Gol Perdana
Sore itu,
langit gelap sepertinya akan segera turun hujan. Saya mulai memperkenalkan
sepak bola kepada anak-anak. Do you hear that? Introducing! Di sini
sepak bola bukanlah olahraga populer sebagaimana seluruh dunia menganggapnya demikian.
Nama-nama seperti Cristiano Ronaldo, Leonel Messi, dan bintang-bintang lapangan
hijau yang lain sama sekali tidak dikenal. Tak ada perbincangan mengenai sepak
bola, apalagi perjudian seperti yang marak terjadi di daerah perkotaan,
terlebih ketika liga champions bergulir. Asingnya olahraga asal negri Elisabeth itu karena kondisi geografis kampung yang
tidak memungkinkan untuk membuat lapangan, sangat berbukit. Juga karena media
televisi yang gagal mengiming-imingi anak-anak untuk mencintai olahraga
tersebut.
Tetapi hal
itu tidak menjadi penghalang, sebidang tanah lapang yang kira-kira berukuran 10x20 meter dengan kontur yang sedikit miring dan rerumputan
yang lumayan tinggi menjadi arena permainan kami yang baru. Saya membagi para
pemain yang usianya beragam menjadi 2 team, team hulu dan hilir. Saya sendiri ikut bermain untuk team hilir bersama para anak-anak hebat sekaligus merangkap sebagai wasit
dan pelatih.
“Firaun,
Dion, kalian jadi penyerang atau striker. Tugasnya memasukkan bola ke gawang
lawan, jangan gawang teman ya, ingat itu!”
“Ok Sir”
“Simson,
Nopel, jadi pemain tengah, gelandang, tugasnya membagi bola”
“Bagi sama
siapa, Pak guru?” Tanya Simson polos.
“Bagi rata,
Nak! Ya bagi sama temanmu lah. Maksudnya kalau kamu yang bawa bola oper kepada
2 penyerang, biar nanti mereka yang memasukkan bola tapi kalau ada kesempatan
kalian juga boleh mencetak gol. Understand?”
“Yes,
Understand Sir!”
“Andrias,
Sumarna, Daring, pemain bertahan, posisinya di bawah bertugas melindungi gawang
jangan sampai kebobolan. Kalau ada bola langsung tendang jauh ke depan atau
berikan kepada teman yang tidak dijaga lawan. Paham?”
“Paham, Pak
guru”
“Mistar yang
mana, Pak guru?” Tanya Cristian dengan ekspresi kebingungan.
“Oh iya,
Sorry. Maksud saya kamu menjaga depan tumpukan sandal itu, Nak! Jangan biarkan
bolanya lewat ya.”
“Siap, Pak
guru”
“Ok. Sekarang
ke posisi yang sudah Pak guru bagi, saya ikut bermain di tengah sekaligus
menjadi wasit.” Kami langsung mengambil posisi dan siap memulai permainan.
Sedangkan team hulu yang rata-rata posturnya lebih besar, beberapa
lebih besar dari saya, diatur oleh Ahmad tapi dia sendiri tidak ikut bermain.
Katanya tidak hobby. Semua sudah siap, bola di tengah lapangan dan
“Priiiiiiitttt” permaian sepak bola untuk pertama kalinya dimulai di tanah
pengabdianku.
“Pak guru,
oper, Pak guru” Dion meminta bola, dia berdiri tanpa kawalan di depan gawang
lawan yang dijaga oleh Mika. Saya melewati Yoses yang berusaha menghalangi lalu
kemudian melepaskan umpan bawah kepada Dion.
“Ayo Dion,
Shoot!” Teriakku dengan lantang, tapi sayang sekali Dion malah menendang
gundukan tanah dan dengan santai Mika menangkap bola. Mika melempar bola jauh
ke depan melewati kepala beberapa pemain. Jeki yang menjadi striker mereka
mengejar bola sampai di mulut gawang tapi lemparan Mika masih terlalu kuat
untuk ukuran lapangan kami, bola terlempar jauh ke bawah dan hanya menghasilkan
capek mengambil bola.
“Mik, Jangan
terlalu kuat. Lemparnya pake perhitungan usahakan pas sama temannya” Teriak
Ahmad di luar lapangan.
Cristian yang memungut bola
langsung berlari jauh ketengah lapangan tanpa rasa bersalah. Dia bermaksud melakukan
penyerangan dengan cepat tapi menyalahi aturan permainan.
“Cristian,
kalau bola mati kamu tidak boleh pegang bola sampai tengah lapangan. Itu
namanya pelanggaran, kamu bisa dapat kartu kuning dan kalau masih diulangi akan
mendapat kartu merah, artinya dikeluarkan dari pertandingan. Paham?”
“Paham, Pak
guru!”
“Good. Give
me five!” Permaninan kembali berlanjut dan langit sudah mulai meneteskan air.
Hujan rintik-rintik membuat permainan semakin seru. Saling serang terus terjadi
tapi gol belum juga tercipta. Anak-anak bermain semakin tidak keruan seirama
dengan hujan yang turun semakin tidak keruan. Berkali-kali kami jatuh
terpeleset tapi bukan sakit yang terasa melainkan kegembiraan dan kebebasan.
Sampai akhirnya terjadi kemelut di depan gawang team hulu, beberapa
pemain berkumpul di sana. Bola terhenti di atas genangan air dan pemain
bertahan mereka, Welden dan Amos bersusah payah menendang bola itu keluar tapi
yang terlempar hanya percikan air yang mengenai wajah pemain lain. Akhirnya
aksi saling tendang air terjadi. Yaret, gelandang team hulu yang merasa gemas
melihat bola berputar di situ-situ saja melakukan aksi tangkap lari. Secepat
kilat dia mengambil bola menggunakan tangannya lalu membawanya keluar dari
kemelut kemudian mencoba melakukan tendangan langsung.
“Prriiiiittt,
pelanggaran. Yaret Hand
ball, tidak boleh merebut bola
menggunakan tangan” Kataku dengan wajah tersenyum.
“Tapi Pak
guru, bolanya tidak bisa pergi” dia membela diri.
“Tidak bisa,
namanya menyentuh bola menggunakan tangan adalah pelanggaran” Saya tetap
menghentikannya lalu mengambil jarak 12 langkah untuk tendangan pinalti. Yaret
sedikit menahan nafas, tanda tak puas dengan keputusan wasit. Firaun yang
ditunjuk menjadi eksekutor bersiap-siap melakukan tendangan. Sedangkan pemain
lain berdiri tegang menunggu hasilnya. Dan “Priiiiittt” Firaun melakukan tendangan
yang kurang sempurna, bola menggelinding lemah dan berhasil ditangkap oleh
Mika. Secepat kilat bola diberikan pada Yoses, Yoses melewati Simson. Serangan
balik yang sangat cepat.
“Yooosss…
umpan, Yos!” Jeki berlari sambil meminta bola. Tanpa pikir panjang, Andrias
melakukan sliding untuk menghentikan Yoses tapi bola telah sampai di
kaki Jeki. Jeki melepaskan tendangan. Bola meluncur deras ke arah Cristian, dia
tidak berhasil menangkap bola dan… gooool! Skor menjadi 1-0, tapi tak ada yang
melakukan selebrasi hanya senyum bahagia di wajah mereka. Sepertinya mereka
belum tau kalau itulah yang disebut gol, maka tanpa rasa malu saya langsung
berteriak “Gooool Gooooool goooll”
“Very good,
keren sekali Jek. Kompak dulu, Nak!” kami melakukan tos. Lalu semua anak baik
team hilir maupun team hulu ikut teriak dan berlari ke arahku. Kami semua
merayakan gol perdana itu dengan sukacita. 1-0, skor itu bertahan hanya beberapa
menit saja karena saya membuat gol balasan setelah melewati beberapa pemain dan
melepaskan tendangan akurat yang mengecoh keeper lawan.
Anak-anak mulai paham bahwa ketika gol tercipta, itu saatnya melakukan
selebrasi untuk mengekspresikan kegembiraan mereka. Skor 1-1 akhirnya bertahan
sampai permainan berhenti. Hujan telah reda dan siang telah habis tertelan
malam. Saya dan anak-anak beramai-ramai turun ke sungai untuk mandi lalu
kembali ke rumah masing-masing.
Sungguh hari
yang luar biasa. Teriakan dan expresi kegembiraan mereka masih tergambar jelas
di benakku sampai saat saya hendak tidur di malam itu, bahkan sampai saat saya
duduk menyepi di sini, mengingat kembali satu cerita tentang hari yang
bersejarah itu,
tawa dan
kegembiraan mereka atau hangatnya tubuh mereka saat memelukku masih terasa. I feel
like I cannot move on. Saya
semakin optimis bahwa mereka adalah anak-anak yang hebat, memiliki kinestetik
yang bagus dan mudah mencontoh yang mereka lihat. Sekarang, tugas beratku
adalah senantiasa menjaga sikap dan konsisten menjadi role model untuk mereka.
....to be continued....
“Firaun,
Dion, kalian jadi penyerang atau striker. Tugasnya memasukkan bola ke gawang
lawan, jangan gawang teman ya, ingat itu!”
“Oh iya,
Sorry. Maksud saya kamu menjaga depan tumpukan sandal itu, Nak! Jangan biarkan
bolanya lewat ya.”
“Ayo Dion,
Shoot!” Teriakku dengan lantang, tapi sayang sekali Dion malah menendang
gundukan tanah dan dengan santai Mika menangkap bola. Mika melempar bola jauh
ke depan melewati kepala beberapa pemain. Jeki yang menjadi striker mereka
mengejar bola sampai di mulut gawang tapi lemparan Mika masih terlalu kuat
untuk ukuran lapangan kami, bola terlempar jauh ke bawah dan hanya menghasilkan
capek mengambil bola.
Cristian yang memungut bola
langsung berlari jauh ketengah lapangan tanpa rasa bersalah. Dia bermaksud melakukan
penyerangan dengan cepat tapi menyalahi aturan permainan.
“Paham, Pak
guru!”
“Tapi Pak
guru, bolanya tidak bisa pergi” dia membela diri.
Sungguh hari
yang luar biasa. Teriakan dan expresi kegembiraan mereka masih tergambar jelas
di benakku sampai saat saya hendak tidur di malam itu, bahkan sampai saat saya
duduk menyepi di sini, mengingat kembali satu cerita tentang hari yang
bersejarah itu,
tawa dan
kegembiraan mereka atau hangatnya tubuh mereka saat memelukku masih terasa. I feel
like I cannot move on. Saya
semakin optimis bahwa mereka adalah anak-anak yang hebat, memiliki kinestetik
yang bagus dan mudah mencontoh yang mereka lihat. Sekarang, tugas beratku
adalah senantiasa menjaga sikap dan konsisten menjadi role model untuk mereka.
0 Response to "Porseni, Berjuang atau Pulang saja #2Gol Perdana."
Posting Komentar