Star, Smile, and Oops I Speak Bahasa

 Star, Smile, and Oops I Speak Bahasa




Tempo berjalan sangat cepat. Kreatifitasku terus diuji untuk menaklukkan kelas rangkap dengan kejutan tak berujung. Dion melaju bak jet dalam pelajaran Bahasa Indonesia. Lesung pipi dan deretan giginya yang rata dan kecil-kecil membuatnya terlihat sangat manis ketika tersenyum sambil menceritakan ulang hikayat Malin Kundang atau sejarah Danau Toba, dan cerita-cerita rakyat suku Dayak. Dia begitu cerdas, mengingatkanku pada seorang kawan ketika masih SD dulu, Angga. Penyabar, penurut, dan berotak encer. Dialah komik berjalan yang tak pernah kehabisan cerita. Dion, persis seperti Angga, hanya saja Dion jauh lebih tampan. 
Lalu ada Mika, kakaknya Dion di rumah tapi menjadi adik di sekolah. Ya, meskipun masih satu pabrikan, tapi Mika tergolong produk special, dia limited edition. 3 kali ketinggalan kelas dalam karir bersekolah, Mika menjadi sosok yang butuh perhatian lebih. Itu hanya terjadi di dalam ruangan karena urusan di luar seperti menahkodai perahu ketinting dan menangkap ikan, dia lah jagonya.
Bernasib sama dengan Mika, Nopel memiliki sedikit masalah dalam hal menyambung huruf menjadi suku kata dan kata. Apalagi dengan urusan mengingat angka, “Pak Guru, sudah selelsai” selalu seperti itu katanya ketika kuberi tugas matematika. Dia menjadi juara dalam urusan paling cepat, tapi posisi buncit untuk benar-benaran. Di kelas 4 Nopel seharusnya sudah asik bermain angka dalam perkalian dan pembagian tapi sayang sekali, penjumlahan dia masih mengeja. Walaupun begitu, saya tidak mungkin mengatakan Si Nopel bodoh, kecerdasannya ada di bidang lain. Lebih tepatnya gaya belajarnya yang belum bisa saya temukan.
Keajaiban selanjutnya adalah 2 bersaudara, Fir’aun dan Yaret. Keponakan Nopel dari jalur Ibu. Sekarang, maaf, Nopel menjadi om-om. Kedua kakak beradik ini adalah jawara pada rombel masing-masing, Firaun kelas 4, Yaret kelas 6. Seperti kebanyakan bersaudara di dunia, mereka adalah Tom and Jerry dalam wujud manusia. Tak pernah akur!
Masih bersepupu dengan 2 bersaudara di atas, Yoses dan Simson. Mereka mengklaim bahwa mereka adalah sahabat sejati. Dengan pedenya Yoses pernah memperlihatkanku sebuag foto di atas kertas biasa, bukan kertas foto. Terlihat Yoses dengan pipi tembemnya mengenakan topi bertuliskan “Monster”. Ujungnya dilekuk ke atas agar poninya yang sedikit miring jelas terlihat. Sementara itu Simson mengenakan kacamata plastik berwarna biru langit. Keduanya berpose metal dengan wajah yang dipaksa cute. “keren kan, Pak Guru”. “Iya, Nak, kalian memang ajaib” jawabku sambil mengangkat dua jempol. Verbal mereka kuat sekali. Di dalam kelas, Yoses gemar melawak dan bernyanyi tanpa disuru, sementara Simson doyan mengomentari banyak hal. Pada momen-moment butuh tenang, kebiasaan mereka cukup merepotkan. 
Jika Nopel dan Mika adalah siswa spesial maka Resta adalah istimewa. Sekali saja bisa mendengar suaranya dalam kelas maka itu saya nilai sebagai progres. Dalam usianya yang sudah menghampiri 16, kaka kandung Simson ini masih bercokol di bangku kelas 5. Tulisannya rapi, tapi entah kenapa dia sangat sulit memahami instruksi. Contoh, saya minta dia mengerjakan tugas maka soal dan jawabannya selalu sama. Pertanyaan: 1. Siapa nama presiden pertama Indonesia? Jawaban: 1. Siapa nama presiden pertama Indonesia? Bayangkan jika saya memberinya 100 soal esai. Ah, bukan main. Tak heran jika sudah dua buku rapor yang ia miliki. Untungnya, Resta tak pernah membantah. Celakanya, saya tidak pernah tau apa maunya. 
Bersama dengan Resta, ada Juli dan Herlina. Mereka selalu jalan bertiga, atau berempat dengan Yeni. Tapi karena Yeni tidak masuk dalam kelas rangkap lantaran lebih junior maka pengamatanku fokus pada tiga gadis ini. Herlina dan Juli cukup cekatan dan responsif, paham instruksi dan bisa diajak berkomunikasi. Melihat itu maka keduanya kunobatkan sebagai juru bicara untuk Resta. Sangat membantu memang, hanya saja usia mereka terlampau dewasa untuk menjadi anak SD. Tak ayal, saya menangkap gelagat menyimpang yang condong ke arah pubertas. Saya sedikit geli dengan itu. 
Selain Nopel, ada Amos yang juga menyandang status sebagai “Om”. Dia sebenarnya layak saya panggil “Bro”, tapi pakaiannya yang masih merah putih maka tetap saja dia kupanggil “Nak”. Padahal garis wajah kami tidak jauh beda. “Amos kelihatan lebih tua” Komentar kawan-kawan ketika melihat Poto yang pernah saya unggah di Facebook. Hati kecil saya menyepakati itu, tapi saya selalu berpura-pura untuk tampil lebih tua. Salah satu caranya adalah dengan memelihara jenggot dan kumis. Oya, Amos tidak banyak bicara tapi tidak separah Resta. Meskipun sudah kelas 6 dia tak sekalipun unggul dalam aneka perlombaan untuk mata pelajaran apapun. Diamnya tidak berarti emas tapi juga tidak berarti mati. Cool kata si Ahmad dalam mendefinisikannya.

Nah, yang 2 terakhir ini adalah pemilik senyum paling mengesankan. Sejak pertama bertemu, nama Jeki dan Welden langsung lekat dalam ingatanku karena gigi depan mereka yang bolong melompong. Hebatnya, senyum mereka sangat mudah merekah. Saya tidak butuh berpikir keras untuk membuat kelucuan karena mereka sangat jeli melihat sisi komedik dari segala sesuatu. Tulisanku yang berombak di papan tulis adalah kelucuan hebat bagi mereka. Atau hal lain seperti jawaban yang ngawur, nilai 0 di buku tugasnya, aroma kotoran anjing di alas sepatu, bekas liur di pipi anak kelas 1, dan kejadian Pak Yohanes yang jatuh dari tangga (Kalau kasus yang satu ini saya pun terpingkal bukan kepalang). Pokoknya ada-ada saja yang membuat tawa mereka terdengar, apalagi ketika Yoses memang sengaja melucu. Tapi ketika saya butuh konsentrasi dan keseriusan menyampaikan materi, tawa mereka adalah neraka Jahanam.
Tiga belas siswa dengan tiga belas wajah berbeda-beda, tentu dengan kelebihan dan keunikan masing-masing. Jumlah yang terbilang sedikit, tidak perlu meminjam jari orang lain untuk menghitungnya, tapi ini kelas rangkap tiga. Tantangannya cukup besar. 

*** 


Salah satu tantangan terbesar saya dalam menghadapi 13 jagoan ini adalah bahasa. Mereka terbiasa menggunakan bahasa ibu mereka sekalipun di dalam kelas. Tak ayal, ini membuat proses belajar mengajar sedikit tersendat. Maka salah satu PR saya adalah memikirkan metode pengajaran dan pendekatan yang dapat merubah itu. Triying to be creative, then I decide to use Price and Punishment method dengan media kartu.

Sabtu siang pada minggu kedua, saat matahari sedang redup dan angin bertiup sepoi-sepoi. Satu moment yang pastinya sangat suci untuk bobok dan melanglang buana di alam mimpi. Tapi gelisahku pada kondisi peserta didik membuatku terus berpikir dan akhirnya merelakannya untuk menemukan jalan keluar. Kubuka Notebook biruku, menjelajahi beberapa folder usang yang telah lama tidak dikunjungi. Di dalam folder “E-House” terdapat beberapa folder lagi yang salah satunya adalah “Flash cards”. Seumpama membuka peti harta karun, perasaanku deg-degan membaca nama-nama file yang puluhan jumlahnya. 

Star, Smile, and Ooops I speak Bahasa, begitulah nama file yang akhirnya membuat perasaanku lega. Jadi ada gambar bintang berwarna biru, senyum berwarna kuning, dan kalimat singkat berstempel miring yang bermakna “DILARANG”. Semuanya saya cetak sambil memikirkan cara paling efektif untuk menerapkannya. Setelah semua tercetak, kulaminating dengan plester bening agar awet. Singkat cerita, pada sore harinya ketika Jeki datang dengan senyum ompongnya membawa 4 ekor ikan Sapan lima jari, seluruh kartu itu sudah siap pakai. 

“Jek, thank you so much. Say my hello to your parents” Kataku penuh semangat sambil merampas ikan di tangannya.
“Ok. You are very welcome, Sir. Hahaha” Jawabnya sambil tertawa lepas. Sebenarnya tidak ada yang lucu, tapi itulah Jeki, mungkin tulang rusukku yang terlihat menonjol adalah kelucuan parah buatnya. Terserah! Yang penting dapat ikan.   

Senin tiba dengan selamat. Tanpa ritual upacara bendera, kami langsung memadati ruang kelas. Kali ini posisi duduk di modifikasi menyerupai huruf U, alasannya sederhana, pembaharuan. 

“Baiklah para calon pahlawan, Pak guru punya sesuatu yang baru hari ini,” Ucapku sambil mengeluarkan kartu-kartu itu dari saku jas. Mata mereka melotot, penasaran memandangi benda alien yang sedang saya pegang. 
“This is star, semua ikuti, THIS IS STAR” Kataku seraya mengangkat kartu bintang yang dibaliknya telah ada bouble tip sebagai perekat. 
“DISIS STAR” seru mereka kompak tapi penasaran. Saya tempel kartu bintang itu di dada kiri tepat di bawah logo Maju Bersama Mencerdaskan Indonesia.
“Good! Next, this is smile” 
“DISIS SMAIL” balas mereka cepat, lalu kembali kutempel pada bagian dada sebelah kanan, di bawah logo RISTEK DIKTI dan UNM. 
“The Last, Oops, I speak Bahasa” bukannya mengikuti, mereka malah tertawa dan berbicara dengan bahasa mereka sendiri. “Susah, Pak guru!” protes Simson.
“Ok. Sekali lagi Oops, I speak Bahasa” Tidak langsung fasih tapi akhirnya mereka bisa setelah beberapa kali pengulangan. Kemudian, saya jelaskan apa, bagaimana, dan untuk apa ketiga kartu tersebut. 

You know, Philosophy teaches these three things “What”, is about existence, the subject is anthology. “How”, is about process, the subject is epistemology. And, “Why”, is about function, the goal of something created, its subject is axiology. Jadi menurut hemat saya, seorang guru sejatinya ada filsuf, setidaknya ketika berada dalam kelas. 

Ok, kembali ke laptop!   

Saya menjelaskan, setiap siswa yang terdengar menggunakan bahasa daerah selama pelajaran berlangsung akan mendapatkan satu kartu Oops untuk satu kata. Jika siswa hanya menggunakan Bahasa Indonesia atau English maka dia akan mendapatkan satu kartu bergambar senyum. Begitu pula ketika dia berprestasi atau antusias dalam mengikuti pelajaran akan mendapatkan kartu Smile. 10 kartu Senyum bernilai sama dengan satu kartu bintang. Untuk 3 bintang akan langsung mendapatkan hadiah dari saya. 

Mereka sangat gembira mendengar kalimat terakhir, tapi “Ingat, satu kartu Oops berarti mengurangi satu smile. Jadi meskipun kalian banyak dapat smile tapi terdengar berbahasa Punan sementara jam belajar maka tetap akan dikurangi. Understand?” kataku membangunkan mereka dari hayalan menerima hadiah. “Yes, Sir” jawab mereka cepat.

Kelas mendadak jadi senyap sepeti kuburan. Sekalipun ada yang ingin berbicara mereka akan sangat berhati-hati. Ada yang menarik telinga temannya untuk berbisik, namun yang dibisik malah jail dan justru melaporkan pada saya. Di situ kadang dia merasa sedih.  Ada pula yang dengan jujur mengatakan tidak tahu apa terjemahan dari sesuatu yang hendak dia ungkapkan. Seperti kata cyaaap yang berarti ulat. Dion selalu menjadi penerjemah andalan. 

Setiap siswa kemudian menjadi pengawas bagi yang lain. Itu sangat membantu saya untuk mengontrol mereka. Resta, dan Amos tambah bisu. Yaret dan Firaun gali lubang tutup lubang. Menjawab banyak pertanyaan dengan benar tapi spontanitas berbicara membuat mereka kehilangan smile. Yoses jadi berhati-hati melucu. Mika dan Nopel memilih menjadi polisi kelas. Mungkin sadar bahwa mereka sulit menjawab dengan benar tapi giat melaporkan pelanggaran setidaknya dapat memperlambat laju peraihan smile. Cukup cerdik. Adapun Herlina dan Juli kehilangan job karena nyaris tak ada lagi yang diucapkan Resta. Peluang mereka untuk “dekat-dekat” menjadi sempit. 

Senin itu menjadi hari paling mengenaskan buat Simson. Kebiasaannya berkomentar alias ceplas-ceplos menjerumuskannya pada kubang Oops yang hina. 8 kartu berstempel merah menggantung di dada kirinya, tepat di atas kantong. Ajaibnya dia malah bangga. Setidaknya dengan satu alasan, menjadi siswa paling popular. Bagaimana tidak, setiap akan saya beri kartu dia harus mengucapkan “Oops I speak bahasa Punan”. Temannya bertepuk tangan lalu saya meminta tos “Give me five!”. “Plak” kira-kira begitulah bunyinya. 

Setelah beberapa hari berjalan, kelas semakin kondusif karena pembicaraan ngalor-ngidul yang biasa mereka lakukan semakin berkurang. Ketika kelas berakhir, saya berikan satu smile untuk mereka yang hanya berbicara dalam bahasa nasional. Itu kemudian menjadi motifasi untuk yang lain agar juga bisa menahan diri berbicaraa dalam bahasa ibu mereka dan membiasakan diri menggunakan bahasa Indonesia. Di luar pintu setelah saya berikan satu smile mereka akan berkata, “Thank you, ya, Pak guru”, “you are welcome” jawabku. Lalu mereka melanjutkan “sudah bisa speak bahasa punan kan, Pak guru” kujawab dengan anggukan dan dua jempol terangkat. Dengan mantap mereka berseru “Yes!”. Dan pembicaraan dalam bahasa yang super asing di teingaku itu pun langsung memenuhi udara kampung. 

Dalam pengamatanku, cara ini cukup efektif untuk merubah satu kebiasaan. Sedikitpun tidak ada maksud untuk menjauhkan mereka dari bahasa yang tentu telah menjadi satu harta terbesar untuk satu suku di negeri ini. Rintangan dalam menerapkan sebuah aturan pasti selalu ada, pun begitu dengan godaan untuk melanggar aturan yang kita buat sendiri. Dan di situlah tanggung jawab terbesar kita untuk tetap teguh dalam memegang sebuah prinsip yang kita yakini benar lalu sekuat tenaga berjuang untuk memepertahankannya. Sampai akhirnya kita tahu bahwa yang kita perjuangkan itu baik dan benar adanya ataukah hanya angan-angan kita saja. That is what we call persistent.

Dan ini jugalah salah satu alasan mengapa Negara mengirimku ke satu sudut Indonesia, agar saya mampu menanamkan nilai-nilai nasionalisme pada anak-anak di pelosok negeri. Agar mereka paham bahwa Indonesia bukan milik segelintir orang, bahwa Indonesia juga milik mereka, 13 anak yang selalu merindukan kehadiran seorang model. Untuk digugu dan ditiru.

Lamcin, 27 Juli 2016 
Saddang Husain

Tiga Gembok Untuk Sekolahku

Tiga Gembok Untuk Sekolahku


           
Setidaknya 8 minggu sudah saya berada di Lamcin, pergaulanku dengan sekolah dan kampung berjalan perlahan namun harmonis. Meskipun banyak hal yang saya sangat tidak sepakat dengan sikap dan cara berpikir para guru di sini, saya lebih memilih menunggu saat yang tepat atau mencari cara yang lebih santun dalam menegur mereka. Seperti kebiasaan buruk menghabiskah lebih banyak waktu di kota atau di kampung sendiri, bercenggkrama dengan keluarga lalu mengabaikan tugas mendidik di mana Negara menggelontorkan banyak dana untuk menghidupi mereka. 

52 hari yang lalu, maksud saya 4 hari setelah saya dan Ahmad tiba di sini, kepala sekolah beserta 4 guru yang lain langsung bertolak ke kota dengan alasan ada terlalu banyak guru, 10 guru mengajar 31 siswa dianggap sebagai penumpukan yang berarti mubazzir. Dan hingga kini baru dua orang yang kembali muncul. Moment itu langsung dimanfaatkan oleh sepasang guru untuk turun ke kota, “Gantian lah, Masa kita terus yang mau menderita di sini!” kata Ibu Rina dengan aksen Toraja yang tegas. Saya tidak mungkin mendebatnya dengan logika terbalik, dia orangtua, senior, sementara saya adalah anak kemarin sore di sekolah ini. 

“Di sini, kita punya aturan sendiri, Pak Saddang. 1 bulan di kampung 1 bulan di kota. Sistemnya roling, supaya sekolah tidak kosong, kita juga guru-guru tidak bosan di kampung terus.” Terangnya dengan kepercayaan diri tinggi ketika satu pagi saya mengulik informasi darinya. Dari situ jelas terlihat kurangnya rasa tanggungjawab atau sense of responsibility atas propesi sebagai tenaga pendidik. Bayangkan saja jika harus absen selama satu bulan lalu gaji mereka terus berjalan, lalu bagaimana nasib para peserta didik? Bukankah itu berarti lari dari tanggung jawab? Ujung-ujungnya adalah kerugian Negara.

Hal lain yang membuatku prihatin terhadap mentalitas guru di pedalaman Kalimantan ini adalah kurangnya Sense of Belonging atau rasa memiliki. Itu terlihat dari sikap abai atas kondisi sekolah yang jauh dari kata memadai. Sebut saja pintu ruangan yang tak pernah terkunci sebagai satu contoh.

  “Sekolah tempat kamu nanti ngajar itu kandang anjing” kata Salah seorang kepala sekolah kepada saya ketika acara penyambutan di hotel cantika tempo hari. Saat itu hatiku hanya menganggapnya sebagai guyonan dan tindakan menakut-nakuti untuk menguji mentalku, tapi jika memang benar maka mungkin itulah salah satu kesempatanku untuk membawa perubahan pada tempat pengabdianku.

Dalam prosesnya, kata “kandang anjing” menurutku adalah hiperbola. Kenyataannya adalah ruang kelas memang selalu menjadi tempat tidur kawanan anjing yang kadang-kadang meninggalkan kotorannya di sana. Tapi setidaknya tidak ada yang menginginkan hal itu, baik para guru ataupun siswa, semua benci dengan aroma kotoran anjing. Hanya saja tidak ada yang mau mengambil inisiatif untuk memecahkan masalah tersebut. 

Pernah di satu pagi, ketika saya sedang mengajar kelas rangkap 4, 5, dan 6 seekor anjing tanpa permisi melompat keluar dari sebuah laci meja guru yang seharusnya menjadi tempat penyimpanan buku. Saya yang baru saja duduk setelah manunaikan doa bersama langsung kaget dan berteriak spontan “Anjing, Astaghfirulloooh!”. “Atapirullooo” teriak anak-anak kompak meniru ucapanku sambil tertawa. Cepat-cepat seorang siswa mengusir si Dogy keluar. 

Masalah lain yang ditimbulkan oleh kondisi pintu yang tak terkunci adalah ruang kelas kerap menjadi arena mojok bagi remaja-remaja labil. Posisi sekolah yang berada diatas bukit dan terpisah dari deretan rumah warga menjadi sangat strategis bagi mereka yang ingin ruang remang-remang. Sempat beberapa kali saya memergoki pemuda 18 tahun bernama (sebut saja) Jon bermesraan dengan gadis belia yang masih berstatus anak sekolah. Miris sekali melihat itu dan batinku berontak ingin mengakhirinya seketika dan selamanya.
Kini, setelah kembali dari libur, 3 buah gembok berwarna hitam telah siap saya lekatkan pada pintu kelas untuk mengakhiri kejadian “anjing melompat” dan kejadian ‘remaja mojok” itu. Syukur-syukur jika nanti guru lokal mau melihat ini sebagai tindakan positif dengan melakukan hal-hal kecil yang bisa bermanfaat besar. Saya sangat yakin bahwa manusia sejatinya baik, dan senang melakukan kebaikan. Hanya saja, pengaruh eksternal yang terkadang menuntun manusia pada perilaku buruk yang tak manusiawi.   
Menjadi seorang guru dalam hemat saya, wajib menanamkan pada dirinya dua sikap dasar dalam menjalani propeseinya yaitu sense of belonging dan sense of responsibility. Bahwa seorang guru yang memiliki rasa tanggungjawab kepada sekolah dan segala elemen terkait itu tak ubahnya seorang ayah yang akan melakukan segala daya upaya demi menjaga dan membahagiakan anak dan istrinya. He is a super Dad. Sebaliknya, orang tua yang mengabaikan tanggung jawabnya kepada keluaga pantas menyandang gelar “durhaka”.
Siapapun manusia yang merasa memiliki sesuatu, selama dia masih dalam kondisi waras, tentu akan mencintai dan selalu ingin berada dekat dengan kepunyaannya. Seorang ibu misalnya, akan merawat dan memelihara buah hatinya dengan penuh cinta. Dia akan memandikan, memberi makan, membelikan aneka mainan, dan menjauhkan dari segala bentuk ancaman.
Pada gilirannya, ketika guru memiliki dua hal tersebut maka dengan sendirinya akan timbul pada dirinya kreatifitas untuk memudahkan dia dan anak didiknya dalam proses belajar-mengajar, akan timbul pada dirinya sikap disiplin agar dapat menjadi model buat peserta didiknya. Akan menjadi inovatif, menjadi among, menjadi pamong dan menjadi super teacher. Sebaliknya, seorang guru yang bermasa bodoh, seolah buta dan tuli terhadap kondisi sekolah dan peserta didiknya akan sangat pantas menjadi guru yang “durhaka”
Saya mungkin bukanlah seorang super teacher seperti Ibu Muslimah dalam cerita Laskar Pelangi atau Ki Hajar Dewantara dalam coretan sejarah bangsa tapi saya akan berusaha untuk menjadi demikian. 3 gembok di tanganku saat ini adalah salah satu upaya untuk menuju ke titik itu. Anis Baswedan dalam pengantarnya di buku Indonesia Mengajar 1, mengatakan bahwa inilah saatnya orang-orang terdidik berhenti mengeluhkan kegelapan dan mulai menyalakan lilin. Saya tak ingin berlarut-larut mengeluhkan aliran dana operasional sekolah yang tak tau rimbanya seperti yang selalu didengung-dengungkan oleh para guru di sini. Mengorbankan sedikit harta demi pintu sekolahku adalah satu tindakan nyata menyalakan lilin dalam kegelapan.
Melihat mentalitas sebagian guru di ujung negeri ini, saya langsung teringat pada sederet kalimat yang ditulis dengan indah oleh seorang sastrawan asal Makassar, Mochtar Pabottingi. Dia menulis dalam auto biografinya“….bahwa melanglang buana tidak dengan sendirinya memahami buana-pengalaman tidaklah otomantis searti dengan pemahaman. Seperti kehidupan pada umumnya, cakrawala pun selalu mengandung misteri.”. Jika pengalaman bisa membuat para guru di sini paham arti menjadi pendidik, maka kurang apalagi pengalaman mengajar selama lebih dari 10 tahun? Wallahua’lam bissawab.


Berau, 10 June 2016


Saddang Husain.

berlibur untuk memupuk semangat.

Libur Lebaran

Ransel hitamku sudah membuncit, mirip perut para pejabat korup yang berseliweran meneriakkan omong kosong di negeri ini. Untuk pertama kalinya setelah setahun, eh salah, sebulan di tanah pengabdian, tasku kembali tersesaki oleh pakaian, peralatan mandi, buku-buku, dan batu mulia, tawas. Ya, libur lebaran telah tiba dan kini saatnya keluar dari “Nusa kambangan”.
Lingkungan hidup yang serba berbeda bahkan cenderung terbalik dari apa yang selama ini saya hadapi berefek pada gejolak fisik dan psikologis. Listrik minim, jaringan blank, masyarakat yang homogen tak se-suku dan tak se-agama, alam liar, dan dunia kerja yang baru membuat pergeseran waktu sangat terasa. Tiap detik yang berlalu bagaikan menit, menit seperti jam, jam seolah hari, hari menyerupai minggu, minggu mirip bulan, dan bulan persis dengan tahun. Maka tak heran jika saya sempat salah menyebut satu bulan sebagai setahun. Ini bukan perkara tidak siap mental atau fisik hanya saja teori relativitas Einstein sedang terjewantahkan dalam hidupku, dan ternyata memang benar, presepsi sebuah subjek terhadap ruang dan waktu itu relative. 
Ketinting berkekuatan 16 PK milik pak Mared sudah siap untuk mengangkut kami menyebrangi sungai Kelay, sungai indah tempatku mandi, mencuci, bermain dan membangun keakraban dengan anak-anak, menonton orang mencari ikan dan mendulang emas, serta salto-salto, dan sekali-sekali menyelam sambil buang air. Saya, Ahmad dan 6 anak LSM yang bahasa kerennya environmentalists dari perkumpulan Payo-Payo akan segera meluncur ke Tanjung Redeb. 
Kargo puntung, kaos merah, dan sandal outdoor menjadi penutup badanku kali ini, lebih mirip Panji si petualang daripada seorang guru. Biarlah, saya sudah kapok dengan pakaian kebesaran yang serba panjang dan rapi seperti ketika pertama datang akhir Agustus yang lalu. Bagaimana tidak, medannya bukanlah jalan yang lurus dan mulus, melainkan arena off road yang menakutkan, apalagi pakean andalan terasa lebih menyakitkan jika terkena muntahan, potongan yang seperti ini tidaklah terlalu masalah.
Kali ini strada hitam double cabin menjadi tumpangan kami, saya dan Ahmad duduk di belakang bersama tumpukan barang-barang yang mempersulit kami banyak bergerak. Heri dengan mantap duduk di belakang kemudi, menyetel lagu Bugis lalu berteriak lantang “magani, siap?” langsung dijawab oleh penumpang, “brangkat broooo!”. 6 jam kemudian, kami telah berada di ibu kota kabupaten Berau.

***
Tanjung Redeb namapak kelap-kelip dengan lampu jalan yang warna-warni. Suara azdan isya dari pengeras suara mesjid memberikan sensai kebahagiaan tersendiri. Kerinduan pada mesjid sudah terasa sangat akut, sepertinya saya sudah sakau ingin segera bersujud bersama orang-orang muslim di kota ini. 5 kali absen menunaikan solat Jum’at adalah rekor terburuk yang pernah kubuat. Teringat dengan expresi bapak di kampung ketika azan telah berkumandang dan saya masih sok sibuk dengan pekerjaaan atau bermalas-malasan tidak jelas, beliau akan mengomel dengan segala macam dalil dan hadis Nabi yang meluncur dari mulutnya. Itu adalah saat dimana Bapak tampil lebih cerewet dari mama. Sisi feminimnya sontak mendominasi. 
Jika sedari awal dia tahu bahwa di lokasi pengabdian anaknya ini akan jauh dari mesjid, bisa dipastikan bahwa dia tidak akan mengizinkan saya untuk mengemban tugas mulia ini. Di manta Bapak, semulia apapun tugas yang kau emban, jika harus menjauhkanmu dari Tuhan maka segala yang kau kerjakan sama dengan nol, sia-sialah segala waktu, tenaga dan harta yang kau curahkan. Mati sewaktu-waktu wajib masuk neraka. Maafkan anak laki-lakimu ini, pak. Meskipun jauh dari mesjid dan komunitas muslim, saya masih tetap beriman dan menjadikan Allah sebagai pelindung dan pelipur laraku. Bukankah kau sendiri yang pernah mengatakan bahwa Tuhan itu tidak bermalas-malasan di dalam mesjid, Dia ada di  hati kita. So let me fight for our education on behalf of God.
Sebelum melanjutkan perjalanan ke kantor Payo-payo, kami mengisi “kampung tengah” di sebuah rumah makan dekat Gedung Pemuda. Daftar menu yang panjang membuat yang lain bingung menetapkan pilihan, tapi tidak dengan saya. Straight to the point! Bakso. Entah kenapa makanan yang satu ini menempati tingkatan teratas daftar makanan favoritku selain Kapurung, Pacco, dan Lawara. Untungnya, Bakso dapat dengan mudah ditemukan di setiap daerah, ada di Jawa, Sulawesi, Papua, Sumatra, Kalimantan, Aceh, Bali, Maluku, ada di Jalan Jendral Sudirman, ada di Lorong 3, di Gang Husada, di samping pasar, di belakang rumahnya pak haji Colli, pokoknya makanan ini selalu exis, tapi menjadi spesies sangat langka di kampung Lamcin. Ah, lokasiku memang anti mainstream. 
Ibu Linlin menjadi sosok paling keren kali ini, dia mentraktir kami semua menggunakan dana surplus dari program sosialisasi yang dia laksanakan pagi tadi. Mantap, Buk, hemat anggaran terus biar bisa sering-sering mentraktir. 
Payo-payo bermarkas di sebuah rumah permanen bercat kuning dengan aneka jenis tanaman yang tertata rapi di Jl. Murjani III, Gg. Asri Mandiri. Kantor ini adalah kantor cabang mereka yang disewa untuk 4 tahun ke depan sampai kontrak mereka untuk misi pendampingan masyarakan di pedalaman Berau ini berakhir. Saya dan Ahmad untuk sementara menumpang di sini sampai kami mendapatkan informasi dari Mukhlis, Koordiantor Kabupaten perihal Posko atau rumah singgah untuk teman-teman SM-3T yang berlibur ke Kota. 

***
Handphone hitamku yang kini kehilangan beberapa tombol tak henti-hentinya berdering, lagu Alter Bridge berjudul Watch Over You berulang kali mengingatkan untuk segera diangkat. Nama Hadi terlihat di layar. 
“Halo Assalamualaikum” Suaraku tegas dan memberi kesan bahwa saya sangat bahagia.
“Waalaikumussalam” suaranya terdengar kaget, lalu melanjutkan dengan menggebu-gebu “weh dari manako, ndi? Kenapa nda bisa dihubungi hpmu? Baek-baek ji ko ga? Khawatir sekali mama sama bapak, bagaimana itu sekolahmu? Apa kau makan di sana?” dia belum berhenti memberondongiku dengan segala macam pertanyaan, tak memberiku celah untuk menjawab. Sejenak kujauhkan Hp dari telinga lalu menyeruput segelas teh hangat yang diberikan oleh Uci, bendahara Payo-payo. 
Tak jelas lagi apa yang dia katakan, saya hanya tertawa-tawa kecil mendengarkan ekspresi kaka laki-lakiku ini. Dia adalah sosok pahlawan terhebat dalam hidupku, dia lah yang berjuang membanting tulang bekerja keras, dari menarik ojek, mendulang emas, berjualan sayur, ikan, menjadi buruh kasar sampai kini menjadi seorang juru mudi armada republic, dan segala macam pekerjaan halal dia lakukan demi membiayai kuliahku sampai akhirnya bisa menyelesaikan S1. Dia jugalah yang tak henti-hentinya menyemangatiku untuk terus belajar dan bersekolah tinggi hingga cita-citaku bisa tercapai. Bagi Hadi, selama tubuh ini masih mampu, kejarlah semua mimpi-mimpi dan jangan pernah menyerah hanya karena persoalan dana. Mimpiku begitu banyak untuk dikejar, sedangkan bagi dia mimpinya hanya satu, melihat adiknya ini meraih mimpi. Jika dia harus berhenti di bangku SMA, minimal adiknya selesai di tahap yang lebih tinggi.
“Halo, halo, ooo, Useng, manako? Dia sadar kalau saya telah membelot dari percakapan. Secepat kilat saya kembali menyambar Hp dan pertanyaan pamungkasnya meluncur “Kapan kamu pulang?” Haduh, ini belum apa-apa bang.
“Iya, Halo, tadi jaringan jelek. Alhamdulillah kabar aku baik-baik aja” 
“Eh, tunggu tunggu, kayaknya bahasamu berubah”
“Hahaha, tidak ji bos. Masa baru satu bulan langsung pake aku-kamu” kami langsung tertawa geli.
“Baru satu bulan di Kaltim sudah borro, saya ini sudah 3 tahun di Kalteng belum berubah-berubah”
“Beda bos, kamu kan temenan ama orang Palopo juga, nah aku? sama orang Berau!”
“Hah, terserah pale’! Jadi bagaiman di situ, ceritakan dulu e”
“Lokasiku luar biasa, keren sekali. Saya mengajar di perkampungan orang Dayak. Jauh dari kota, cuman 29 KK dalam satu kampung dan hidupnya masih bergantung sama hutan” dengan heboh saya menceritakan semua kesan yang saya dapatkan selama di kampung, dia hanya fokus mendengar dan sesekali menimpali dengan ekspresi takjub. 2 jam berlalu dengan cepat, saya belum bosan menceritakan detailnya tapi sebuah keperluan harus menghentikan percakapan. Ya udahlah bang, intinya aku baik-baik aja. 11 bulan lagi  aku balik kok. Nnah, kumat lagi kan! Hehehe, piss!

***


Wisata 4 pulau
Saat sedang berada di mesjid menunaikan ibadah solat Jum’at, saya sengaja berlama-lama untuk melepas rindu dan sekaligus balas dendam. Mungkin dengan tinggal 5 kali lebih lama dari banyak Jum’at yang telah lalu, dosa-dosaku bisa terampuni atau paling tidak dimaklumi. Saya duduk bersila sementara orang-orang telah meninggalkan mesjid, bertebaran di muka bumi mencari rezki. Setelah benar-benar merasa lega, saya kembali ke rumah dan ternyata sebuah rencana hebat telah menanti. Anak Payo-payo akan berwisata ke Pulau Derawan, Maratua, Kakaban, dan Sangalaki. Sungguh bodoh jika ajakan ini saya tolak. Baru satu malam meninggalkan puncak gunung, kini kami bersiap untuk menjelajahi lautan. Ah, mumpung masih di Berau, saya harus menginjakkan kaki di setiap sudut-sudut kabupaten ini. Apalagi keempat Pulau yang akan kami kunjungi adalah destinasi wisata bahari bertaraf internasional. Plus cost trip yang dipangkas abis karena saya dan Ahmad terhitung sebagai anak bawang. “Berapa aja boleh asal tidak di bawahnya 500 ribu.” Kata Bang Icul sambil bercanda. Saya sedikit ragu tapi Ahmad meyakinkan, “OK kita berangkaaat!”
Avanza putih yang lagi-lagi di nahkodai oleh Heri, menjadi carteran kami sore ini. Masih terasa kepusingan perjalanan 6 jam kemarin sore dan sekarang 5 jam perjalanan darat ke arah timur menuju Tanjung Batu menjadi tantangan selanjutnya. Lelah memang lelah tapi ini demi pengalaman hidup, demi satu cerita di hari esok. 
...bersambung...

3 Agents Of SDN 012 Kelay, Long Lamcin


3 AGENTS

Senin 28 maret 2016, masih sangat pagi dan udara desa masih sangat dingin. Kulihat Ahmad, rekan seperjuanganku masih melipat tubuh dan membungkusnya dengan sarung sampai tak seincipun yang Nampak dari badannya. Memang udara pagi di Kampung Lamcing ini sangat dingin dan menusuk hingga ke tulang. Mager (Malas Gerak) menjadi kebiasaan baruku setiap pagi selama menjalani tugas di kampung ini. Selain karena tidak ada mesjid dan suara pegajian, juga tidak ada ibu dan bapak yang selalu ribut membangunkanku di pagi-pagi buta. Ada saja alasan untuk menahanku bermalas-malasan di pagi hari, solat subuh lah, mengantar ke pasar lah atau mengurusi adik-adikku yang masih sekolah. Ah kadang suasana yang selalu saya hindari di kampung halaman menjadi hal yang paling saya rindukan di kampung orang. I miss you Mom, Dad and all my brothers and sisters, Wait me home. 

Pagi ini, perutku terasa sakit dan sangat menyiksa, panggilan alam telah tiba dan air tidak ada. Sial! Sudah lebih dari sebulan ini pipa saluran air bersih kering kerontang padahal sungai sering kebanjiran, entah apa yang terjadi pada kampung kami, kemarau panjang melanda, rerumputan menguning dan terbakar, tanaman kekeringan dan mati, tanah menjadi gersang, siang sangat panas memanggang, malam hingga pagi hari begitu dingin menusuk tulang. Sementara, Sungai yang menjadi tempat kami mengambil air untuk memasak, mandi, dan mencuci kebanjiran dan airnya sangat kotor. Kampung Suluy yang berada di bagian paling hulu sungai Kelay tak henti-hentinya diguyur hujan padahal jaraknya hanya 45 menit perjalanan Sungai menggunakan ketiniting. Jika di hulu kehujanan, air sungai melimpah tapi nyaris tidak bisa dimanfaatkan karena airnya coklat pekat dan mengalir sangat deras. Jadilah kami kehausan di tengah limpahan air. Ironis sekali.

Tak ada pilihan lain, saya membuang hajat di tepi sungai dengan perasaan was-was dan penuh kewaspadaan jangan sampai ada buaya yang kebetulan merasa terganggu dengan kehadiranku di saat mentari pagi belum muncul itu. Mataku mengawasi dalam gelap, dan suara gemuruh air sungai membuat perasaanku semakin mencekam karena nyaris saya tak bisa mendengar gerakan-gerakan kecil di sana. 5 menit berlalu, itu adalah 5 menit terlama yang pernah saya rasaka, nyawaku berada dalam ancaman. Oh perut, jangan kau ulangi lagi. 

Senin ini adalah harinya kelas 6, mereka akan mengikuti Try out ujian nasional. Sekolah tempatku mengabdi memiliki 3 orang murid kelas VI yang kesemuanya adalah laki-laki, Welden, Amos, dan Yaret. Sementara kelas 1 sampai 5 masih diliburkan hingga 1 april nanti. Pukul 07.15, ada 3 bocah laki-laki yang sudah lengkap dengan seragam merah putih, berteriak meminta bola takraw di depan rumah. Mereka adalah Arjun, Alex, dan Stember siswa kelas satu yang entah super rajin atau tidak paham instruksi. Seharusnya yang datang 3 siswa kelas 6, eh yang muncul malah 3 siswa kelas satu. 
“Pak guru, ayo kita main takraw sambil tunggu yang lain”
“ok, saya ganti baju dulu ya” jawabku santai seolah hari ini seperti hari biasa.
Setelah beberapa menit bermain, Alex mulai mempertanyakan kenapa hari ini sepi.
“Kenapa tidak ada yang sekolah hari ini Pak guru?”
“Malas betul mereka semua sekolah ya, kita belajar juga kan kalau sedikit pak guru?” Sahut Stember sebelum saya menjawab pertanyaan Alex.
“Nyata!” jawabku singkat dan jelas. Kata “nyata” di kampung ini berarti “Yes 100%”
“Kita belajar main takraw saja Pak guru” Kata Arjun penuh keseriusan.
“Ennong” artinya tidak. Timpal Stember lalu kemudian mengomeli Arjun dengan bahasa punan, wajahnya kelihatan cemberut hampir marah dan mulutnya tak berhenti komat-kamit. 
“Maaf ya Pak guru” kata Arjun sambil menatapku dengan tatpan bersalah. Entah apa yang dikatakan oleh Stember pada Arjun sehingga Ia nyaris minta ampun. Sementara itu Alex hanya tertawa-tawa kecil melihat Arjun yang mati kutu diomeli oleh Stember. 
Saya sendiri tertawa melihat tingkah mereka bertiga hahaha.
Akhirnya, kami berhenti bermain dan memasuki kelas, sangat berdebu karena sekolah libur paskah sejak 10 hari yang lalu. 
“Ok ank-anak, kita bersih-bersih dulu sebelum belajar. Stember dan Arjun menyapu. Alex bersihkan papan tulis”
“Siap Pak Guru”
Mereka membersihkan dan saya sendiri merapikan buku dan bangku yang berserakan.
“Sudah bersih pak guru, ayo kita baris”
What? Baris? Wah, mereka ternyata senang dengan kebiasaan baru pada hari senin yaitu berbaris. Ok kita berbaris meskipun cuman 3 orang, tapi bagaimanapun juga, hari ini masih suasana libur yang tentunya tidak enak jika kawan mereka yang tidak sekolah tau kalo ada diantara mereka yang masuk sekolah. Saya harus menyikapi ini seadil dan sebaik yang  bisa.
“Siap Grakk, Lencang kanaan Grak, tegaap Grakk” Alex memimpin barisan. 
“Selamat Pagi!” Kataku
“Pagi, Pagi, Pagi”
“How are you today?”
“My Brain, My heart, fresh-fresh-fresh!”
“Very Good!, Sudah mandi semua?”
“Saya tidak mandi pak guru, tidak ada air” kata Arjun sambil melirik-lirik pada dua  temannya.
“saya juga tidak” kompak Alex dan Stember mengatakan hal yang sama.
“Ok that’s fine, pak guru juga belum mandi tapi sudah makan, kalian sudah sarapan?”
“Sudaaahhh”
Mereka begitu semangat meskipun hanya bertiga, rasanya mengecewakan jika menyuruh mereka pulang tanpa memberikan apa yang mereka inginkan di sekolah.
“Ok Lamcin Warriors, kalian tau kenapa hari ini sepi?, karena hari ini adalah hari Li…?”
“Hari Limaaa” jawab Stember yakin”
“LIMA” Arjun dan Alex bersorak membenarkan.
“Hahaha….. hari Lima? Luar biasa, tepu tangaaaan”
Mereka bertepuk tangan ria, seolah-olah jawaban itu tepat 1000%, mungkin kurang tepat tapi itu sangat menghibur bagiku.  
“Jadi, hari ini adalah hari libur, kelas 6 akan Try out ujian nasiaonal, itu mereka bertiga baru datang” Saya sambil menunjuk 3 siswa yang matanya belum siap menatap hari.
“oo.. Lamli’ teh” Artinya pulang yuk. Kata Alex seraya meninggalkan barisan.
“Dubaiy” Tunggu dalam bahasa Indonesia. Stember langsung menahan Alex.
Bukannya tersinggung melihat Alex yang tanpa perasaan bersalah, spontan ingin meninggalkan barisan dimana saya berdiri 1 meter di depannya, saya malah tertawa dengan spontanitas seperti itu. Mungkin di pikiran Alex, ya ini kan libur ngapain lagi berlama-lama di sekolah, ayo Lamli. Main atau ngapain. Hahaha dasar bocah.

***
Sekolah Dermaga.
Tujuan mereka untuk sekolah tetap bisa terpenuhi karena kami langsung berpindah lokasi dari sekolah ke dermaga ketinting yang ada di tepi sungai. Mereka bertiga kusebar untuk pulang ke rumah masing-masing mengganti pakaian sekolah mereka dengan pakaian bermain lalu memanggil teman-teman mereka yang pada tau kalau hari ini adalah hari libur. Setelah beberapa menit menunggu di dermaga akhirnya 10 anak berhasil dikumpulkan oleh 3 agen. 13 peserta awal sekolah dermaga mengawali kelas dengan penuh keceriaan.
Hari senin ini, 3 anak super tanpa sadar telah menginspirasiku untuk membuat sekolah dermaga atau sebuah ruang belajar tanpa dinding dan tanpa aturan waktu. Mengingat pendidikan di pelosok Kalimantan ini memiliki terlalu banyak hari libur, libur Ramadan, lebaran, natal, tahun baru, paskah, Nyepi, imlek, hari pahlawan, hari pendidikan, hari berburu, hari asap, harinya Tuhan dan banyak hari-hari lain yang dijadikan hari libur. Mudah-mudahan senin ini bisa menjadi awal untuk mengembangkan kegiatan belajar di luar sekolah. Bukankah setiap waktu adalah momen belajar, berbagi, dan menginspirasi. Thank you my students, I will always learn from you.

Saddang Husain, 
Long Lamcin, 28 Maret 2016

MEE, 2016. SM3T V, Berau



Marginal Education Expo, SM-3T V Berau

Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan wilayah yang membentang luas dari Sambang sampai Merauke memiliki berbagai macam masalah pendidikan yang sampai pada hari ini seolah semakin mencekik. Mulai dari masalah ranking pendidikan nasional yang duduk manis di deretan terbawah dunia sampai pada bangunan sekolah yang kritis di atas bukit yang sunyi. Dari kecerdasan dan kemewahan yang overdosis di perkotaan sampai pada ketidaktahuan dan kemiskinan yang akut di desa-desa terpencil. Semua itu adalah masalah Bangsa Indonesia yang tidak lain adalah masalah setiap orang yang mendiami negeri ini.
Ketidaktahuan dan kemiskinan mungkin bukanlah akibat kebodohan dan kemalasan melainkan akibat pembodohan dan pemiskinan. Pembodohan oleh mereka yang seharusnya mendidik tapi memilih diam, pemiskinan oleh mereka yang memiliki power tapi meilih diam. Lantas, apakah kita memilih diam atau bertindak? Sebagai praktisi pendidikan yang sadar dan peduli terhadap kondisi pendidikan negeri ini maka kita seyogyanya bersorak lantang “kami ingin bertindak”.
Melalui program nasional SM-3T (Sarjana Mendidik di Daerah Terdepan, Terluar dan Tertinggal) Kementrian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi yang bekerjasama dengan Dinas Pendidikan Kabupaten Berau talah mengambil langkah nyata dalam upaya penyelesaian masalah-masalah pendidikan yang ada di daerah pedesaan terpencil kabupaten Berau. Para pendidik muda yang didistribusikan ke 20 Sekolah Dasar yang tersebar di 6 kecamatan tidak hanya menemukan masalah seperti minimnya fasilitas, profesionalisme yang jauh dari kata cukup, atau kurangnya kesadaran masyarakat adat akan pentingnya pendidikan, tapi ada keunikan juga di sana. Ada keceriaan yang tak bisa terbeli dengan uang, ada semangat untuk tetap maju meski kondisi yang memprihatinkan, ada binar mata dari peserta didik yang seolah berteriak bahwa “kami tak ingin menyerah pada nasib”. 
Upaya perbaikan kualitas pendidikan di kabupaten Berau, terkhusus di dearah yang termasuk 3T (Terdepan, Terluar dan Tertinggal) tidaklah cukup dengan kerja keras tenaga pendidik saja, tetapi peran pembuat kebijakan, dan dukungan masyarakat umum adalah komponen yang sangat dibutuhkan demi terwujudnya pendidikan yang berkualitas karena setiap warga negara yang ada di Kabupaten Berau harus andil dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa sebagai janji kemerdakaan yang tercantum dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.

Atas dasar pemikiran yang telah disebutkan, maka perlu mengadakan suatu kegiatan yang dapat menggugah kesadaran masyarakat Berau secara umum dan seluruh warga sekolah (kepala sekolah dan guru sampai pada siswa-siswi) secara khusus akan pentingnya pendidikan, sekaligus memberi gambaran tentang kodisi pendidikan yang ada di daerah 3T Kabupaten Berau. Dengan kegiatan ini pula, masyarakat nantinya akan mengeti bahwa pemerintah pusat, dalam hal ini adalah Kementrian Riset, Teknologi dan pendidikan Tinggi telah berupaya melakukan penyelesaian masalah kependidikan yang ada di kabupaten Berau melalui program SM-3T.

Setelah melalui proses pembahasan yang cukup panjang dan melibatkan beberapa pihak, akhirnya peserta SM-3T ankatan V yang telah mengabdi Selama 6 bulan di pedesaan terpencil kabupaten Berau bersepakat untuk mengadakan pameran pendidikan yang mereka namai “Marginal Education Expo”, Pameran Pendidikan yang Terpinggirkan. Tujuannya yaitu menyebarkan informasi tentang kondisis pendidikan yang real terjadi di 20 Sekolah Dasar yang menjadi sasaran persebaran 40 sarjana penddikan dari LPTK UNM tersebut. Informasi seperti minimnya sarana dan prasarana pendidikan. Penyebaran informasi ini diharapkan bisa menjadi media kritik dan bahan pertimbangan kepada pembuat kebijakan untuk mengambil langkah-langkah progresif demi pendidikan yang lebih baik. Menjadi media pendidikan kepada masyarakat umum tentang kondisi pendidikan di daerah terpencil kabupaten Berau, serta menjadi informasi yang dapat memotifasi pelajar, dan guru, dari 3 tingkatan pendidikan yang berbeda, SD, SMP, dan SMA. Pameran ini juga sekaligus menjadi bentuk kegiatan kabupaten mereka, yaitu kegiatan yang diwajibkan kepada seluruh peserta SM-3T selama menjalani tugas mendidik, dan dilakukan di ibukota kabupaten.

Karena asas tujuannya ingin menyebarkan informasi maka kegiatan ini harus menyerap banyak pengunjung, meriah, dan tentunya tepat sasaran. Mereka kemudian meramunya menjadi pameran yang berbeda, kreatif, dan hemat anggaran. Maklumlah, pelaksana program memang tidak menganggarkan dana untuk kegiatan semacam itu sehingga sumber dananya mesti didapatkan melalui cara-cara yang elegan dan juga halal. Berikut akan saya jabarkan kegiatan apa saja yang ada dalam Marginal Education Expo ini. 

Pertama, Pameran Poto pendidikan. Setelah 6 bulan lamanya mengabdi di sekolah masing-masing, tentu saja banyak hal-hal unik yang telah terabadikan oleh kamera, entah itu kondisi sekolah, keceriaan peserta didik, proses belajar mengajar, keindahan alam, perjalanan yang menantang atau guru-guru yang selalu narsis di setiap moment. Semua itu menjadi bahan untuk dipamerkan dalam pameran photo. Tapi, tentu saja bukan kualitas kamera atau kehebatan mengambil gambar yang ingin mereka pamerkan melainkan cerita di balik gambar karena mereka bukanlah cameramen, melainkan guru!

Ribuan photo yang telah terkumpul dari masing-masing skolah diseleksi menjadi 120 photo terbaik yang mewakili kondisi pendidikan, social masyarakat, dan alam. 120 photo beserta catatan-catatan kecil yang mendeskripsikan gambar itu kemudian dicetak lalu ditempelkan di atas sebuah kain spanduk berukuran 1.5M sebanyak 6 buah berdasarkan jumlah kecamatan tempat mereka ditugaskan. Kain tersebut telah didesain sedemikian rupa sehingga kelihatan cantik meskipun tanpa ada foto di sana. Hasil kreatifitas tersebut dipasang di sebuah frame besar lalu dipajang di area parkir gedung NU YAKOBI Learning Center yang telah mereka sulap menjadi stand raksasa yang megah. Tercatat ada sekitar 400 pengunjung yang mengunjungi pameran photo tersebut, pengunjung itu berasal dari beragam usia, pekerjaan dan profesi. 

Kedua, kelas Bacarita. Bacarita atau bercerita adalah TEDx ala Yayasan Komunitas Belajar Indonesia. Jika kalian pernah menonton acara TEDx maka modelnya persisi seperti itu, dimana seorang narasumber berbicara selama 10 sampai 30 menit diatas panggung, berbagi gagasan dan kisah-kisah yang menginspirasi. Dalam format di MEE ini, ada 6 narasumber yang berbicara di hadapan lebih dari 150 audiens yang berasal dari siswa-siswi terbaik dari 10 Sekolah Menengah Atas yang ada di Kabupaten Berau. Dalam kelas bacarita yang juga mirip dengan kelas inspirasi itu, para pembicara membagikan pengalaman hidup mereka di daerah terpencil yang tidak ada listrik, jaringan telpon dan sumber air bersih. Belum lagi dengan cerita tentang bagaimana sulitnya medan yang harus dilalui untuk sampai di lokasi pengabdian mereka. Dengan rangkaian kiasah-kisah itu, banyak audiens yang merasa sangat beruntung dan bersyukur karena bisa bersekolah di wilayah perkotaan dengan banyak fasilitas yang mereka dapatkan. Dalam kelas bacarita ini juga para pemateri yang telah menyelesaikan studi mereka di berbagai perguruan tinggi memperkenalkan kepada para peserta perihal dunia kampus dan dilanjutkan dengan tips/trik menghadapi ujian nasional atau SBMPTN dari direktur bimbingan belajar PRIMAGAMA Berau. 

Ketiga, Lomba Ranking 1. Mungkin ada yang bertanya, apa hubungannya pameran pendidikan dengan perlombaan Ranking 1. Sangat berhubungan! Peserta yang diundang dalam lomba ini adalah 100 siswa terbaik dari 10 Sekolah Menengah Pertama yang ada di kabupaten Berau.  Setelah mengukuti lomba, mereka diarahkan untuk mengunjungi galeri foto pendidikan yang terletak bersebelahan dengan lokasi lomba mereka. di sana mereka mendapatkan penjelasan yang mudah dicerna dari para Bapak-Ibu guru SM-3T. 

Keempat, Lomba Mewarnai. Perlombaan ini diikuti oleh 20 siswa-siswi yang lucu-lucu dari 10 Sekolah Dasar di kabupaten Berau. Hadirnya para peserta lomba ini otomatis ditemani oleh supporter masing-masing, entah itu guru, orangtua atau kerabat dan teman-teman mereka, sehingga kegiatan pameran pendidikan ini menjadi semakin meriah dan semakin banyak pula yang menerima informasi dan mendapatkan manfaatnya.

Selama 2 hari kegiatan berlangsung yaitu 9-10 maret 2016 di gedung NU YAKOBI Learning Center, Berau Post memuat acara ini dalam terbitan hariannya yang terbit pada 9 maret dengan judul pada halaman utama “Jadi Pijakan Membangun Dunia Pendidikan”. Dengan terbitnya berita mengenai kegiatan itu di Koran maka informasi tentang kondisi pendidikan yang ada di daerah-daerah terpencil dan tertinggal seperti Long Lamcin, dan Long Nguikian dapat tersebar lebih luas dan semakin banyak masyarakat yang paham bahwa upaya mempertahankan kemerdekaan melalui sector pendidikan belum terlaksana dengan maksimal. Syukur-syukur jika ada pejabat pemerintah yang rajin baca Koran dan sempat melihat terbitan itu lalu kemudian merasa terpanggil untuk melihat kembali kebijakan apa yang telah mereka buat dan mengambil langkah nyata untuk melakukan perbaikan. Semoga saja, Amin.

Akhirnya, separuh perjalanan 40 anak muda yang rela meninggalkan zona nyaman mereka di kota dan mengabdikan diri dan ilmu yang mereka miliki di kampung-kampng yang penuh keterbatasan telah berhasil mereka informasikan kepada masyarakat Berau. Sungguh upaya yang sangat mulia untuk melakukan kebaikan lalu mengajak orang lain untuk melakukan kebaikan pula. Semoga saja kegiatan yang diketuai oleh Saddang Husain ini dapat menginspirasi pemuda Berau untuk terlibat langsung dalam kegiatan-kegiatan positif demi pendidikan yang jauh lebih baik.

Terimakasih kepada seluruh peserta SM-3T Angkatan V yang telah mengabdikan diri dan berjuang menaklukan tantangan di daerah penempatan masing-masing lalu kemudian mengadakan kegiatan Marginal Education Expo yang sangat bermanfaat ini, juga kepada seluruh sponsor dan pihak terkait yang telah memberikan dukungan baik moril maupun materil demi terlaksananya kegiatan ini. Special thanks to YAKOBI yang tak henti-hentinya memberi semangat dan meyakinkan panitia pelaksa bahwa kalian pasti bisa.
6 bulan lagi anak muda, kembalilah pada pangkuan Ibu Pertiwi, selamatkan anak bangsa karena masa depan negeri ini ada di tangan kalian. Jayalah pendidikan Indonesia jayalah SM-3T.

Note: Foto dan Publikasi di Media

Lamcin, 2 April, 2016
Catatan yang sempat tertunda
Saddang Husain 

Marginal Education Expo, SM-3T V Berau




KERANGKA ACUAN

KEGIATAN PAMERAN PENDIDIKAN “MARGINAL EDUCATION EXPO”

TEMA: MENGENAL PENDIDIKAN SAMPAI DI DAERAH TERDEPAN, TERLUAR DAN TERTINGGAL

Latar Belakang
Negara Republik Indonesia dengan wilayah yang membentang luas dari Sambang sampai Merauke memiliki berbagai macam masalah pendidikan yang sampai pada hari ini seolah semakin mencekik. Mulai dari masalah ranking pendidikan nasional yang duduk manis di deretan terbawah dunia sampai pada bangunan sekolah yang kritis di atas bukit yang sunyi. Dari kecerdasan dan kemewahan yang overdosis di perkotaan sampai pada ketidaktahuan dan kemiskinan yang akut di desa-desa terpencil. Semua itu adalah masalah Bangsa Indonesia yang tidak lain adalah masalah setiap orang yang mendiami negeri ini.
Ketidaktahuan dan kemiskinan mungkin bukanlah akibat kebodohan dan kemalasan melainkan akibat pembodohan dan pemiskinan. Pembodohan oleh mereka yang seharusnya mendidik tapi memilih diam, pemiskinan oleh mereka yang memiliki power tapi meilih diam. Lantas, apakah kita memilih diam atau bertindak? Sebagai praktisi pendidikan yang sadar dan peduli terhadap kondisi pendidikan negeri ini maka kita seyogyanya bersorak lantang “kami ingin bertindak”.
Melalui program nasional SM-3T (Sarjana Mendidik di Daerah Terdepan, Terluar dan Tertinggal) Kementrian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi yang bekerjasama dengan Dinas Pendidikan Kabupaten Berau talah mengambil langkah nyata dalam upaya penyelesaian masalah-masalah pendidikan yang ada di daerah pedesaan terpencil kabupaten Berau. Para pendidik muda yang didistribusikan ke 20 Sekolah Dasar yang tersebar di 6 kecamatan tidak hanya menemukan masalah seperti minimnya fasilitas, profesionalisme yang jauh dari kata cukup, atau kurangnya kesadaran masyarakat adat akan pentingnya pendidikan, tapi ada keunikan juga di sana. Ada keceriaan yang tak bisa terbeli dengan uang, ada semangat untuk tetap maju meski kondisi yang memprihatinkan, ada binar mata dari peserta didik yang seolah berteriak bahwa “kami tak ingin menyerah pada nasib”. 
Upaya perbaikan kualitas pendidikan di kabupaten Berau, terkhusus di dearah yang termasuk 3T (Terdepan, Terluar dan Tertinggal) tidaklah cukup dengan kerja keras tenaga pendidik saja, tetapi peran pembuat kebijakan, dan dukungan masyarakat umum adalah komponen yang sangat dibutuhkan demi terwujudnya pendidikan yang berkualitas karena setiap warga negara yang ada di Kabupaten Berau harus andil dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa sebagai janji kemerdakaan yang tercantum dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.
Atas dasar pemikiran yang telah disebutkan, maka perlu mengadakan suatu kegiatan yang dapat menggugah kesadaran masyarakat Berau secara umum dan seluruh warga sekolah (kepala sekolah dan guru sampai pada siswa-siswi) secara khusus akan pentingnya pendidikan, sekaligus memberi gambaran tentang kodisi pendidikan yang ada di daerah 3T Kabupaten Berau. Dengan kegiatan ini pula, masyarakat nantinya akan mengeti bahwa pemerintah pusat, dalam hal ini adalah Kementrian Riset, Teknologi dan pendidikan Tinggi telah berupaya melakukan penyelesaian masalah kependidikan yang ada di kabupaten Berau melalui program SM-3T.

Tujuan
1. Mempublikasikan kondisi pendidikan yang ada di daerah 3T (Terdepan, Terluar dan Tertinggal) Kabupaten Berau.
2. Memberikan penyadaran kepada masyarakat Berau akan pentingnya pendidikan.
3. Memotifasi peserta didik untuk terus belajar dan tidak merasa puas dengan pencapaian yang telah mereka capai.
4. Memperkenalkan program SM-3T dan Mempublikasikan kegiatan-kegiatan guru-guru SM-3T yang ditugaskan di kabupaten Berau.

Pelaksana dan Biaya
1. Guru-Guru SM-3T Angkatan V Kabupaten Berau yang berasal dari LPTK UNM (Universitas Negeri Makassar).
2. Pembiayaan berasal dari Donatur

Penutup

Program dan kegiatan yang akan dilaksanakan adalah realisasi dari komitmen pemerintah pusat sampai pemerintah daerah yang ingin melakukan perubahan atas kondisi pendidikan yang ada di Kabupaten Berau.

Lampiran 
1. Daftar Undangan dan Pesert
b. DOSEN DARI LPTK PENYELENGGARA SM-3T, UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR
c. BUPATI BERAU
d. KEPALA DINAS PENDIDIKAN KABUPATEN BERAU
e. KEPALA SEKOLAH DAN DEWAN GURU
f. SISWA-SISWI DARI BEBERAPA SEKOLAH DI KABUPATEN BERAU

2. Mitra 
1. DINAS PENDIDIKAN KABUPATEN BERAU
2. YAKOBI (YAYASAN KOMUNITAS BELAJAR INDONESIA)
3. BIMBINGAN BELAJAR PRIMAGAMA

Jonlay, siswa unik di kampung Long Lamcin


Jonlay dan Bola Ingus Sialan

Di SD Negeri 012 Kelay Kampung Long Lamcin, saya menemukan sosok manusia ajaib bernama Jon Lay. Dia adalah siswa paling minimalis di kelas 1 sekaligus di sekolah. Dengan pipi tembem dan bentuk rahang yang meruncing kedepan, kedua bibirnya sulit dipersatukan. Mereka menempel pada satu mulut yang sama tapi tak pernah sejalan, menyedihkan! Sekali ia bermaksud mengungkapkan sesuatu maka garis wajahnya langsung membentuk senyum lebar yang memamerkan keompongan. Dengan bentuk seperti demikian itu maka tak diragukan lagi bahwa Jon Lay, dipanggil JONLAY menjadi siswa dengan senyum termurah seantero sekolah. 

Selain senyum abadi, wajah langkanya juga dianugerahi ingus abadi. Entah bagaimana penjelasan medisnya tapi ingus itu tak henti-hentinya nongol di ujung hidung mungilnya walau tiap hari sudah dikeluarkan. Sudah sangat lama, sejak awal saya datang 5 bulan yang lalu memang sudah ada. Lalu kata Pak Adi yang sudah 1 tahun menjadi guru PTT Daerah (Pegawai Tidak Tetap) di Kampung yang terkepung gunung ini, anak itu sudah ingusan. Bahkan Ibu Eka yang juga PTT sejak 2 Tahun terakhir memberi kesaksian yang sama. Jangan-jangan Ibu Jon Lay sendiri akan berkata bahwa si Jon sudah ingusan sejak dilahirkan. Itu anugerah apa kutukan ya? Ah, bocah 7 tahun itu selalu membuatku tak mampu menahan tawa dalam situasi apapun. Bahkan dengan mengingat wajahnya saja saya sudah terhibur bukan main. 
***
“Assalamualaikum Pak Guru!” Jon Lay mengetuk pintu lalu mengintip melalui sela-sela papan.
“Waalaikumussalam, siapa? saya pura-pura bertanya sambil mengawasi dari balik kaca hitam yang tak nampak dari luar.
“mmm… “ matanya bergoyang-goyang, sepertinya berpikir. “ Pak Guru…Pak Guru…” 
“Ya, siapa?” Dengan nada yang meninggi. Saya masih tak membukakan pintu dan mulai tertawa melihat Jon yang kelihatan gelisah.
“Pak Guru…” Terdengar memohon dan hanya kata itu yang bisa dia ucapkan, dan raut wajahnya mulai menampakkan ekspresi kekecewaan seolah tak percaya saya yang setiap hari membukakan pintu rumah pada jam yang sama, 07.00, masih belum hapal dengan suaranya. 
Dia diam beberapa saat, lalu bergerak ingin meninggalkan teras rumah yang sepi itu. Kubuka pintu dengan keras sambil berteriak 
“YYAAA…” Ia terkejut dan langsung memukuliku dengan tangan mungilnya, saya tertawa puas sambil merangkulnya.
“Sudah Mandi, Nak?”
“Sudah Pak Guru”
“Hebat, Sudah Makan?”
“Iya, makan BABI RW”
“wow, delicious?”
“hmm yes, Pak Guru” 
Babi RW itu adalah daging babi yang dimasak dengan lumuran kecap dan Lombok yang banyak. Masakan RW menjadi masakan favorite warga kampung. Ayam, ikan, babi, beruang, kijang, kancil bahkan landak, nanti dimasak RW baru dibilang sedap. Jon Lay bersama dengan seluruh warga Kampung Long Lamcin ini adalah penganut agama Kristen Protestan yang berpola hidup masih berburu. Mereka adalah jemaat Gereja Kemah Injil Indonesia (GKII). Meskipun seluruh siswaku beragama kristen, mereka sudah terbiasa mengucap “Assalamualaikum” Atau Menjawab “waalaikumussalam”. Itu karea aturan yang kubuat sendiri. “No body can enter this class without permission, Tidak ada yang boleh masuk kelas tanpa permisi terlebih dahulu. Kalian bisa bilang selamat pagi atau assalamualaikum” ucapku pada pertemuan pertama. Anehnya, mereka malah lebih senang mengucapkan Assalamualaikum. Jadilah ucapan salam itu booming di pedalaman Kalimantan timur ini.  
***
Pukul 07.45 saya berjalan meninggalkan rumah yang hanya berjarak beberapa meter saja dari sekolah mengikuti Jon Lay yang berlari-lari kecil di depanku. Siswa kelas 1 mulai berlarian memasuki kelas dan langsung duduk manis di tempat duduk masing-masing.
“How are you Lamcin Warriors?”
“My brain, My heart, Fresh-fresh-fresh!”
“Very god, Are you ready to study?”
“Yes, yes, yes Ready!” Pembukaan yang sungguh semangat dan berapi-api, Mirip seminar training-training untuk cepat kaya. Seperti biasa, saya mengawali kelas dengan warming up lalu story telling. Pagi yang mendung di akhir November itu, saya bercerita tentang kisah BunDa (Bubun Datu) yang berarti Sumur Datu dalam Bahasa Luwu. Meskipun cerita itu hanya rekaanku sendiri, anak-anak senang mendengarnya bahkan sampai saya menuliskan ini sudah beberapa kali mereka request cerita itu lagi. 
“Pada jaman dahulu kala, hiduplah seorang kakek tua bernama Datu” saya memulai cerita dengan gaya berjalan seorang kakek tua. 
“Ia hidup seorang diri di dalam sebuah gubuk tua di desa kecil bernama Labokke’” Suarku melemah seolah berbisik lalu kemudian kembali normal denga mengajukan pertanyaan 
“Siapa nama kakek itu?” 
“Datu!” lantang teriakan mereka.
“Good!!!”
Ceritaku berlanjut dengan dramatisasi yang lumayan lebay. Sesekali saya lepaskan pandangan yang tajam ke dalam mata mereka, menahan kata-kata beberapa detik lalu kembali memecah sunyi dengan bersorak sambil menghentakkan kaki di lantai. Beberapa siswa menganga, nyaris meneteskan air liur. Tapi beda dengan John Lay, ingusnya membentuk balon lalu pecah di ujung hidungnya yang mungil itu. Saya tak mampu menahan tawa. 
***
Setelah bercerita, kami lanjutkan dengan pelajaran matematika.  Pada momen ini lah aura keperkasaan Jon Lay mencuat. Saya mengajari mereka cara penjumlahan menggunakan garis yang ada pada jari-jari tangn. Selain jempol, masing-masing jari memiliki tiga garis atau tiga patahan. Secara keseluruhan ada 28 garis. Setelah beberapa contoh akhirnya mereka paham dan merasa sangat senang dengan media jari tangan karena mereka tak perlu lagi bergelut dengan batu atau lidi. Ya maklum lah, sekolah kami memang minim fasilitas. 
“Berapakah 4 + 7?”
Ujang berteriak “sebelas Pak Guru”
“Betul, Tepuk tangan”
“10 tambah 11”
“Dua satu” Alex dan Ujang menjawab sama cepat. Lalu suara lembut Jonlay menyusul seolah membenarkan “dua pulu satu”
“Dua satu atau Dua puluh satu, benar” mereka senang.
Ketegangan mulai terasa saat aku mempertandingkan 10 soal.
“7 ditambah 8”. Semua menjawab benar 15 tapi Jonlay yang palin cepat. 1 poin untuknya.   
“8 ditambah 9”  “tujublas” bocah 60 cm itu lagi-lagi membuat temannya gemas.
“10 tambah 9” mereka kembali menunduk bermain dengan jari-jarinya. Lalu berlomba menjawab dengan berteriak “19”. Kali ini Ujang yang mendapat tambahan poin.
15 + 7, poin untuk ujang. 16 + 9, Jonlay. 17 + 10 kembali ujang tercepat. Akhirnya sampai soal ke-9, skor sementara 4 untuk Jonlay , Alex 1, Ujang 4. Putri, Deli, Gamar, Arjun, Ikang dan Stember sama-sama telur besar. Dengan berat hati mereka menjadi pendukung di pertanyaan puncak.
“Inilah pertanyaan terakhir, soal cerita!” saya mulai mendramatisasi soal mirip berita gossip di Tipi. “Bilung, pergi mencari buah di hutan, dia mendapatkan 14  Gu’ Lehjin (durian) dan 14 Gu’ Gun (rambutan Hutan) ” saya diam sejenak, memperhatikan Ujang dan Jonlay mencondongkan kepalanya. Saya lanjutkan dengan suara berseru “berapakah total buah yang didapatkan Bilung?”
Mereka dengan panik mulai berhitung. Jonlay fokus pada jari dan tenggelam dalam hitungan 19, 20, 21, 22 sedikit lagi. Ujang masih di angka 14, 15, 16. Mataku secepat kilat kembali pada Jonlay. Gawat, ingusnya kembali nongol membentuk balon, semakin dekat semakin besar balonnya. 25, 26 dan “chussshh” balonnya meletus, konsentrasi Jonlay buyar, dia lupa sudah sampai angka berapa tadi. Saya setengah hidup menahan tawa, sekaligus iba melihatnya kembali pada hitungan pertama. Dengan mantap Ujang teriak “dua pulu delapan Pak Guru”
  ”Benar!!!, Pemenangnya adalah Uuujaaang” saya bersorak sambil mengangkat tangan Ujang lalu diikuti tepuk tangan meriah seluruh kelas, kecuali Jonlay yang baru sadar kalo pertandingan telah usai.
Sungguh hari yang menyedihkan untuk Jonlay, jika bukan karena ingus sialan itu, dia pasti sudah menjadi pemenang pada hari itu. Kelak, ketika Jonlay membaca tulisan ini, ia pasti akan berjanji untuk tidak ingusan lagi. Semangat Nak!

Long Lamcin, 16 februari 2016



On SM-3T Mission Gallery

This gallery shows what did i do at Berau Regency during my mission as a young educator on behalf of Maju Bersama Mencerdaskan Indonesia. I am proud of being a witness of a real Indonesia.
karena pendidikan adalah hak segala bangsa