Tournament, day 1
Sebuah mobil
truck hijau telah membunyikan klakson di depan rumah Ibu Eka. Masih sangat pagi
dan jemputan telah datang, kami bergegas menaikkan barang yang telah
dipersiapkan malam sebelumnya. 3 jam kemudian kami telah tiba di Kampung
Merapun.
Merapun
kelihatan lebih ramai dengan deretan rumah yang rapat dan jalan aspal di pusat
keramaiannya. Meskipun masih termasuk perkampungan orang-orang Dayak, komposisi
masyarakatnya lebih heterogen dengan banyaknya pendatang yang mengadu nasib di
sana. Sebuah perusahaan sawit yang berhasil merebut hutan hujan tropis dari
masyarakat adat dan merubahnya menjadi hutan kelapa sawit yang terbentang luas
menjadi daya tarik tersendiri untuk para pendatang yang kebanyakan berasal dari
bagian timur Indonesia, termasuk orang-orang bugis.
Perpaduan
budaya yang terdapat di kampung Merapun menjadi salah satu faktor utama yang
mendorong terjadinya perkembangan dalam banyak sektor kehidupan. Akses jalan
lebih mudah, informasi lebih cepat, dan fasilitas-fasilitas publik lebih
lengkap daripada perkampungan lain yang ada di kecamatan Kelay. Dengan semua
itu maka tidak heran jika kegiatan PORSENI bukan kali pertama diadakan di Merapun. Ada dua sekolah dasar yang menjadi tuan
rumah dan merekalah yang
menjadi favorite juara umum tahun ini sama seperti tahun-tahun sebelumnya.
Setelah
upacara pembukaan yang dihadiri oleh kepala dinas kabupaten Berau, dan
dimeriahkan oleh tari-tarian khas suku Dayak, lomba lari 100 meter untuk putra
dan putri langsung dimulai.
“Amos,
Yenni, siap-siap! Kita akan segera bertanding.”
“Boleh pake
sepatu kah, Pak guru? Kaki aku sakit” kata Amos sambil menunjuk bekas tusukan
paku di telapak kakinya.
“Iya, nak.
Ayo cepat!” kami langsung menuju ke kerumunan di tengah lapangan bola. Panitia
memperbolehkan peserta memakai sepatu atau tidak, tapi kebanyakan melepas
sepatu karena rumputnya agak licin.
“Amos,
Yenni, kalian perhatikan cara startnya ya, seperti yang pak guru ajarkan,
jangan melewati garis dan fokus dengan wasitnya, ketika peluit berbunyi kalian
langsung tancap gas dan jangan berhenti atau menoleh kanan kiri sampai melewati
garis finish. Lihat, ada garis pembatas, kalian jangan masuk dalam jalur pelari
yang lain, Ok!”
“Ok, pak
guru!” terlihat wajah tegang mereka dan sangat jelas bahwa keramaian memengaruhi
mental mereka.
“Kalian
semua, ayo berikan semangat kepada saudara kalian, tangan di dalam dan mari
berteriak yang keras” seluruh pasukan termasuk para guru membentuk lingkaran
kecil kemudian menyatukan tangan di tengah.
“Laamcin,
Laamcin, Lamcin, HuuuuuuHhaaaaa” hentakan suara yang keras menggema seantero
lapangan, membuat konsentrasi massa sejenak tertuju kepada kami. Nama Lamcin
mulai dikenal. Amos langsung melangkah dengan pasti menuju garis start.
“Bersedia,
Siaaappppp, Priiiiitttt” Wasit meniup peluit dan 7 pelari telah meninggalkan
posisinya, tapi Amos masih diam di sana.
“Lari, Mos!”
teriakku dengan lantang. Seperti terkaget, Amos langsung berlari tapi telah
tertinggal sekitar 2 meter.
Nafasku
tertahan karena tegang, sungguh tak siap jika pada putaran awal team kami
langsung kalah. Deretan penonton terlihat berbaris rapat, berteriak riuh
mendukung jagoan mereka masing-masing. Sengatan mentari pagi menambah panasnya
pertandingan. Terlihat di dalam lintasan Amos bergerak cepat seperti sedang
mengejar babi, dia satu-satunya peserta yang tidak melepaskan sepatu. Dengan
cepat ia melewati peserta lain yang larinya melambat karena kehabisan nafas,
kini nampak jelas 3 peserta terdepan yang mendekati garis finish dan Amos salah
satunya. Peluit kembali berbunyi, para pelari telah melewati garis finish. Saya
langsung mendekat tak sabar melihat hasilnya dan ternyata Amos menempati posisi
2, ia berhak melaju ke babak final.
Di momen ini, latihan baris berbaris memenuhi panggungnya. Gagah perkasa pasukan Lamcin yang dinahkodai oleh Pak Adi. Momen ini bukan sekedar berseragam olahraga sekolah, ini adalah eksistensi. |
Bukan tegang, barisan sedang menguji mental para pesaing. |
“Wow, very
goog my boy! Give me ten!” dia nampak sangat kelelahan tapi senyum bahagia
tetap tergurat di wajahnya.
“Larimu
sangat cepat, luar biasa. Perhatikan bunyi peluit pada saat permulaan ya, kamu
bisa yang tercepat, tadi kamu tertinggal beberapa langkah saja”
“Siap, pak
guru!”
“Ok, Good.
Sekarang kamu istirahat.” Saya kemudian meninggalkan Amos dan mengejar Yenni
yang sudah bersiap-siap di garis start.
“Yenni,
dengarkan aba-aba siap, nak. Jangan tertinggal satu langkah pun. Pandangan
terus kedepan sampai finish. Mengerti!”
“Mengerti,
Pak guru!”
“Bersedia,
Siaaappp….” Peluit belum berbunyi dan beberapa atlet langsung berlari, penonton
menjadi riuh, sebagian mengolok dan yang lain sok menyemangati. Kulihat wajah
Yenni semakin gugup.
“Santai,
nak. Itu sudah biasa terjadi. Tetap fokus” saya mencoba menenangkan dia.
“Bersedia,
Siaaappppp, Priiiitttt” seluruh peserta langsung berlari termasuk Yenni, awal
yang baik. Dia meninggalkan beberapa peserta yang lain, dan berada pada posisi
4 terdepan, saya mulai tersenyum dan berpikir dia akan menang. Tapi tiba-tiba
saja larinya melambat, dan satu-persatu peserta lain meninggalkannya. Semakin
dekat dengan garis akhir, larinya semakin melambat dan jelas terlihat dia
menyeret kaki kirinya. Saya menggaruk kepala yang sebenarnya tidak gatal
kemudian berlari ke garis finish. Ia berada di posisi 2 paling buncit, gagal ke
putaran final.
“Kamu
kenapa, Nak?” tanyaku cepat
“Kaki saya
sakit, Pak guru” katanya sambil menghapus keringat di dahi.
“O, ayo
sini, kita ke tempat teduh beristirahat, tolong papah temannya, nak” pintaku
kepada yang lain.
Putaran
final untuk kelompok putra akan segera digelar. 8
pelari yang terseleksi dari 2 gelombang kini berbaris di gari awal. Amos
menempati jalur nomor 7 dan sudah siap untuk memenangkan pertandingan. Suara
teriakan penonton menambah tegangnya suasana. Pemimpin lomba meniup peluitnya
dan seluruh peserta langsung bergerak maju. Amos mengawali laga dengan baik dan
akhirnya finish di urutan ke dua. Dia hanya telat sepersekian detik dari pelari
tuan rumah yang bertubuh jangkung dengan kulit berwarna gelap, mirip Husain
Bolt.
Kami semua
langsung menyambut Amos dengan suka cita dan tak henti-hentinya memuji hasil
yang dia torehkan. Awal yang sangat baik, satu medali perak telah berhasil kami
genggam di hari pertama. Kami kembali membentuk lingkaran lalu berteriak
sekencang-kencangnya. “Laamcin, Laamcin, Lamcin, HuuuuuuHhaaaaa”.
Amos, Pak Adi. Murid Guru yang menjelma menjadi sepasang sahabat. Beginilah seharusnya pendidikan itu |
Sore itu
jadwal pertandingn sangat padat, kurangnya jumlah atlet membuat beberapa anak
harus bermain di banyak cabang olahraga yang berbeda. Untungnya, panitia
memaklumi dan mau mengaturkan jadwal agar tidak bertabrakan dengan pertandingan
yang lain. Sepak takraw dengan mudah dimenangkan 2 set langsung, sepak bola
sangat mengejutkan karena team bermain hebat dan unggul dengan skor mutlak 4-0.
Sedangkan cabang olahraga yang kami andalkan justru mengalami sedikit kendala,
pertandingan volley.
Anak-anak
Lamcin terlahir dan tumbuh bersama permainan ini tapi kurangnya informasi yang
kami terima membuat kami semua terkejut dengan aturan pertandingan yang
diterapkan. Sesuai dengan tingkatan Sekolah Dasar maka pertandingannya adalah
pertandingan volley mini. Hanya ada 4 pemain di dalam lapangan yang ukurannya
jauh lebih kecil dari lapangan dewasa. Team lamcin sangat kesulitan
menyesuaikan diri dengan kondisi lapangan yang kecil itu, setiap kali melakukan
servis bola mereka melewati lapangan. Terlebih lagi ketika melakukan smash,
bola selalu out. Team putra kalah diset
pertama, 15-25.
“Bermain
rileks, nak. Tidak usah terbebani oleh penonton yang ramai. Ingat, kalian
unggul dalam kekuatan tapi terlalu sering mematikan bola dan itu menambah point
lawan. Kontrol permainan, jangan terburu-buru, main yang cantik dan usahakan
smash menukik, jangan melambung, ini lapangan kecil, Ok!” saya memberikan
masukan selayaknya pelatih propesional. Kami kemudian bersorak kompak.
“Are you
ready?”
“Yes, yes
Ready!”
“Lamcin,
Lamcin, Lamcin, huuuuuhaaaa!”
Amos,
Welden, Yaret, dan Jeki mengambil posisi dan lawan melakukan servis. Bola tepat
kearah jeki yang berada di posisi belakang, jeki melakukan passing ke Yaret
yang berada dekat net, Yaret mengangkat bola dan Amos melakukan lompatan
tinggi, Smash yang kuat namun bola terhenti oleh jaring net.
“Percobaan
yang bagus. Sedikit lagi, Nak!” teriakku di sisi lapangan.
“Long
Nguikian, Long Nguikian” sorak sorai pendukung menyemangati lawan kami. Bola
kembali menyebrangi net Lamcin, Welden langsung mengembalikan tanpa memberi
umpan, pemain Long Nguikian kembali menyebrangkan bola, Yaret melakukan passing
bawah kepada Jeki, Jeki kepada Amos dan lagi, dia melepaskan smash keras. Kali
ini meluncur dengan tajam tanpa bisa di halau oleh pemain lawan. Skor untuk
Lamcin dan sorakan penonton semakin riuh. Kejar-mengejar angka terlihat sangat
ketat di set ke dua ini, Lamcin lebih ungul 2 angka dan akhirnya menutup set
ini dengan keunggulan 25-22.
“Permainan
yang sangat bagus, kalian harus pertahankan itu. Ini set ketiga, set penentuan.
Jangan sampai lengah karena kita masih ingin bertanding besok, betul?”
“Betul!”
“Good,
menangkan pertandingan ini. Perlihatkan kekompakanmu, mari bersorak!”
Laga perdana cabang bola voli. Jeki menyambut bola. Sore itu, sengatan mentari masih bengis, mempercepat cucuran keringat para pemain, sporter, dan penonton. |
Sementara tim putra bertanding, tim putri melakukan latihan di halaman posko |
Pertandingan
kembali berlanjut dan anak-anak mulai bisa mengontrol pukulan mereka. Irama
permainan semakin menarik dan akhirnya Lamcin keluar sebagi pemenang dengan
skor yang cukup telak, 25-12. Setelah itu, pertndingan volley putri juga
dimulai dan hasilnya sama menyenangkan dengan skor yang lebih meyakinkan,
kemenangan 2 set langsung.
Langit yang
tadi berwarna jingga kini berubah menjadi gelap, sore telah habis terbungkus
malam dan lapangan perlahan sepi. Kami kembali ke rumah tempat kami menginap
yang terletak tak jauh dari lapangan, lalu beramai-ramai menuju sungai untuk
membersihkan diri. Sepanjang perjalanan sampai kami pulang dari sungai,
anak-anak terus bercerita tentang apa yang telah terjadi, semua merasakan
kemenangan dan semua merasa bahagia. Satu pertandingan lagi untuk menutup hari
pertama ini, pertandingan bulu tangkis.
Gedung
pertandingan sudah sepi ketika Lamcin bertanding melawan Panaan. Walaupun
begitu, jalannya pertandingan tetap seru dan sangat mengesankan. Kami yang
tidak punya lapangan badminton di kampung tidak berambisi untuk menang bahkan
sudah menyiapkan alibi jika benar-benar kalah, “Ya wajarlah kita kalah, raket
saja kita tidak punya”. Team ganda putri yang lebih dulu bermain dengan mudah
tumbang dari pasangan SD Panaan. Tetapi team putra yang diisi oleh 2 sepupu,
Jeki dan Yaret, tampil mengejutkan dengan memberi perlawanan sengit bahkan
unggul di set ke tiga dengan kemenangan jus, 17-15. Wow, Unbelieveble.
Lagi-lagi kami menang.
Wajah-wajah
kelelahan dan mengantuk kini berubah cerah untuk menapaki jalan kembali ke
peristirahatan. Sungguh hari yang sangat luar biasa, kemenangan demi kemenangan
kami torehkan bahkan sudah memastikan satu medali perak. Kami menutup hari
pertama PORSENI dengan sangat gemilang, terlebih karena kami, SD N 012 Kelay
adalah pendatang baru dalam even tahunan ini. Rasanya berat untuk move on,
ingin kunikmati lebih lama perasaan bahagia seperti ini, tapi rasa kantuk tidak
bisa terkalahkan, I
must sleep because tomorrow will be more challenging.
***
Baca part lain dari cerita Porseni ini:
0 Response to "Porseni, Berjuang atau Pulang Saja #8Hari Pertama Melakoni Laga"
Posting Komentar