Berhenti
mengeluhkan kegelapan, saatnya menyalakan lilin
Waktu
terus berjalan dan sosok yang kami tunggu-tunggu belum juga muncul. Siapa lagi kalau
bukan kepala sekolah. Dialah yang menjadi kunci dalam rangkaian panjang usaha
ini. Anak-anak sudah siap, orang tua mendukung, para dewan guru juga sedang on fire, tinggal satu element lagi
yang perlu ditambahkan dan ini akan menjadi sempurna, otoritas tertinggi
sekolah.
Lamcin di pagi hari. Embun itu ada, sesuatu yang tak pernah bisa kudefenisikan dengan tepat, apakah air atau asap. tak pernah bisa, tapi aku suka padanya. Lamcin. Pagi. Embun. Sempurna |
Beragam
cerita miring tentang sang pemimpin yang bungkam mulai bermunculan. Tentang isu
pengunduran diri dari jabatannya yang simpang siur, tentang ketidaksepahamannya
dengan bendahara sekolah yang mengakibatkan dana operasional dari dinas
pendidikan tidak bisa dicairkan, tentang perang urat saraf antara dia dengan warga
kampung yang membuatnya sangat tidak betah untuk mengurus sekolah, tentang
kehidupan rumah tangganya yang sedang diterjang badai, tentang masalah pribadi,
profesi, dan korupsi. Semakin banyak gossip yang berkembang, semakin banyak
pula keluh kesah yang bermunculan.
Gejala
ini membuat hati saya gelisah dan mulai memikirkan kemungkinan terburuk “SD N
012 Kelay lagi-lagi absen dalam kegiatan tahunan, SM-3T gagal membawa
perubahan!” Ah tidak, jika itu terjadi maka satu tahun masa abdiku akan terasa
hambar dan sia-sia. Sungguh memalukan. Siang itu, ketika anak-anak
beramai-ramai meninggalkan sekolah, saya dan Ahmad beserta 4 guru lokal membuat
rapat kecil-kecilan untuk membahas masalah ini secara serius dan mencari jalan
keluarnya. Sebagai moderator dalam rapat itu, saya mulai membuka rapat lalu
membacakan satu-satunya agenda pembahasan “pencarian dana kegiatan”.
“Begini, Pak Saddang” Ibu Eka memulai dengan
logat Jawa yang sangat medok, nama
saya terdengar jadi SADHANG, “kita hitung dulu berapa total biaya yang kita
perlukan, baru kita cari sumber dananya”
“Iya,
Pak. Betul itu.” Kata Pak Rendi dengan logat Jawa yang sedikit lebih tipis.
Diikuti anggukan dari peserta yang lain.
“Ok,
yang kita butuhkan adalah 1. Biaya
transportasi dari Lamcin ke Kecamatan, pergi-pulang. 2. Konsumsi selama 7 hari
dari tanggal 7-13 februari. 3. Biaya registrasi dan yang terakhir adalah kostum
team. Ada masukan bapak ibu sekalian?”
“Saya,
Pak Saddang” Pak Adi mengacungkan tangan. “Ada 2 jalur yang bisa kita pakai
untuk transportasi, sungai dan darat. Kalau kita pake ketinting, bisa habis 40
liter bensin pergi, pulangnya sekitar 60 karena melawan arus jadi 100 liter itu
kurang lebh 1 jt, untuk satu ketinting, dan kita butuh 3 ketinting jadi 3 juta,
ditambah dengan pembayaran jasa motorist, anggaplah 1 jt per orang jadi total 6
juta. Sedangkan, kalau kita pake mobil kita butuh 2, sewanya 3.5 juta untuk
pergi pulang per mobil, jadi total 7 juta. Itu saja dari saya kalau perhitungan
konsumsi, Ibu Eka pasti lebih tau karena dia sudah ibu-ibu.” Hehehe.
Ibu Eka
kemudian sibuk mencorat-coret kertasnya, menghitung semua biaya konsumsi yang
dibutuhkan, mengambil standar yang paling rendah dan akhirnya menarik
kesimpulan bahwa setiap orang menghabiskan Rp.150.000 selama 7 hari, 3 kali
makan setiap harinya. “itu sudah yang paling murah, dan semuanya harus dikerja
sendiri” katanya mengakhiri.
“Weh
murah sekali itu, Buk! Apa tidak salah? Kalimantan ini e, saya paling murah
menghabiskan 50 ribu per hari” Kata Ahmad dengan ekspresi terkejut.
“Pokoknya
ibu-ibu yang ngomong jadi percaya aja” balas ibu Eka sedikit bercanda lalu tawa
kembali pecah.
Setelah
pembahasan tentang kebutuhan dana yang disimpulkan sebesar Rp.12.000.000 kami
melangkah ke pembahasan cara memerolehnya. “Kita bisa memasukkan proposal
bantuan dana atau jasa transportasi kepada perusahaan Amindo” Kata Ahmad
memberi masukan.
“Pasti
dikasih itu, Pak. Soalnya selama ini kalau kampung punya keperluan, perusahaan
selalu bantu, nanti kita minta persetujuan dari kepala kampung kalau perlu” Pak
Mared menambahkan dengan penuh keyakinan, dia memang pemuda asli kampung
Lamcin.
“Ok,
nanti kita susun proposalnya bersama-sama. Ada masukan lain?”
“Bagaimana
dengan LSM Payopayo? Siapa tau mereka bisa bantu”
“Ide
bagus. Nanti kita bicara langsung sama fasilitatornya, Buk Linlin. Kalau
pemerintah kampung dan orang tua murid?” Saya kembali meminta pendapat. Raut
wajah peserta rapat sontak mengalami perubahan, ada murung disana dan tiba-tiba
suasana menjadi kaku.
“Boleh
juga,” kata Pak Rendi dengan ragu “Cuman itu dia Pak, warga kampung selama ini
kurang mendukung kegiatan sekolah, apalagi ini kita mau minta dana. Aku kurang
enak aja”
“Tidak
papa, Pak. Kita coba saja, kumpulkan orang tua wali, kita adakan rapat dan
sampaikan kepada mereka tentang kondisi kita sebagaimana adanya. Ya hasilnya
biar kita liat nanti. Toh kalau memang mereka tidak bisa membantu dan
ujung-ujungnya kita tidak bisa pergi membawa anak-anak, kan mereka paham
alasannya.” Saya berusaha meyakinkan.
Keheningan
masih terasa dan tiba-tiba Pak Adi mengangkat suara. “Iya, betul juga itu Pak
Saddang, selama ini memang orang tua tidak pernah dilibatkan dalam kegiatan
sekolah makanya kondisi kita seperti terpisah dari masyarakat dan pemerintah
kampung.” Pak Adi mengisyaratkan dukungan.
“Jadi
bagaimana ibu bapak sekalian, Sepakat kah kita mengadakan rapat dengan warga?”
“Sepakat!”
Terdengar ragu tapi jelas. Senyum tergurat di wajahku dan siang itu juga kami
meninggalkan ruang rapat dengan perasaan sedikit terang, seolah-olah ada
setitik cahaya di tengah kegelapan.
Saya
pulang langsung membongkar file-file yang ada dalam note book biruku, mencari
contoh undangan rapat. Ahmad langsung mengedit Prorposal kegiatan dan sore itu
juga undangan beserta proposalnya sudah tercetak. Pada malam hari, kami membagi
tugas untuk menyebarkan undangan dan tidak butuh waktu terlalu lama untuk
meyakinkan orang tua untuk hadir keesokan harinya.
Rapat bersama guru dan orangtua/wali siswa di SDN 012 Kelay. Pak Mared tersenyum tipis mendengar penyampaian dari salah satu orangtua. |
Waktu
sudah pukul 8 tapi pagi masih gelap, hujan baru saja mengguyur kampung dan
kabut tebal memangkas jarak pandang. Di ruang kantor yang baru jadi dengan
warna hijau terang yang menyejukkan hati, rapat guru dan orang tua wali untuk
pertama kalinya terjadi di sekolah. Kali ini, Pak Adi yang berperan sebagai
moderator dan saya sendiri sebagai pembicara yang menjabarkan pembahasan rapat
serta meyakinkan orang tua bahwa kegiatan ini sangat penting untuk anak-anak
mereka.
“Ada
tiga elemen penting yang menentukan keberhasilan pendidikan bapak ibu yang saya
hormati. Yang pertama adalah pemerintah sebagai pembuat kebijakan. Yang kedua
adalah bapak dan ibu guru yang menjadi pelaksana atau ujung tombak pendidikan
dan yang ke tiga adalah masyarakat umum yang membantu dan mengawasi prosesnya.
Maka melalui moment ini, peran serta dan kerjasama bapak ibu sangat dibutuhkan”
celotehku dengan berapi-apai. Bla bla bla.
Peserta
rapat kelihatan sedikit kebingungan dengan apa yang saya katakana, apalagi
dengan cara bicara saya yang terlalu cepat seolah sedang berhadapan dengan
sekelompok akademisi yang bisa dengan mudah memahami maksud pembicraan. Saya
mengurangi kecepatan kemudian menyampaikan hal-hal yang sekiranya nyata di
hadapan mereka.
“Ibu
bapak masih ingat dengan perayaan natal gabungan 2 bulan lalu? Kampung kita
menjadi juara 2 main takraw, dan yang bermain saat itu adalah Yaret, Jeki dan
saya sendiri, sedangkan lawan-lawan kita dari kampung lain adalah orang-orang
dewasa tapi kita bisa sampe juara 2, itu artinya anak-anak kita bisa
berprestasi dan menjadi generasi yang hebat. Mau tidak anak-anak kita menjadi
generasi yang hebat, bapak-ibu?”
Anggukan
mulai terlihat dari para peserta rapat, dan akhirnya Pak Yohanes, Sekertaris
kampung, mengangkat suara. “Kami para orangtua ini, sebenarnya mau juga melihat
anak kami seperti anak sekolah di kota, bisa ikut pertandingan atau
kegiatan-kegiatan macam ini, kami mau, cuman selama ini kami tidak tau
bagaimana caranya. Kalau ada yang mau bawa dan usahakan saya siap membantu.”
“Pak
guru, kenapa orangtua harus dimintai uang padahal dana BOS itu banyak, saya tau
itu karena saya mantan kepala kampung. Tolong itu dijelaskan karena tidak semua
kami ini orang mampu.” Pak Matius mulai membuka keran Uneg-uneg.
“Kami
mengerti ketidakpuasan bapak-ibu dengan pengelolaan dana sekolah, hanya saja,
kepala sekolah kita kurang aktif (“kurang aktif” sungguh kebohongan besar. TAK
PEDULI, lebih tepat) sehingga kami para guru tidak tahu menahu soal dana. Kami
tetap mengusahakan untuk memberitahukan beliau, tapi saat ini kami hanya ingin
agar kita tidak bergantung pada satu orang dan bisa membawa anak-anak ke
Merapun.” Setelah menjelaskan ini itu, akhirnya orangtua maklum.
Ternyata
tidak terlalu sulit melakukannya. Tidak ada perdebatan yang berbelit-belit
hanya beberapa keluh kesah warga kampung yang merasa tidak puas dengan
perkembangan sekolah dan juga kinerja aparat sekolah. Tapi itu adalah hal yang
sangat wajar dan akhirnya orang tua mulai membuka diri dengan para guru dan
begitu pula sebaliknya. Layaknya setumpukan sampah yang telah lama menghalangi
aliran air, tiba-tiba seorang pemulung datang mengobrak-abriknya, mengambil
yang dia butuhkan lalu mencampakkan yang tidak berguna lagi. Air mengalir
dengan bebas dan sang pemulung merasa lega. Begitulah perasaanku saat itu,
perasaan si pemulung sampah.
Hasil
dari rapat itu sungguh menggembirakan. Orang tua siap menutupi dana konsumsi,
sedangkan pemerintah kampung memberikan pendampingan ke perusahaan dan jika
perusahaan menolak memberi bantuan maka pemerintah kampung siap menanggung
biaya transportasi. Jalan semakin lebar terbuka, dan mimpiku untuk melihat
anak-anak berlaga di medan tempur sedikit lagi akan terwujud.
“Berhentilah
mengeluhkan kegelapan dan mari menyalakan lilin” kata Anis Baswedan. Kami menyalakan
lilin demi secercah cahaya. Menjaganya tetap menyala. Tidak membiarkannya
melalap apa saja. Lilin telah menyala, harapan kami bercahaya. Alhamdulillah.
***
0 Response to "Porseni, bejuang atau pulang saja #5Menyalakan lilin"
Posting Komentar