Lamcin Warriors

Lamcin Warriors

Di satu pagi yang berembun, kulihat beberapa ekor anjing keluar masuk sekolah melalui pintu kelas 1 (satu) yang tak terkunci. Malang sekali nasib sekolah tempat tugasku sebagai guru SM-3T ini. Hanya memliliki 3 lokal yang disekat menjadi 5 kelas dan satu kantor dengan papan kapur dan kaca jendela yang jebol di sana-sini. Belum pernah saya melihat kondisi sekolah separah ini di tanah kelahiranku, Palopo, Sulawesi Selatan. Rutinitas sekolah pada umumnya pun tak saya lihat di sini. Tak ada upacara bendera pada hari senin, tak ada Pramuka pada sabtu minggu dan sekalipun tak pernah ada yang namanya apel pagi. Belum lagi kondisi ruangan yang bernama “KANTOR”, sunyi dan sepi bagai pemakaman. Tak pernah ada rapat disana. Do not ask me about teacher and administration! Ah, apakah ini sekolah atau hanya bangunan kritis yang menjadi hotel mewah bagi kawanan anjing! Bagaimanapun juga di “hotel” inilah saya menemukan keceriaan, semangat, dan binar mata yang seolah berteriak “kami tak ingin menyerah pada keaadaan”.

Mereka adalah Lamcin Warriors, 9 siswa kelas 1 yang telah saya pegang selama beberapa bulan terkahir. Sebelumnya saya mengajar kelas 4. Jumlah mereka memang hanya 9 tapi itu sudah lebih banyak dari kelas yang lainnya. Kelas 2 yang hanya berjumlah 4 orang siswa atau kelas 6 yang hanya 3 orang murid. Kelas 1 menjadi kelas paling ramai di SD Negeri 012 Kelay, Kalimantan Timur. Penyumbang murid terbanyak dari total 31 untuk 6 kelas. 

Lamcin Warriors atau serdadu lamcin adalah sebutan yang saya berikan berdasarkan pengamatanku terhadap pola hidup mereka yang begitu keras setiap harinya sehingga tubuh mereka kekar dengan otot yang kuat-kuat. Meskipun rata-rata berusia 7 tahun, mereka sudah sangat terbiasa mengangkat air dari sungai dengan kontur jalan yang menanjak. Mencari dan mengangkat kayu bakar dari hutan yang jaraknya tidak dekat. Belum lagi dengan makanan dan minuman mereka yang terkadang saya tak percaya bahwa hal seperti itu ternyata bisa dikonsumsi, daging beruang contohnya atau air yang tidak dididihkan. Kerasnya hidup yang mereka hadapi membuatku banyak mensyukuri hidup dengan segala kemudahan yang selama ini kudapatkan. Jika Bukan Serdadu apa lagi kata yang tepat untuk menyebut mereka? 

***
Serdadu #1. Lamcin Warriors dipimpin oleh si pipi tembem berkulit putih, Alex. Dia sangat cinta dengan kelas satu sehingga sudah dua tahun bertahan di bangku yang sama. Kata guru-guru di sini, “Alex itu masi magang di kelas satu”. Baru tau kalau ternyata sekolah juga harus magang. Alex bukanlah sosok yang karismatik di kelasnya tapi “ditakuti”, tidak jarang dia terlibat perkelahian khas anak SD dengan murid perempuan. Anehnya dia selalu lebih dahulu melapor kepada guru dibanding lawannya. 
“Aku mau dijagur (baca: tonjok) Pak guru!!!” dia melapor dengan ekspresi cemas nyaris menangis sambil melipat-lipat jari tangannya. Ingus tipis di hidungnya membuatku merasa iba.
“Siapa yang mau jagur kamu Nak?” tanyaku prihatin.
“Si Putri, Pak Guru” jawabnya dengan nada pelan dan lambat.
“Hahaha… Putri?” Tawaku pecah karena tak menyangka kalu ternyata si putri yang lemah gemulai dan manja itu bisa membuat Alex lari terbirit-birit.
“Iyya Pak Guru, aku diginikan (sambil mengarahkan kepalan tangannya ke pipi)”
“Mana si Putri?” saya langsung bergerak mencari Putri, Ternyata Putri sudah berada di cengkraman Ibu Guru Rina, dia menangis tersedu-sedu. Kubawa dia kembali ke kelas 1, lalu saya interogasi.
“kenapa kamu Nak?”
Sambil menangis dan sesekali menarik ingusnya dia menjawab “aku takut Pak Guru, Mau dicakar si Alek”
“Haa! Kamu mau dicakar sama Alex?”
“Yes Sir”.
Waduh saya bingung dengan laporan mereka, biar kuperjelas sekali lagi. Laporan: Alex dijagur Putri, dan Putri dicakar Alex. Bukankah Alex yang seharusnya men-jagur dan Putri yang seharusnya men-cakar? Membingungkan! Tapi itulah anak-anak, penuh keajaiban.
Kasus perkelahiannya dengan Putri yang tak menyisakan dendam apa-apa itu hanyalah satu di antara laporan Alex tiap harinya. “Pag Guru, Si Ujang meludah di lantai” itu si Ujang langsung dapat hukum push up. “Pak Guru, Deli buang sampah dalam laci” itu Deli langsung dapat hukum membersihkan seluruh kelas. “Pak Guru, Arjun, makan dalam kelas” Arjun langsung kenyang, kenyang scot jump. “Pak Guru, ini…. Pak Guru itu…” Laporan Alex mengalir deras bagai Lumpur Lapindo, menenggelamkan seluruh kelas 1. Konsistensi Alex dalam melapor membuat pelanggaran-pelanggaran terus berkurang dan kelas semakin mudah dikendalikan. Dia menjadi pengawas yang ditakuti tapi kadang-kadang juga dapat laporan “Pak Guru, Alex tidak mandi” teriak Ikang yang mulai bosan terus-terus dilaporkan.
     
Serdadu #2, Stember, 7 tahun, kulit putih dengan rambut lurus yang berwarna kuning karena sengatan matahari. Dia rajin ke sekolah tapi jarang mandi. Rambutnya yang pirang alami itu selalu tersisir rapi merapat ke samping kiri. Bajunya yang kumal selalu terkancing rapi, rapat sampai di leher. Tapi sayang resleting celananya tak pernah terkunci. Meskipun res celana sudah rusak dia tetap pede memasukkan baju. Itu demi kerapian yang sering saya tekankan. Untung saja celana dalamnya selalu lebih panjang dari celana sekolah yang dia kenakan sehingga “burungnya” aman-aman saja. “kalian harus berpenampilan rapi, biar keren!”, kataku dalam suatu pertemuan saat pertama ditugaskan. “Baju di dalam, terkancing, rambut tersisir rapi dan pake wangi-wangian”. Lanjutku sambil menyentuh dan mengusap semua yang kukatakan. kepercayaan diriku sepertinya overdosis saat itu. Nyaris tak tau malu. Hebatnya, Stember ternyata terobsesi dengan gayaku, dia tak pernah mengutarakan kekagumannya tapi saya tau dari cara dia berpakaian, kera baju selalu terkancing rapat.

Baik di dalam maupun di luar sekolah Stember selalu menampakkan sikap yang karismatik. Pernah di satu pagi saat saya memulai kelas dengan story telling. Teman-temannya kurang memperhatikan saya di depan karena sedang meributkan sebuah pensil misterius yang tak tau siapa pemiliknya. “zzzzhhzzz…. Ennong ya” “…zzz... mm takumde’ we…” suara mereka sambar menyambar seperti lebah. Mereka berbicara dengan suara dalam yang seolah tak ingin ribut tapi tetap saja terdengar. Percakapan mereka yang menggunakan bahasa Dayak Punan itu sedikitpun tak saya pahami. Sesekali saya menghentikan cerita, menatap mereka dalam-dalam lalu kembali melanjutkan saat mereka diam. Namanya anak-anak, tak cukup semenit mereka kembali ribut. Tiba-tiba Stember langsung berdiri menyuruh temannya diam dan melepaskan tatapan tajam yang penuh ancaman.  Tak ada yang melawan, Stember murka. Ia mengagumkan dan langsung didapuk menjadi wakil ketua.

Serdadu #3, sang juara nyanyi, Ikang Fauzy. Tidak seperti Stember yang rajin ke sekolah, Ikang jarang sekolah sekaligus jarang mandi. Rambutnya acak-acakan dan tidak mengancing bajunya sampai di leher. Sangat kentara bahwa dia tidak terobsesi dengan gayaku. Dia sangat malas menulis tapi ngotot harus duduk di bangku paling depan. Jika kuberi tugas menulis Ikang pasti memenuhi bukunya dengan gambar-gambar yang tidak jelas, dan jika dipaksa menulis, dia akan menulis tapi dengan buku terbalik. Ah, kadang-kadang saya bingung harus meminta dengan cara apa agar dia mau menulis seperti teman-temannya. I am still thinking a good approach to encourage Ikang writing. I promise to myself that I will find the proper method for him before leaving this school. Bagaimanapun juga saya sangat menghargai dan mengagumi Ikang dengan kecerdasan musical yang ia miliki. Tak ada yang sebagus dia saat bernyanyi dan tak ada yang secepat dia dalam urusan menghapal lagu. Dia selalu menjadi orang pertama yang mengacungkan tangan dan berteriak “Aku Pak Guru!” pada saat kutanya siapa yang bisa nyanyi di depan. Giliran membaca, dia akan mencari-cari kesibukan dan berharap namanya tak disebutkan. “Next, Ikang!!!” Sini Nak, kamu tidak bisa lolos dari Pak Guru. Ayo baca!

Serdadu #4, Jon Lay, bocah 7 tahun dengan kecerdasan matematis yang luar biasa. Dia adalah siswa paling minimalis di kelas 1 sekaligus di sekolah. Dengan pipi tembem dan bentuk rahang yang meruncing kedepan, kedua bibirnya sulit dipersatukan. Mereka menempel pada satu mulut yang sama tapi tak pernah sejalan, menyedihkan! Sekali ia bermaksud mengungkapkan sesuatu maka garis wajahnya langsung membentuk senyum lebar yang memamerkan keompongan. Dengan bentuk seperti demikian itu maka tak diragukan lagi bahwa Jon Lay, dipanggil JONLAY menjadi siswa dengan senyum termurah seantero sekolah. 
Selain senyum abadi, wajah langkanya juga dianugerahi ingus abadi. Entah bagaimana penjelasan medisnya tapi ingus itu tak henti-hentinya nongol di ujung hidung mungilnya. Kadang-kadang cairan hijau muda itu mengintip di saat yang tidak tepat.
“Next Jonlay. Sini nak, giliran kamu membaca” dengan ramah saya memanggilnya untuk duduk di samping saya.
“Tunggu Pak Guru, aku bikin ini dulu” jawabnya dengan pandangan memohon sambil menunjuk beberapa baris tulisan. Kata “bikin” menjadi kata yang paling banyak artinya di kampung ini. “Aku mau bikin wasit” artinya saya mau menjadi wasit, “aku mau bikin lipat (dalam pertandingan takraw)” artinya saya mau smash salto. Dan masih banyak bikin-bikin yang lain.  
“Ok!” kutunggu dia, kuperhatikan keseriusannya menyelesaikan tulisan yang tanggung itu. Saking seriusnya, dia sudah tak peduli lagi dengan apapun, termasuk ingus yang mengalir hampir menyentuh bibir bawah. 
“Jonlay, Jonlay, Joooonnlaaayyy” kupanggil untuk memperingatkan dia bahwa ada serangan, tapi dia tak acuh, tenggelam dalam konsentrasi mengakhiri tulisan. Semakin panjang, mulai menggantung dan saya tak tahan lagi melihatnya. saya langsung membalik badan dan berteriak “Jonlay, keluar buang ingus. Sekarang!”. Dia kemudian berlari sambil tertawa. 
Jonlay kecil sungguh tak tertandingi dalam urusan hitung menghitung, setelah beberapa kali saya melakukan kompetisi sederhana seperti cerdas cermat di kelas 1, dia selalu menang telak bahkan terkadang nampak keputusasaan di wajah teman-temannya takkala Jonlay menyapu bersih soal matematika. Tapi urusan membaca dan menulis, dia masih belajar mengenal huruf. 

Serdadu #5, Ujang, Jagoan membaca dari sudut kiri belakang. Hal yang paling menarik dari dia saat pertama bertemu adalah namanya yang terdengar seperti nama orang Jawa Barat, Ujang. 
“Kamu orang jawa ya Nak?” tanyaku penasaran. 
“Ennong BeGuru” Artinya “Tidak Pak Guru” jawabnya dengan expresi malu dengan kedua tangan yang masuk dalam kantong celana sambil digoyang-goyangkan naik turun. Wajahnya menunduk, mata liar dan bibir bawahnya terus terus dia gigit dan sambar dengan lidah, seperti orang cemas berat. 
“tapi nama kamu kok Ujang?”
Tak ada lagi jawaban, dia menatapku kosong, lalu meringis tanda ingin segera kabur.
Ujang sangat mudah memahami pelajaran membaca, saat teman-temannya masih kesulitan menyambungkan 4 huruf yang dipenggal menjadi dua, konsonan vowel-konsonan vowel dia sudah lancar mengeja kata “Sekolah, kelapa, lemari” dan bahkan sudah paham membaca kata yang berakhiran Ng. “ini pisaNg, ini gunuNg, ini saruNg”. Kadang-kadang dia kelihatan bosan menunggu teman-temannya yang kesulitan memahami huruf. 
Ujang berbadan lebih tinggi dari semua teman-temannya di kelas 1, lebih putih, dan tidak terlalu banyak omong, tapi sedikit “melambai”. Dia lebih banyak menghabiska waktu bermainnya dengan teman perempuan daripada teman laki-laki. Dalam satu kesempatan, di satu sore yang gerimis dan dingin, saya bertemu dengan Ujang sedang berjalan dan menutup badannya dengan sebuah handuk biru yang mulai rapuh. Anehnya dalam handuk itu juga ada Linda, bocah 6 tahun yang tak mengenakan baju. “Aduhhhh Ujang, keluar kamu dari handuknya Linda. Pulang, sudah malam”. Dia cuman meringis lalu cepat-cepat berjalan memunggungi Linda yang ikut di belakangnya.
Gerakannya yang agak gemulai dan karakternya yang tidak banyak bicara menjadikan Ujang sosok yang sangat lucu ketika memainkan permainan yang umumnya dimainkan anak laki-laki seperti sepak bola, dan takraw. Dia butuh paling tidak 3 kali percobaan untuk bisa menendang bola, berkali-kali dimarahi oleh teman setimnya karena tak pernah kena saat menyundul takraw, belum lagi ketika ia berlari dengan gaya “Khas Ujang”, dada condong kedepan, dengan tangan yang berayun kaku dibelakang. Ah sungguh mati untuk bisa menahan tawa ketika melihat dia sedang bermain, ada-ada saja gerakannya yang kocak tapi sulit untuk digambarkan dengan kata-kata. Keunikan gerakannya menjadiakan dia pemain idola dan bintang lapanga setiap kali bermain. Jawara dalam kategori menghibur.  

Serdadu #6, Arjun. Kemampuan visualisasinya diatas rata-rata dan bercita-cita sederhana, ingin menjadi pa’le bakso (Baca: Abang tukang bakso). Kemampuan berimajinasi Arjun selalu membuatku takjub dan sangat kagum padanya. Pernah disatu kesempatan saya meminta seluruh kelas menggambar bebas, tentang apa saja dan Arjun menyuguhkan sebuah gambar yang penuh arti.
“Anak-anak, hari ini kita belajar menggambar, Ok!”
“Ok pak guru” mereka sangat senang dengan belajar seperti itu, seharusnya mereka berteriak “Horee” tapi di kampung ini tidak ada kata hore, mereka sangat asing dengan kata ajaib itu. “Ok” sudah cukup.
Setelah bebrapa menit, kuperhatikan Arjun masih mendongakan kepalanya keatas sambil menutup mata. Dia mematung dan segarispun belum terukir di kertasnya.
“Arjun, kamu ngapain Nak? Temanmu sudah mau selesai gambarnya” tapi dia tidak mengatakan apa-apa, tetap diam seolah-olah tidak mendengarku berbicara. Baiklah, kubiarkan saja dia, mungkin dia sedang meminta ilmu dari para dewa.  
Setelah semua selesai, gambar mereka kukumpulkan lalu setiap anak yang kupanggil namanya naik untuk menjelaskan padaku tentang gambar mereka. Di sini Arjun menjadi serdadu paling keren.  Gambarnya luar biasa. 
“Jun, ini gambar apa nak?” Tanyaku sambil mengangkat kertasnya.
“Gambar gunung pak guru” Ya hanya gunung tapi kalian jangan mengira gambar gunung yang ia buat itu seperti yang pernah kita buat dulu ketika masih SD, ada dua gunung, matahari di tengah, jalan kebawah dan persawahan di kanan kiri jalan. Bukan itu, sangat berbeda. Arjun mencoba menggambar pegunungan berdasarkan apa yang setiap hari ia lihat ketika terbangun dari tidurnya. 
“ini gambar pohon apa Jun?”
“ini pohon Manggris pak guru, ada orang memanjat, mau ambil madu. Ini dia sarang madunya pak guru” tangan arjun menunjuk setiap garis yang ada pada pohon itu.
“Terus Jun”
“Disini ada orang pegang singso pak guru, mereka tebang pohon tapi bukan pohon buah, ada monyet, babi, payau, sungai, bapak saya naik ketinting, buaya, ikan sapan” Arjun terus menerangkan setiap coretan yang ada di bukunya, tak satupun coretan di sana yang tak memiliki arti. Saya begitu kagum padanya dan tak menyangaka bahwa waktu yang ia gunakan untuk diam adalah moment berimajinasi untuk menghasilkan karya yang mampu menceritakan seluruh kondisi kampung Lamcin ini. 
Arjun yang begitu sulit memahami pelajaran membaca dan berhitung ternyata sangat hebat dalam pelajaran menggambar. Meskipun gambarnya jauh dari kata sempurna tapi sangat nampak usahanya untuk menceritakan semua yang ia saksikan dan alami dalam hidupnya melalui gambar itu. Semoga saja Arjun bisa menjadi seorang pelukis yang handal. Dia sungguh berbakat untuk itu.
Sayangnya, cita-cita Arjun tak setinggi yang kubayangkan. Dia tak ingin menjadi pelukis apalagi menjadi arsitek. Dia hanya ingin menjadi Pa’le’ Bakso (Abang tukang bakso). Memang tak seperti kebanyakan anak-anak di daerah perkotaan yang begitu akrab dengan kata-kata profesi seperti pilot, dokter, ilmuwan, tentara dan polisi. Di sini, tak ada siswaku yang ingin menjadi dokter, paling hebat menjadi guru, dan ibu bidan, padahal anak laki-laki. Ah, luar biasa sekali mereka ini. 
Keinginan Arjun untuk menjadi pa’le bakso bermula ketika di kampung ini diadakan perayaan natal gabungan bersama 7 kampung yang berada di sepanjang hulu sungai Kelay. Pada saat itu, banyak pedagang dari kota Tanjung Redeb yang berdatangan dan salah satunya adalah tukang bakso. Di situ Arjun pernah sekali mencoba makanan bernama bakso itu dan ia sangat senang dan akhirnya bercita-cita untuk menjadi tukang bakso juga. Sungguh sangat sederhana keinginan itu buatku tapi setelah kupikir-pikir, itu memang masuk akal dan sangat istimewa bagi dia. Bukankah yang menjadikan sesuatu itu istimewa karena sangat jarang kita melihatnya atau sangat susah kita memilikinya? Bagi Arjun, berburu adalah biasa saja, menjadi penakluk beruang di hutan belantara adalah biasa saja, mencari emas adalah biasa saja tapi bakso adalah hal yang sangat luar biasa, apa lagi sampe bisa membuat dan menjualnya akan sangat istimewa. Ok lah kalo begitu Jun, Mudah-mudahan kamu sukses meraih apa yang kau inginkan, Nak. 
Serdadu #7, Olivia Putri. Meskipun pernah terlibat pertengkaran hebat dengan Alex, Putri tak ragu untuk meminta maaf terlebih dahulu lalu kemudian bersikap ramah kepada Alex, juga kepada seluruh teman sekelasnya. Putri berbadan kurus dengan rambut yang panjang dan lurus, selalu berpakaian rapi dan tak pernah melupakan handuk kecilnya ketika ke sekolah. “kata Mama aku, debu kapur itu tidak baik untuk kesehatan pak guru”, ia menjelaskan dengan mantap ketika kutanya alasan dia selalu membawa handuk kecilnya. Soal kerapian memang Putri juaranya, dia bahkan menjadi satu-satunya Serdadu Lamcin yang tak pernah mengenakan sendal ke sekolah, selalu sepatu hitam. Belum lagi dengan dasi dan topi yang memberikan gambaran potret anak sekolah modern. Hadirnya Putri dengan penampilan sedemikian itu setiap harinya menjadi satu bukti bahwa orang tua berperan sangat besar dalam membentuk buah hatinya. 
Ayah Putri adalah seorang gembala jemaat GKII (Gereja Kemah Injil Indonesia), Pdt. Rustam dan ibunya adalah seorang guru PAUD. Mereka memang bukan penduduk asli kampung ini tapi sudah 10 tahun menetap di Lamcin sejak pertama kali pendeta Rustam menjadi pemimpin jemaat di sini. Tak diragukan lagi bahwa pengaruh keluarganya membuat Putri tampil berbeda dengan anak-anak lain. Tapi dia bukanlah sosok anak yang suka menjauhi teman-temannya ataupun sebaliknya. Mereka melebur menjadi satu seolah tak ada pembeda diantara mereka. Terlebih lagi ayah Putri yang pendeta itu adalah orang suku dayak punan juga. 
Sejak awal sampai pada hari ini, gadis kecil berkulit gelap itu menjadi penerjemah yang handal buatku. Dia begitu fasih berbahasa Indonesia sekaligus berbahasa dayak punan. Dia adalah seorang guru bahasaku. Sepulang sekolah atau sedang bersantai menonton orang bermain voly, kami sering barmain-main dan dia mengajariku beberapa kata dan kalimat yang ingin kuketahui. 
“Put, kalau pak guru mau tanyakan nama, bilang apa?”
“Non nyiang ke’?” jawabnya dengan lancar.
“Non yang kee’?” Kucoba mengulangi.
“Bukan begitu Pak Guru, harus ada nadanya, Non Nyiang Ke’?” Sekali lagi dia mengulangi dengan intonasi dan penekanan yang mantap. Ya inilah bahasa dayak punan, pengucapannya harus dengan intonasi yang pas karena salah penekanan akan salah arti atau tidak punya arti sama sekali.
Putri telah mengajarkanku banyak hal tapi saya belum berani memanggilnya ibu guru sebagaimana dia tanpa ragu memanggilku pak guru. Padahal bisa jadi saya mendapat pelajaran lebih banyak dari dia dibandingkan pelajaran yang dia dapatkan dari saya. 

#8, Gamar. Gadis rimba yang super pemalu. Saya menyebutnya gadis rimba karena dia satu-satunya muridku di kelas satu yang masih banyak menghabiskan waktu di hutan. Gamar lebih sering tinggal dirumah kakek neneknya dan ikut mereka ke hutan sampai berminggu-minggu. Rambut  Gamar yang panjang dan berombak menegaskan kesan “tak terurus”-nya. Kemana-mana agas, sejenis nyamuk berukuran kecil yang sangat sakit dan gatal ketika menggigit selalu saja berkeliaran di sekitaran Gamar. Hal ini cukup mengherankan karena dia  sendiri tak pernah kelihatan risih dengan kehadiran teman-teman kecilnya itu, entah agas itu tak menggigitnya atau mungkin juga dia sudah kebal dengan gigitan itu.
Kehidupan Gamar yang gemar tinggal di hutan menyebabkan ia tumbuh menjadi sosok yang sangat pemalu. Ia begitu sulit diajak berkomunikasi karena kesulitan berbahasa Indonesia. Dalam hal ini, Peran Putri sangat dibutuhkan. Selain itu anak ini juga memiliki sebuah expresi yang sangat unik jika didekati, dia akan menggeliat-geliat seperti cacing tanah yang diletakkan diatas aspal panas, meliuk-liuk, menutup wajahnya, menutup mulutnya, dan melepaskan padangan tak berdaya. Satu ketika saya menghampiri dia di bangkunya karena ia tak berani naik seperti anak-anak yang lain saat kupanggil membaca. Saat duduk di sampingnya, dia mulai meliuk-liuk, tertawa aneh memamerkan deretan giginya yang baru belajar tumbuh setelah sekian lama ompong, malu bukan main, terus menjauh sampai akhirnya terjatuh dari bangku. Saya merasa bersalah dan kasihan melihatnya tapi ia malah tertawa lalu diikui oleh tawa murid yang lain. Ah sudahlah saya juga ikut tertawa. 
Walaupun pemalu dan sediki “aneh”, gadis rimba ini adalah salah satu jagoan membaca, jika Ujang adalah si jago baca dari sudut kiri belakang, maka gamar adalah jago baca dari sudut kanan belakang. Selain membacanya yang bagus (meskipun dengan suara yang sangat pelan), Gamar adalah jagoan menulis. Tak ada siswa di kelas 1 sampai kelas 4 yang tulisannya lebih rapi dibandingkan tulisan Gamar. Kecil sama kecil dan besar sama besar. Setiap hurufnya terukir dengan tegas dan jelas, mudah dibaca dan enak dipandang. Dia bahkan mengisi setiap lembar bukunya dengan teratur, tidak melompat-lompat. Dari Gamar, saya mengambil sebuah pelajaran baru bahwa “you don’t have to be a good speaker to be a good reader and you don’t need to be cute and beautiful to create good writing”. Terimakasih nak, you teach me well.

#9, Mardelila, gadis cantik dengan bando pink di kepala. Seperti kebanyakan anak-anak suku dayak, kulit Deli itu putih bersih, mata sipit dan rambutnya lurus. Kecantikan Deli membuatnya sangat dikagumi murid laki-laki dikelasnya. Just because they are very young doesn’t mean that they do not understand beauty and dating. They do deal with that. Seperti anak-anak lain yang senang bermain di sungai, basah-basahan lalu kemudian kejar-kejaran sampai akhirnya pakaian mereka kering di badan, Deli juga melakukan hal yang sama tapi kecantikannya tidak pudar oleh keringat dan debu. Jika ia memasuki kelas sangat jelas bahwa aura wajah Alex, Ujang, Stember, Jonlay, dan Arjun tiba-tiba berubah dan memancarkan aura persaingan untuk menarik perhatian Deli. Pernah satu kali Deli datang telambat lalu saya berikan hukuman sesuai kesepakatan bersama yaitu hukuman push up sebanyak menit keterlambatan. Belum lagi si Deli memulai Push Up Ujang tiba- tiba saja maju kedepan lalu meminta untuk dihukum juga. 
“Deli, kita masuk jam berapa nak?”
“Hmmm… lupa pak guru” jawabnya malu-malu sambil melepaskan tatapan terdakwa sampai kerutan di pinggir matanya kelihatan. 
“Ada yang tau?” tanyaku berpaling pada seluruh kelas yang ternyata fokus pada kami.
“Jam 7 lewat 45 pak guru” jawab beberapa orang kompak.
“Good, sekarang sudah jam?” tidak ada yang menjawab lalu kujawab sendiri “jam 7 lewat 55, berarti Deli terlambat 10 menit”
Saya kembali menatap Deli dan menanyakan kesiapannya untuk melakukan push up 10 kali. 
“Pak Guru, aku juga mau dihukum” kata Ujang yang tiba-tiba berada di dekat Deli, seolah-olah dia ingin melindungi sang putri raja. 
“Attaiwa, (expresi spontan yang berarti waduh) kamu mau dihukum juga Jang? Kamu kan tidak terlambat”
“Biar aja pak guru, aku mau temani Deli” jawabnya yakin.
“Kalo begitu kamu saya hukum lari keliling lapangan lalu membersihkan seluruh halaman sekolah”
“Ennong pak guru, hukum push up saja kaya Deli”
Tanpa mau berpanjang lebar, kuaminkan saja keinginan Ujang yang ingin tampil sebagai pahlawan di pagi itu. 
“Aku juga mau pak guru” tariak Stember seperti memohon. Mataku melotot keheranan.
“Aku juga pak guru, aku pak guru, pak guru” bergantian permintaan itu datang dari Alex, Arjun dan Jonlay. Attaiwa, apa-apaan ini? kenapa mereka tiba-tiba mau jadi pahlawan semua. Pesona Deli sungguh membutakan mereka. Ah, tapi biarlah mungkin saja mereka benar-benar ingin bertenggang rasa pada temannya. Bagus juga kupikir.  
 “Ok, kalian semua silahkan maju kedepan, berbaris ambil posisi Push up, yang lain berhitung sama-sama sampai sepuluh”
Mereka kemudian berbaris, tapi karena kondisi ruangan yang cukup sempit maka 5 pahlawan itu berbaris 2 langkah di belakang sang putri. Kulihat wajah mereka begitu bahagia berada di sana bisa mendampingi pujaan hati mereka dalam hal yang sulit sekalipun. Romantis juga anak-anak ini.
“well, sekarang kita hitung sama-sama ya, 1, 2, 3 Mulai” serempak kami memeberikan tanda dimulainya hukuman. 
“Pak guru, lihat mereka” kata Ikang dengan berbisik dan memberi kode. Kupalingkan pandanganku pada para terhukum dan yang terjadi disana sungguh pemandangan yang membuatku sangat geli. 5 bocah itu ternyata sedang sibuk berdesak-desakan mengambil posisi yang pas untuk menyaksikan isi rok Deli yang sedang dalam posisi Push up. Arrrgghhhhh tidaaaaakkkkk. 
  “Stop!!! Deli berdiri, kembali ke bangkumu, nak” sementara Deli kembali ke bangkunya dengan tatapan bingung apa yang sedang tejadi, saya membawa 5 pahlawan premature itu keluar kelas dan memberikan hukuman lari keliling lapangan kemudian membersihkan seluruh halaman sekolah. Kapok!
Selain memikat hati rekan rekannya, Deli juga berhasil memikat hatiku. Itu karena dia sangat pandai membaca, dialah juara 1 membaca. Jika Gamar dan Ujang adalah juara membaca di kelas 1 maka Deli adalah juara diantara mereka berdua. Sungguh lancar dan tidak mengeja lagi. Selain itu, dia juga rajin mandi dan mengenakan bando pink setiap ke sekolah. Tidak peduli pakeannya kumal atau tak memakai alas kaki, bando itu adalah hal yang wajib bagi dia. 
Hukuman push up memang sama sekali bukan untuk membuat anak-anak di kampung ini jera, apalagi kalo cuman 10 kali, “sangat enteng itu pak guru” kata mereka.  Saya tetap memberikan hukuman ini hanya untuk yang datang terlambat atau keluar masuk kelas tanpa izin. Bukan bentuk hukumannya pula yang ingin kuajarkan tapi konsistensi sangsi bahwa setiap pelanggaran akan ada ganjarannya, dan dari situ aku mencatat setiap pelanggaran yang kemudian diumumkan setiap satu minggu. Dan begitu pula dengan catatan prestasi yang mereka buat. Dalam kasus Deli, Kecantikan memang kadang menjadi petaka, apalagi mereka masih anak-anak, sedang masa lucu-lucunya.

***
Lamcin Warriors adalah 9 anak luar biasa yang lucu, polos, cerdas dan penuh semangat. Kepolosan mereka adalah hiburan yang tak tertandingi oleh apapun buatku, ada-ada saja tingkah mereka yang membuatku terhibur bukan main bahkan tertawa sampai puas. Kecerdasan mereka yang beragam adalah puzzle kehidupan yang mengisi keosongan jiwaku. Semangat dan keceriaan mereka adalah pelita yang senantiasa menerangi jalanku menjalani tugas mulia untuk negri. 
Aku sangat beruntung telah berjumpa dan menghabiskan 1 tahun masa pengabdian bersama mereka. Alex, Stember, Ikang, Jonlay, Ujang, Arjun, Putri, Gamar, dan Deli adalah, murid, sahabat, dan guruku. Betul mereka memiliki kekurangan tapi bukankankah sebagai tenaga pendidik kita harus menemukan potensi mereka kemudian menghargai itu sebagai sebuah keistimewaan. Tidak ada anak yang lemah dalam segala hal, ataupun unggul dalam segala hal, yang perlu kita lakukan adalah menghargai apa yang mereka miliki dan membantu menyelesaikan kekurangan-kekurangan mereka. 
Menjadi tenaga pendidik melalui program SM-3T ini telah membawaku jauh meninggalkan kampung halaman, keluar dari zona nyaman lalu menemui hal-hal baru yang mengajariku tentang kehidupan. Perjumpaanku dengan Lamcin Warriors adalah salah satunya. 
Long Lamcin, 16 April 2016
Saddang Husain 

0 Response to "Lamcin Warriors "

Posting Komentar

On SM-3T Mission Gallery

This gallery shows what did i do at Berau Regency during my mission as a young educator on behalf of Maju Bersama Mencerdaskan Indonesia. I am proud of being a witness of a real Indonesia.
karena pendidikan adalah hak segala bangsa