18 kaca. Sepertinya ada kemarahan lain yang
membumbui keluhan pria 31 tahun ini. Kemudian dia melajutkan dengan berapi-api.
“orang kampung juga tidak tau syukur, kita para guru tidak dihargai, kita
maunya ini mereka maunya itu, rambut anak mereka kami cukur biar rapi, eh
mereka malah marah-marah. Kami buat ladang sekolah juga dilarang katanya tanah
tempat kami buat ladang itu adalah milik pastori (otoritas gereja), padahal
ladangnya sudah jadi. Sedikit-sedikit kita dilaporkan ke dinas. Di depan mereka
aja aku ini menyapa tapi dalam hati aku dongkol. Belum tau mereka bagaimana
susahnya mengajar di sini, jauhya minta ampun, terkepung gunung, ongkos mahal,
listrik tidak ada, jaringan apa lagi, belum lagi biaya hidup tinggi dan gaji
kita ndak seberapa. Tengok sekeliling rumah! apa ada yang bisa kita makan!”. Kutengoklah
sekeliling rumah dan awalnya saya bingung maksud “apa ada yang bisa kita
makan?”.
Ternyata pernah suatu ketika beliau
menanam sayur-sayuran untuk konsumsi rumah tangga seperti lombok, tomat,
singkong dan kawan-kawan di belakang sekolah. Setelah tumbuh lumayan besar
beliau meninggalkan kampung selama beberapa minggu untuk sebuah urusan
keluarga, tapi sekembalinya ke sini semua tanaman itu telah tiada, tergusur
oleh proyek pemasangan PLTS yang belum jadi sampai sekarang. Yang lebih sakit
hatinya lagi adalah masyarakat kampung hanya membisu seolah-olah tidak terjadi
apa-apa, penyampaian dari birokrasi kampung pun sebagai pihak yang paling bertanggungjawab
tak kunjung datang. Permohonan maaf juga tidak ada. Aduh pak, sakitnya tuh di
mana ya?
Percakapan
yang cukup panjang itu dipotong oleh kedatangan 3 orang guru, sebut saja namanya
Pak Adi, Pak Rendi dan Pak Nur. Pak Nur adalah guru PNS bergolongan IIa yang
telah mengabdi selama lebih dari 12 tahun di sekolah tempat tugasku ini.
Sedangkan 2 lainnya adalah guru PTT yang akan menggenapkan 1 tahun masa
kerjanya pada September tahun 2015. Sebagai junior yang memebutuhkan informasi
maka boleh lah saya SKSD sama mereka, apalagi dikit-dikit aku iso lah
ngomong jowo mas, wong pa’e ku wong jowo. Hahai, assiikk-asik jos!!! Modal
Bahasa Jawa seadanya, tau nya Cuma’ nengkene dan nengkono ternyata powerful
dalam mengakrabkan percakapan. Kesadaran bahwa kita sama-sama perantau,
berpropesi sama, plus sesuku-walaupun cuman stengah-itu dapat menumbuhkan
hubungan emosianal maka secepat kilat saya langsung merasa punya keluarga di
kampung orang. Alhamdulillah! Dan dari mereka-mereka lah saya mendapatkan
informasi tambahan mengenai kondisi sekolah beserta seluruh yang berkaitan
dengan itu.
Saya dan Ahmad, kawan seperjuangan,
mulai memperkenalkan diri dan tujuan kami datang ke kampung itu. Saya katakan
bahwa di pundak kami ada sebuah tanggungjawab yang sangat besar terhadap dunia
pendidikan negeri ini. Kami meninggalkan keramaian kota yang serba lengkap
dengan segala fasilitasnya demi hadir di sekolah ini mengabdikan ilmu yang kami
punya. Perjalanan kami mulai dari kampung halaman sampai di sekolah semua
dibiayai oleh Negara bahkan makan dan mandi kami menggunakan uang Negara, maka
pantang bagi kami mundur walau hanya sejengkal. Orasi singkat itu hampir saya
tutup dengan berteriak hidup mahasiswa! Tapi syukurlah saya masi waras dan
tidak berteriak apa-apa.
Para guru yang budiman itu tidak
menampakkan expresi yang waw, mereka santai aja, lalu kemudian bergantian
memberi komentar tentang tujuan kami untuk medidik di sekolah mereka.
“Mudah-mudahan sampean betah di sini pak, anak-anak kami
tidak seperti anak-anak di kota yang cerdas”. Kata Pak Rendi sambil menyapu
Jenggotnya yang baru belajar tumbuh.
“Bapak-bapak ini sudah dapat penggambaran dari dinas tentang
sekolah kami?” Sambung Pak Nur seraya melilit-lilit kumisnya yang tebal.
Belum sempat saya menjawab belum, beliau melanjutkan dengan
alis sedikit mengkerut.
“Di sini mereka sekolah semaunya Pak, datang dan pulang itu
seenak mereka, mana bisa kita terapkan aturan sekolah yang sebenarnya, belum
lagi kalo mereka mau ke ladang atau berburu di hutan, ya mereka pergi begitu
saja”
Pak Harry kembali bergairah berceloteh, dia menambahkan “hmmhh
kalian liat sendiri lah nanti, bagaiman kelakuan mereka itu. Tidak tau sopan
santun mereka Pak, didikan dari orang tua mereka juga itu. Ketemu di jalan mana
mau mereka senyum atau menyapa”
Pak Adi sepertinya mau ikutan berkomentar tapi gerakannya
lamban sehingga selalu terdahului oleh Pak Nur yang memang lebih senior dari
semua guru itu.
“sudah sering saya bermasalah sama orang tua siswa di sini
Pak, karena kalo mereka sudah keterlaluan, kuTennndhang pantat mereka itu,
marah ya marah, terserah mereka saja mau ngapain, saya kan mendidik, di pecat
ya wwes!”
Komentar mereka meluncur deras
membasahi kobaran semangat di dadaku hingga nyaris padam. Semuanya memberikan
pandangan yang sangat pesimis dan negative tentang kondisi sekolah dan
masyarakat kampung. Sebagai orang baru yang belum tau apa-apa, rasa-rasanya
dada saya sangat sesak dan ingin pulang saja. Apa lagi, mereka sudah lama
berada di sana dan paling tidak mereka sudah berpengalaman, kenyang makan garam
kehidupan. Dan lebih menyesakkan lagi, Pak Harry menutup diskusi dengan sebuah
pengakuan yang cukup menggelisahkan bahwa dia telah melayangkan surat
pengunduran diri sebagai kepala sekolah dan meminta agar dipindahtugaskan ke
sekolah lain. Ya Allah, bagaiman nasib kami.
Sore itu, setelah diskusi yang cukup
meredupkan semangat, saya lebih banyak merenung dan mulai malas berbicara,
segala bentuk percakapan kurespon seadanya bahkan cenderung menghindar. Saya
menyibukkan diri dengan mambayangkan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi,
bagaiman kalau senin besok para siswa tidak mau belajar bahkan mengerjai saya
dan mungkin juga mereka akan mengajak saya bekelahi mengingat postur tubuh yang
kurus kering ini. Ah semakin saya memikirkan hal-hal yang buruk itu rasa takut
ini semakin menjadi-jadi bahkan terlintas pemikiran untuk tidak usah masuk
kelas.
***
“Happy yeyeye happy yayaya saya
senang jadi anak Tuhan, siang jadi kenagan malam jadi impian cintaku semakin
mendalam”. Kira-kira begitulah lirik lagu anak-anak yang berbondong-bondong
berjalan keluar dari pintu gereja. Sore mulai agak gelap dan warga kampung satu
persatu kembali kerumah masing-masing. Saya masih duduk seorang diri di teras
rumah. Pak Yohanes dan istrinya, Buk Rina memecah lamunan saya dengan menyapa
ketika mereka hendak memasuki rumah yang hanya dibatasi oleh dinding dengan
yang saya tinggali. Mereka adalah sepasang guru juga di sekolah ini. dengan
bahasa toraja, kami bertegur sapa dan saling kenal menganal seadanya. Lagi-lagi
kawan, saya merasa menemukan keluarga baru hanya dengan modal bahasa.
Malam tiba, setelah makan dan solat
kembali saya duduk menyendiri di teras rumah sedangkan Ahmad dan 4 guru lainnya
sedang asyik menonton film di laptop dengan daya baterai sisa-sisa kota.
Ternyata pak Yohanes dan istrinya juga ada di teras mereka, jaraknya lebih
kurang hanya 2 meter sehingga percakapan kami cukup dengan nada rendah. Pak
Yohanes adalah alumni IKIP Makassar yang sekarang menjadi UNM pada 1996. Beliau
mengantongi Akta 4 dan Ijasah D.2 jurusan Pkn, sertifikat itu cukup
mengantarkannya menjadi guru PNS golongan 2D dan telah mengabdi selama 13
Tahun. Sedangkan Istrinya yang juga SolDomi (Solata’ Domai - sebutan keakraban
untuk orang-orang Toraja) adalah guru PTT berijazah SMA yang sudah berkarir
selama 10 tahun di sekolah yang sama. Dan malam itu saya lebih banyak
mendengarkan informasi tentang sekolah dan pengalaman mengajar Ibu Rina
daripada suaminya yang lebih banyak tertawa-tawa kecil sambil mengepulkan asap
rokoknya.
“saya sudah
mengajar 10 tahun di sisni pak, waktu awal-awal mengajar, anak-anak di sini
tidak pake baju, tidak mandi dan sangat susah paham kalo di ajarkan materi.
Mereka semua saya suruh pulang kalo tidak mandi, saya cubit telinganya kalo
tidak pake baju dan Pujii Tuhan, sekarang mereka sudah pake baju ke sekolah dan
juga sudah agak bersih, cuman kalo bodohnya itu masi Pak. Susah betul mereka
paham, dilembuti, dikerasi sama saja, pokoknya kita jadi guru itu harus
benar-benar sabar” Ibu Rina menjelaskan dengan logat Toraja bercampur Berau.
“Wah hebat itu Bu’ berarti ada perubahan” saya jawab memberi
semangat.
“oh iya pak, anak-anak kelas satu dua itu semua takut sama
saya, nda berani mereka itu macam-macam kalau Ibu Rina yang ajar”
“ibu killer juga ya, hehehe”
“begitulah pak, kan kasian juga mereka kalo tidak dididik
dengan benar”
Singkat cerita, Buk Rina memenuhi percakapan yang nyaris
sama dengan guru lainnya, penuh dengan nilai negative tentang kualitas siswa,
yang membedakan cuman bahasanya saja, Bahasa Jawa Vs Bahasa Toraja. Perasaanku
semakin horror, sudah 6 guru termasuk kepala sekolah yang saya temui dan semua
memberikan penilaian yang minus tentang sekolah tempatku beraksi selama 12
bulan kedepan. Tersisa dua guru lagi, yang tidak sempat kutemui hari itu, Ibu
Eka, orang jawa juga dan yang terakhir Pak Maret, Pemuda Kampung Lamcin
sendiri. Setelah beberapa kali pertemuan saya dengan Ibu Eka, ternyata dia Juga
pesimis dengan masa depan sekolah. Pak maret sendiri sebagai Pribumi tidak
banyak memberi komentar karena dia lebih senang mendengarkan dan melempar
senyum.
***
Malam semakin larut, binatang malam
bernyanyi dengan kalut, menghibur hati yang semakin takut. Kubungkus wajahku
dengan sarung, berharap esok luka hati kan terbalut.
Long
Lamcin, 1 September 2015
0 Response to "Curhatan Guru SD 012 Kelay, Kampung Long Lamcin"
Posting Komentar