Langkah Pertama di Kampung Long Lamcin

My First Step in Lamcin



“Wanua Mappatuo Na Ewai Alena”, sebuah kalimat dari tanah asalku, Luwu. Secara sederhana kalimat itu diartikan dimanapun kamu berada, kamu harus berjuang untuk kehidupanmu. Kalimat itu begitu kuat tertanam dalam jiwaku, ia selalu terdengar secara tak sengaja ketika aku memasuki sebuah wilayah atau berada di tengah-tengah orang baru.

***
22 agustus 2015, saat pertama kuinjakkan kaki di tanah pedalaman Kalimantan, kalimat itu terdengar seolah dibisikkan oleh seseorang yang sangat dekat denganku. Begitu lembut dan jelas lalu timbul tenggelam tertiup angin. Mungkin saja itu adalah pesan yang melalui batin disampaikan oleh ibu yang jauh di sana. Sebuah petuah yang ingin disampaikannya secara langsung saat melepas kepergianku di bandara Sultan Hasanuddin Makssar. Tapi jarak yang jauh memaksaku pergi tanpa ibu di sampingku.

Kuyakini kata-kata itu sebagai sebuah semangat untuk berjuang dalam misi pendidikan di kampung ini. Kalimat singkat bermakna luas, berenergy positif dan optimis.

            Aku terseok-seok berjalan, mendaki sebuah bukit-bukit kecil sambil membawa barang-barang yang berat. Sebuah ransel di belakang dan satu lagi menggendong di dadaku. Kujinjing pula sebuah kantong plastic hitam berisi ember basarta perlengkapan rumah tangga di dalamnya. Bergantian tangan kiri dan kananku menganangkat tas kresek itu karena jika hanya sekedar ditenteng ia akan mencium tanah. Maklumlah kawan, ember saja lebih tinggi dari setengah badanku.
           
Siang itu, jalan sunyi sepi dari manusia. Hanya aku dan Ahmad, Nampak bodoh di bawah terik matahari dengan barang bawaan memenuhi badan. Tapi anjing ramai bagai pasar malam memenuhi jalan-jalan kampung. Secara sepintas, kelihatannya mereka berbeda, tapi jika diperhatikan secara seksama maka akan Nampak beberapa kesamaan yang unik. Kult, kulit mereka sangat tipis dengan hiasan berupa gambar peta alami yang terbuat dari kurap dan panu. Kulit itu membungkus tulang-tulang yang menonjol dan siap berhamburan. Spertinya tulang-tulang itu berteriak, aku ingin bebas! Uh, kasihan sekali. Warna, jika hitam itu adalah gelap maka semua anjing di sini adalah hitam. Putih, putih gelap. Merah, merah gelap, kuning juga gelap. Semua warna bercampur aduk dalam satu adonan lalu di letakkan secara sembrono pada bulu mereka yang sebenarnya tak pantas dikatakan bulu. Sungguh malang nasib mereka!
           
Kurus dan kritis tidak mengurangi efek kegarangan sekawanan anjing itu. Dengan mata yang tajam memandang, mulut stengah menganga, menjulurkan lidah, dan meneteskan air liur yang menjijikkan, tiga, empat ekor anjing itu berdiri pada jarak 10 kaki memasang kuda-kuda siap menerjang  saat aku melintasi sebuah gereja kecil meninggalkan Ahmad 20 meter 3 inci di belakang. Karena takut dan bingung harus mengambil sikap seperti apa saat menghadapi anjing dalam jumlah yang besar maka aku hanya diam mematung, meliarkan pandangan jangan sampai ada di antara mereka yang menerkam. Aku mematung tapi mereka semakin mendekat, sekarang tidak lebih dari 50 cm dan Ahmad masih 19.5 m di belakangku. Tidak mungkin aku berlari dengan beban seberat itu maka kuambil strategi klasik, menundunk berpura-pura mengambil batu. Pada saat menunduk itu, ember yang kutenteng menghantam tanah dan menghasilkan suara gemuruh seperti pertengkaran rumah tangga yang mendapati suaminya selingkuh, piring saling bertabrakan dalam ember, Duarrr!!! Anjing-anjing itu kaget, saya tidak kalah kaget, tapi Ahmad santai saja, dia malah melempar senyum. Tiba-tiba mengaung salah seekor di antara mereka, “auuuuuuuu” belum berakhhir aumannya langsung disambut oleh auman anjing yang lain. Suara yang keras dan bersahut-sahutan sambung menyambung memenuhi seluruh kampung, berdurasi satu menit. Mereka tak menggonggong, tapi mengaung bagai srigala di bulan purnama. Bahkan sampai tulisan ini kubuat setelah 6 hari di sini belum sekalipun aku mendengar mereka menggonggong, selalu mengaung terlebih saat tengah malam. Ya, Lumayan horror lah.
           
Rasa takutku seakin menjadi-jadi tapi aku tak berdaya. Aku selalu merasa pandai mencairkan suasana yang tegang tapi tidak dengan ketegangan semacam ini. Dalam ketegangan yang mencemaskan itu, Ahmad lah yang tampil sebagai juru selamat. Ia berlari-lari kecil mengejar anjing-anjing itu seraya mengayunkan kaki seola-olah ingin menendang. Nampak sangat akrab layaknya seoarang tuan dan peliharaannya yang sedang bermain main. Ah kenapa juga tidak kau katakana dari tadi kawan!

***
Setelah peristiwa itu, aku tidak takut lagi dengan anjing-anjing kampung yang ternyata tidak semua kurus kering berpenyakitan seperti pertemuanku di awal. Banyak di antara mereka yang gemuk terurus dengan warna yang lebih tegas dan cerah. Hitam benar-benar hitam, atau kuning dan putih yang benar-benar kuning dan putih.

Kulanjutkan perjalanan mendaki bukit kecil itu dan akhirnya tiba jugalah aku di halaman sekolah. Jadi sekolah di kampung ini berada pada posisi yang sangat tinggi, tak ada rumah warga kampung yang lebih di atas lagi posisinya. Sekolah menghadap ke timur laut (posisi yang membingungkan, tapi tak perlu kau tanyakan kawan, aku juga bingung membaca kompas), dan di samping kanan sekolah tedapat sebuah bangunan menghadap ke barat daya (nah pusing lagi kan! Pokoknya sekolah dan rumah membentuk huruf L) yang menjadi perumahan guru. Perumahan guru berbentuk semi panggung, berdiri di atas tiang-tiang setinggi 40 cm, terbuat dari papan dan beratapkan baja ringan. Rumah itu hanya satu tapi disebut perumahan karena dibagi dua oleh dinding pembatas. Yang kiri untuk kepala sekolah dan kanan didiami oleh 2 orang guru suami istri. Sebagai orang baru, dan utusan dari pusat, maka aku dan Ahmad akan tinggal bersama kepala sekolah.

Di rumah inilah kawan, kuawali perkenalanku dengan warga sekolah dan warga kampung, perkenalan panjang untuk dunia pendidikan di tanah Lamcin, 3T-nya Kalimantan Timur. Rumah baru, lingkungan baru, warga dan budaya yang berbeda, sadar aku dengan semua itu maka berucaplah aku dalam hati “Bismillah, Wanua Mappatuo Na ewai Alena”.


Long Lamcin, 28 Agustus 2015

0 Response to "Langkah Pertama di Kampung Long Lamcin "

Posting Komentar

On SM-3T Mission Gallery

This gallery shows what did i do at Berau Regency during my mission as a young educator on behalf of Maju Bersama Mencerdaskan Indonesia. I am proud of being a witness of a real Indonesia.
karena pendidikan adalah hak segala bangsa