Jonlay, siswa unik di kampung Long Lamcin


Jonlay dan Bola Ingus Sialan

Di SD Negeri 012 Kelay Kampung Long Lamcin, saya menemukan sosok manusia ajaib bernama Jon Lay. Dia adalah siswa paling minimalis di kelas 1 sekaligus di sekolah. Dengan pipi tembem dan bentuk rahang yang meruncing kedepan, kedua bibirnya sulit dipersatukan. Mereka menempel pada satu mulut yang sama tapi tak pernah sejalan, menyedihkan! Sekali ia bermaksud mengungkapkan sesuatu maka garis wajahnya langsung membentuk senyum lebar yang memamerkan keompongan. Dengan bentuk seperti demikian itu maka tak diragukan lagi bahwa Jon Lay, dipanggil JONLAY menjadi siswa dengan senyum termurah seantero sekolah. 

Selain senyum abadi, wajah langkanya juga dianugerahi ingus abadi. Entah bagaimana penjelasan medisnya tapi ingus itu tak henti-hentinya nongol di ujung hidung mungilnya walau tiap hari sudah dikeluarkan. Sudah sangat lama, sejak awal saya datang 5 bulan yang lalu memang sudah ada. Lalu kata Pak Adi yang sudah 1 tahun menjadi guru PTT Daerah (Pegawai Tidak Tetap) di Kampung yang terkepung gunung ini, anak itu sudah ingusan. Bahkan Ibu Eka yang juga PTT sejak 2 Tahun terakhir memberi kesaksian yang sama. Jangan-jangan Ibu Jon Lay sendiri akan berkata bahwa si Jon sudah ingusan sejak dilahirkan. Itu anugerah apa kutukan ya? Ah, bocah 7 tahun itu selalu membuatku tak mampu menahan tawa dalam situasi apapun. Bahkan dengan mengingat wajahnya saja saya sudah terhibur bukan main. 
***
“Assalamualaikum Pak Guru!” Jon Lay mengetuk pintu lalu mengintip melalui sela-sela papan.
“Waalaikumussalam, siapa? saya pura-pura bertanya sambil mengawasi dari balik kaca hitam yang tak nampak dari luar.
“mmm… “ matanya bergoyang-goyang, sepertinya berpikir. “ Pak Guru…Pak Guru…” 
“Ya, siapa?” Dengan nada yang meninggi. Saya masih tak membukakan pintu dan mulai tertawa melihat Jon yang kelihatan gelisah.
“Pak Guru…” Terdengar memohon dan hanya kata itu yang bisa dia ucapkan, dan raut wajahnya mulai menampakkan ekspresi kekecewaan seolah tak percaya saya yang setiap hari membukakan pintu rumah pada jam yang sama, 07.00, masih belum hapal dengan suaranya. 
Dia diam beberapa saat, lalu bergerak ingin meninggalkan teras rumah yang sepi itu. Kubuka pintu dengan keras sambil berteriak 
“YYAAA…” Ia terkejut dan langsung memukuliku dengan tangan mungilnya, saya tertawa puas sambil merangkulnya.
“Sudah Mandi, Nak?”
“Sudah Pak Guru”
“Hebat, Sudah Makan?”
“Iya, makan BABI RW”
“wow, delicious?”
“hmm yes, Pak Guru” 
Babi RW itu adalah daging babi yang dimasak dengan lumuran kecap dan Lombok yang banyak. Masakan RW menjadi masakan favorite warga kampung. Ayam, ikan, babi, beruang, kijang, kancil bahkan landak, nanti dimasak RW baru dibilang sedap. Jon Lay bersama dengan seluruh warga Kampung Long Lamcin ini adalah penganut agama Kristen Protestan yang berpola hidup masih berburu. Mereka adalah jemaat Gereja Kemah Injil Indonesia (GKII). Meskipun seluruh siswaku beragama kristen, mereka sudah terbiasa mengucap “Assalamualaikum” Atau Menjawab “waalaikumussalam”. Itu karea aturan yang kubuat sendiri. “No body can enter this class without permission, Tidak ada yang boleh masuk kelas tanpa permisi terlebih dahulu. Kalian bisa bilang selamat pagi atau assalamualaikum” ucapku pada pertemuan pertama. Anehnya, mereka malah lebih senang mengucapkan Assalamualaikum. Jadilah ucapan salam itu booming di pedalaman Kalimantan timur ini.  
***
Pukul 07.45 saya berjalan meninggalkan rumah yang hanya berjarak beberapa meter saja dari sekolah mengikuti Jon Lay yang berlari-lari kecil di depanku. Siswa kelas 1 mulai berlarian memasuki kelas dan langsung duduk manis di tempat duduk masing-masing.
“How are you Lamcin Warriors?”
“My brain, My heart, Fresh-fresh-fresh!”
“Very god, Are you ready to study?”
“Yes, yes, yes Ready!” Pembukaan yang sungguh semangat dan berapi-api, Mirip seminar training-training untuk cepat kaya. Seperti biasa, saya mengawali kelas dengan warming up lalu story telling. Pagi yang mendung di akhir November itu, saya bercerita tentang kisah BunDa (Bubun Datu) yang berarti Sumur Datu dalam Bahasa Luwu. Meskipun cerita itu hanya rekaanku sendiri, anak-anak senang mendengarnya bahkan sampai saya menuliskan ini sudah beberapa kali mereka request cerita itu lagi. 
“Pada jaman dahulu kala, hiduplah seorang kakek tua bernama Datu” saya memulai cerita dengan gaya berjalan seorang kakek tua. 
“Ia hidup seorang diri di dalam sebuah gubuk tua di desa kecil bernama Labokke’” Suarku melemah seolah berbisik lalu kemudian kembali normal denga mengajukan pertanyaan 
“Siapa nama kakek itu?” 
“Datu!” lantang teriakan mereka.
“Good!!!”
Ceritaku berlanjut dengan dramatisasi yang lumayan lebay. Sesekali saya lepaskan pandangan yang tajam ke dalam mata mereka, menahan kata-kata beberapa detik lalu kembali memecah sunyi dengan bersorak sambil menghentakkan kaki di lantai. Beberapa siswa menganga, nyaris meneteskan air liur. Tapi beda dengan John Lay, ingusnya membentuk balon lalu pecah di ujung hidungnya yang mungil itu. Saya tak mampu menahan tawa. 
***
Setelah bercerita, kami lanjutkan dengan pelajaran matematika.  Pada momen ini lah aura keperkasaan Jon Lay mencuat. Saya mengajari mereka cara penjumlahan menggunakan garis yang ada pada jari-jari tangn. Selain jempol, masing-masing jari memiliki tiga garis atau tiga patahan. Secara keseluruhan ada 28 garis. Setelah beberapa contoh akhirnya mereka paham dan merasa sangat senang dengan media jari tangan karena mereka tak perlu lagi bergelut dengan batu atau lidi. Ya maklum lah, sekolah kami memang minim fasilitas. 
“Berapakah 4 + 7?”
Ujang berteriak “sebelas Pak Guru”
“Betul, Tepuk tangan”
“10 tambah 11”
“Dua satu” Alex dan Ujang menjawab sama cepat. Lalu suara lembut Jonlay menyusul seolah membenarkan “dua pulu satu”
“Dua satu atau Dua puluh satu, benar” mereka senang.
Ketegangan mulai terasa saat aku mempertandingkan 10 soal.
“7 ditambah 8”. Semua menjawab benar 15 tapi Jonlay yang palin cepat. 1 poin untuknya.   
“8 ditambah 9”  “tujublas” bocah 60 cm itu lagi-lagi membuat temannya gemas.
“10 tambah 9” mereka kembali menunduk bermain dengan jari-jarinya. Lalu berlomba menjawab dengan berteriak “19”. Kali ini Ujang yang mendapat tambahan poin.
15 + 7, poin untuk ujang. 16 + 9, Jonlay. 17 + 10 kembali ujang tercepat. Akhirnya sampai soal ke-9, skor sementara 4 untuk Jonlay , Alex 1, Ujang 4. Putri, Deli, Gamar, Arjun, Ikang dan Stember sama-sama telur besar. Dengan berat hati mereka menjadi pendukung di pertanyaan puncak.
“Inilah pertanyaan terakhir, soal cerita!” saya mulai mendramatisasi soal mirip berita gossip di Tipi. “Bilung, pergi mencari buah di hutan, dia mendapatkan 14  Gu’ Lehjin (durian) dan 14 Gu’ Gun (rambutan Hutan) ” saya diam sejenak, memperhatikan Ujang dan Jonlay mencondongkan kepalanya. Saya lanjutkan dengan suara berseru “berapakah total buah yang didapatkan Bilung?”
Mereka dengan panik mulai berhitung. Jonlay fokus pada jari dan tenggelam dalam hitungan 19, 20, 21, 22 sedikit lagi. Ujang masih di angka 14, 15, 16. Mataku secepat kilat kembali pada Jonlay. Gawat, ingusnya kembali nongol membentuk balon, semakin dekat semakin besar balonnya. 25, 26 dan “chussshh” balonnya meletus, konsentrasi Jonlay buyar, dia lupa sudah sampai angka berapa tadi. Saya setengah hidup menahan tawa, sekaligus iba melihatnya kembali pada hitungan pertama. Dengan mantap Ujang teriak “dua pulu delapan Pak Guru”
  ”Benar!!!, Pemenangnya adalah Uuujaaang” saya bersorak sambil mengangkat tangan Ujang lalu diikuti tepuk tangan meriah seluruh kelas, kecuali Jonlay yang baru sadar kalo pertandingan telah usai.
Sungguh hari yang menyedihkan untuk Jonlay, jika bukan karena ingus sialan itu, dia pasti sudah menjadi pemenang pada hari itu. Kelak, ketika Jonlay membaca tulisan ini, ia pasti akan berjanji untuk tidak ingusan lagi. Semangat Nak!

Long Lamcin, 16 februari 2016



2 Response to "Jonlay, siswa unik di kampung Long Lamcin"

  1. Unknown says:
    26 Mei 2016 pukul 23.44

    Hahahaha Jon lay, bolokang

  2. Unknown says:
    21 Juni 2016 pukul 11.44

    bolok pacilakai. haha

Posting Komentar

On SM-3T Mission Gallery

This gallery shows what did i do at Berau Regency during my mission as a young educator on behalf of Maju Bersama Mencerdaskan Indonesia. I am proud of being a witness of a real Indonesia.
karena pendidikan adalah hak segala bangsa