Kelay
Hujan
mengguyur perjalanan kami, sedangkan mobil yang kami tumpangi adalah mobil
dengan model single cabin. Jadilah 10 penumpang basah kuyup, menggigil
kedinginan. Untung saja, barang bawaan kami seperti tas, selimut, peralatan
dapur, dan lain-lain telah dimasukkan ke dalam box yang diangkut oleh mobil
lainnya bersama 6 penumpang sehingga barang itu aman. Canda dan tawa menemani
perjalanan kami pada hari itu sehingga dinginnya cuaca dapat terimbangi dengan
hangatnya suasana.
“Siapa yang
belum mandi ini? makanya hujan turun!” tanyaku bercanda.
“Yoses, Pak
guru!” mereka kompak menunujuk jagoan kelas 4 itu. Yang dihakimi bukannya
membela diri malah bangga menjawab sambil menyisir rambutnya dengan 5 jari
“Nyata!” lalu semua tertawa.
“Sudah makan
semua?” kembali saya bertanya, mencoba mengalihkan perhatian anak-anak dari
licinnya medan yang kami lalui.
“Saya sudah,
Pak guru” mereka rebutan menjawab seolah-olah akan dapat hadiah satu bintang.
“Jek, makan
apa tadi, nak?”
“Ya makan
babi, sedaaapp” Jeki tanpa malu mempertontonkan senyum ompongnya.
“kalau saya
daging pelanduk, pak guru. Dion menjawab tanpa ditanya.
“Wih,
mantap. Siapa yang tangkap, nak?”
“Kakek saya,
Pak guru”
“Kalau kamu
makan apa Yos?”
Tanpa ragu
sedikit pun, Yoses menjawab “monyet, pak guru”
“Apa? Pak
guru monyet?” tanyaku memajukan dada.
“Bukan pak
guru, yang saya makan itu monyet.”
“O, saya
kira kau ngatain pak guru, yos! Enak kah monyet itu?”
“Enak, Pak
guru. Yang tidak enak itu orang hutan (baca: orang utan)”
“Kenapa?”
“Iya Pak
guru, kayak orang betul rupanya. Ih, jijik sudah saya makannya. Nda tega”
Hahaha
rupanya punya rasa jijik juga mereka, tapi untuk satu minggu ini mereka akan
berpuasa dengan semua jenis makanan liar itu, tak ada lagi babi, rusa, musang,
landak dan sebagainya, karena sebentar lagi mereka akan makan makanan “ringan”,
mie instan dan telur, syukur-syukur kalau ada tahu tempe. Jelas ini akan
menjadi pelajaran baru buat mereka. Perjalanan terus berlanjut dan sesaat kami
semua hening menahan nafas.
Sejenak menenangkan mesin yang lelah berpacu dengan medan. Terlihat pak supir yang sedang memantau kondisi kendaraannya |
Sebuah
turunan yang menukik dan langsung disambung dengan tanjakan yang tinggi, mobil
meluncur cepat lalu kemudian mengerang kesusahan mendaki. Ban mobil hanya
berputar di tempat karena debu jalanan yang kini berevolusi menjadi lumpur
tebal. Bukannya bergerak maju, mobil tetap di tempat dan sesekali bergeser ke
kiri dan ke kanan. Lumpur berserakan seperti adonan kue yang tak sengaja
tersenggol dari atas meja. Sedangkan jurang-jurang yang berada di sisi jalan
nampak memanggil-manggil. Terlihat sang supir dengan wajah tegang dan tangan
terburu-buru mengatur alat kemudinya. Beberapa saat kemudian akhirnya mobil
berhasil melalui tanjakan itu dan terdengar helaan nafas yang panjang dari
semua penumpang. Tapi ketegangan belum usai, sebuah jalan datar dengan kontur
yang miring membuat mobil menari-nari di atas lumpur. Sang supir mengarahkan
roda ke kiri tapi kondisi jalan yang licin membuatnya sulit dikontrol, Hillux
putih nyaris menabrak tebing, mungkin takut mobil barunya terluka, dengan
lincah pengemudi itu membanting stirnya kembali ke kanan dan mobil melintang di
tengah jalan tepat mengarah ke jurang yang sangat dalam. Untungnya mobil
langsung berhenti di situ, ada gundunkan tanah yang menghentikannya.
Andai saja jalan
itu ramai dilalui kendaraan maka habislah kami semua. Seluruh penumpang turun
mencari ruang yang lebih bebas, terlihat wajah-wajah pucat dan tegang. Saya
sendiri mendekati tebing yang basah, duduk jongkok memeluk lutut lalu menarik
nafas panjang kemudian melepasnya seraya membaca istighfar, “Astaghfirullaah”.
Mobil yang satu lainnya datang menghampiri, menanyakan kondisi lalu mencoba
menenangkan kami. Tak lama kemudian perjalanan kembali dilanjutkan dan akhirnya
kami sampai di jalan beraspal. Itu artinya kami telah tiba di ibukota kecamatan
Kelay, Alhamdulllah.
Akhirnya kami menjumpai jalan beraspal. butuh waktu berjam jam untuk bisa sampai di sini "Ketika Aspal telah nampak, kita telah tiba di Kelay" |
***
Baca part lain dari cerita porseni ini:
0 Response to "Porseni, Berjuang atau Pulang Saja #7 Kelay"
Posting Komentar