Berlatih dan belajar
disiplin
Permainan sepak bola semakin
ramai, kini bukan hanya anak-anak yang bermain tapi pemuda kampung bahkan
orang-orang tua juga ikut. Lapangan semakin sesak dan latihan anak-anak menjadi
kurang efektif, tapi urusan keceriaan dan seru-seruan semakin seru. Anak-anak
semakin bagus dalam menendang, memberi umpan, menyundul, dan mengontrol bola. Perkembangan mereka luar biasa pesat. Begitu pula dengan permainan takraw.
Tepat di depan rumah yang saya tinggali, ada lapangan takraw yang sudah sangat
lama tak dimanfaatkan, garis-garisnya tidak kentara lagi tertutupi oleh rumput
yang tumbuh memenuhi lapangan. Hanya 2 tiang yang masih berdiri kokoh
menandakannya sebagai lapangan takraw.
Lapangan itu kemudian kami
bersihkan, Ahmad membuat garis dengan memanfaatkan kabel bekas yang tak
terpakai lagi, kedua tiangnya kami hubungkan menggunakan tali rapia sebagai
net. Ketika putus kami ganti dengan tali yang baru dan ketika tali telah habis
kami menggunakan rumput jalar yang tumbuh subur di sekitar area tersebut.
pokoknya kami tak kehabisan akal untuk tetap mersakan serunya bermain takraw.
Minimnya fasilitas tak mampu menghentikan kami.
Meskipun tidak jago memainkan
bola rotan itu, saya punya sedikit modal dengan kemampuan juggling yang saya
miliki. Kebiasaan bermain futsal atau bola kaki memudahkan saya untuk
memberikan pelatihan dan memperlihatkan contoh secara langsung kepada anak-anak
untuk memainkan bola agar tidak jatuh ke tanah. Dan yang terpenting adalah
mengajari mereka aturan-aturan dasar dalam permainan takraw seperti setiap team
terdiri atas 3 pemain, ketika melempar bola pelempar harus berada di dalam
garis seperempat lingkaran, dan bola hanya bisa disentuh maksimal tiga kali.
Anak-anak begitu antusias dengan permainan ini, dan lagi-lagi mereka sangat
mudah memperagakan yang mereka lihat. Pada awalnya mereka begitu takjub ketika
melihatku bermain, pada saat saya memainkan bola dengan kaki yang menyilang
mereka sangat terkejut dan berkata “Attaiwa, beguru’ bissanya!” kurang
lebih terjemahannya begini “Ya ampun, Pak guru kok bisa seperti itu!” saya
hanya tertawa kemudian berkata “Oh mahal itu dipelajari selama 8 semester baru
bisa” diiukuti oleh tawa.
Adapun permainan volley bukan
saya yang melatih ataupun mengajar justru sebaliknya, saya yang belajar dari
mereka. Di semua perkampungan Dayak yang ada di sepanjang hulu sungai Kelay ini
permainan volley adalah permainan rakyat. Permainan ini disenangi oleh semua
usia, mulai dari anak-anak sampai kakek-nenek. Merka begitu kuat ketika memukul
bola dan nampak sangat lihai dalam memainkannya. Saking gemarnya masyarakat
kampung dengan olahraga ini sampai-sampai ada 2 lapangan yang tersedia,
lapangan putra dan putri. Bahkan satu diantaranya sudah ditembok layaknya
lapangan professional.
Ketika bermain volley bersama
murid-muridku, saya selalu menjadi bahan tertawaan mereka karena tak mampu
menyebrangkan bola service. Bergantian mereka berusaha mengjariku teknik
pemukulannya agar bisa terlempar jauh tanpa harus mengeluarkan banyak tenaga.
Akhirnya saya sedikit bisa tapi kuakui olahraga ini sulit buatku karena otot
lengan yang sangat lemah dan tinggi badanku yang tidak seberapa. Berbeda dengan
siswa-siswiku yang setiap hari mendayung perahu, mengangkat air, berburu
binatang, mencari kayu bakar, dan mendulang emas. Badan mereka begitu kekar dan
ototnya kuat-kuat. Ah, mereka adalah juaranya, kehidupan keras yang tiap hari
mereka lalui adalah pelajaran yang sangat berarti buatku untuk terus mensyukuri
hidup yang selama ini saya dapatkan.
A new thing will bring a new
challenge. Kebiasaan baru anak-anak berolahraga dengan intensitas yang
cukup padat memberikan tantangan baru buat saya. Yaitu tantangan berupa
kedisiplinan. Di pagi hari mereka datang lebih cepat meminta bola lalu bemain
sebelum jam pelajaran dimulai. Awalnya, hal ini berefek positif karena mereka tidak
terlambat lagi datang ke sekolah, tapi lama-kelamaan ini menjadi masalah ketika
mereka enggan untuk langsung berhenti pada saat besi tua yang dipukul tanda
masuk telah berbunyi. Terlebih lagi ketika jam istirahat, kebanyakan mereka
memilih untuk tinggal bermain dan ketika waktunya masuk mereka malah pulang
beralasan untuk makan, lapar katanya. Hal ini membuatku memeras otak untuk
memediasi antara semangat mereka untuk berlatih dan kedisiplinan sebagai aturan
sekolah. Tentunya saya tidak ingin mencederai semangat mereka untuk menjadi
pemain yang hebat dan menang dalam setiap pertandingan saat pergelaran PORSENI
nanti tapi saya juga tidak ingin jika mereka kemudian mengabaikan jam
pelajaran.
Berkali-kali cara yang super lembut
saya lakukan. Meminta dengan baik-baik lalu kemudian membujuk mereka untuk
memasuki kelas tapi apa yang saya dapatkan adalah kekecewaan. Tidak sedikit
perkataan mereka yang mengiris-iris hatiku, seperti ketika di satu siang yang
terik dan badanku sedang kurang fit.
“Ayo, Nak! Sekarang kita belajar”
panggilku kepada beberapa anak-anak yang masih asyik bermain.
“Dubay, Pak guru” artinya
sebentar lagi. Saya dengan sabar menunggu mereka. 5 menit kemudian saya kembali
menegur tapi mereka malah bergeming seolah saya tidak ada di sana. Saya
meninggalkan mereka memasuki kelas dengan perasaan kurang enak, berharap mereka
mengerti dan mau ikut ke kelas. Yang datang hanya beberapa orang saja sedangkan
yang lain masih tetap bermain. Saya keluar dengan perasaan sedikit emosi
memanggil mereka dengan nada yang dipaksa lembut.
“Aduh, kalian, mau belajar apa
main? Sekarang waktunya belajar, nak. Sudah itu, kita belajar dulu ya!”
Senyumku sedikit kecut. Bukannya berhenti mereka malah berbicara menggunakan
bahasa daerah mereka yang tidak saya pahami. Otomatis saya merasa tersinggung
dengan sikap seperti itu, “pasti mereka sedang mengatai saya” pikirku.
“Eh kalian ini kenapa susah
sekali dikasih tau. Kalau kalian tidak berhenti sekarang juga, bola itu saya
ambil dan tidak akan saya keluarkan lagi!” sekarang nada suaraku agak meninggi.
“Ah, Pak guru ini ganggu orang
main saja!” Simson berkata serius sambil membanting bola lalu pergi menyeret
tasnya. Saya merasakan degup jantungku lebih kencang, dan tubuhku sedikit
bergetar. Saya sebisa mungkin menahan emosi lalu kembali ke kelas. Dengan susah
payah saya kembali memasang senyum lebar di wajah dan besikap seolah-olah tidak
terjadi apa-apa. Huhhh berat juga menjadi guru.
Bukan
hanya itu, mereka memliki kebiasaan habis pake langsung buang. Ketika selesai
bermain saya selalu menemukan mereka meninggalkan bola begitu saja, panas
kepanasan dan hujan kehujanan tanpa ada yang peduli. Itulah mengapa
barang-barang yang kami sediakan cepat sekali rusak. Berkali-kali saya ingatkan
untuk merawat barang-barang itu tapi mereka tak mengacuhkan semua yang saya
katakan. Sampai pada suatu hari saya benar-benar marah dan meluapkannya secara
langsung kepada mereka. Hari itu adalah hari jum’at, seperti biasa tidak ada
aktifitas dalam kelas, hanya senam atau olahraga. Setelah bermain, lagi-lagi
mereka meninggalkan bola begitu saja di tengah lapangan. Saya panggil mereka,
kebanyakan siswa kelas 3, 4, 5, dan 6 lalu mengumpulkannya di tengah lapangan.
“Kenapa kalian sama sekali tidak
memperhatikan yang saya katakan? Bola itu setelah dipake harus dikembalikan.
Jangan ditinggal begitu saja, liat berapa sudah bola kita yang hilang, berapa
yang rusak?” Ucapku dengan berapi-api. Mereka hanya tertunduk lalu satu persatu
membela diri dengan mengatakan “Bukan saya, Pak guru!”
“Pak guru tidak pilih pilih,
pokoknya semua bertanggung jawab menjaga bola ini. Ingat! Sekali lagi saya lihat
bola ini tercecer saya sama Pak Ahmad tidak mau lagi membelikan yang baru untuk
kalian. Kami sudah berkorban supaya kalian bisa maju tapi bukan begini caranya.
Paham?”
“Paham, Pak guru!” jawab mereka
pelan.
“Paham, Tidak?!”
“Paham!” sekarang lebih keras dan
tegas.
“Bagus, Semua ambil posisi push
up!” mereka kemudian push up lalu membubarkan diri dengan diam.
Sejak saat itu, kedisiplinan
mereka mengalami perbaikan. Tapi tidak sepenuhnya sesuai dengan apa yang saya
inginkan. Saya tahu bahwa ketidakdisiplinan itu karena selama ini mereka hidup
dalam lingkungan yang memang kurang mendukung. Dan saya akui bahwa waktu satu
tahun pengabdian tidaklaah cukup untuk merubah mereka semua. Terlebih
memberikan pemahaman kepada orang tua, karena mereka jugalah yang memainkan
peran utama. Dari kejadian itu pula saya sadar bahwa cara yang lebih keras dan
tegas terkadang lebih efektif.
Saya merasakan perjuangan semakin
menantang dan akan lebih banyak kejutan yang akan datang. Saya harus lebih
sering intropeksi diri dan belajar menjadi yang lebih baik dari pengalaman ini.
***
0 Response to "Porseni, Berjuang atau Pulang saja #3Melatih mental dan fisik"
Posting Komentar