Satu Duka menjadi Guru SM-3T

Menyalahkan Keadaan



6 oktober 20015 beberapa kali aku terbangun karena hawa dingin yang menembus jaket tebal dan selimut panjang yang membungkus badanku. Pukul 2 dini hari aku terjaga, terdengar gemericik air sungai, diikuti oleh nyanyian binatang malam yang merdu menghibur semesta. Ada juga suara dedaunan yang saling bertabrakan karena angin yang berhembus menambah dingin di pagi yang gelap itu. Aku berdiri dengan perlahan, menyeret selimut melangkah menuju ke jendela. Kurapatkan mataku pada kaca jendela sambil sedikit menarik kain horden biru yang baru terpasang 2 hari yang lalu. Tak ada siapa-siapa di luar sana, kawanan anjing yang biasanya tidur di tengah jalan depan rumah juga memilih memojok di kolong rumah Pak kepala kampung. Sepertinya mereka ikut merasakan siksaan dingin di hari itu. Tulangku terasa sangat kaku, persendian seolah beku dan tenggorokan kering, kembali aku menuju ke tempat tidur yang hanya beralaskan karpet plastik berbantal lengan. 1 jam kemudian, kembali aku terbangun karena dingin yang semakin menyengat. Aku hanya meraba-raba mencari Hp untuk melihat jam, berharap hari sudah benar-benar pagi. Kulipat badanku lebih kecil agar terasa lebih hangat, dan akhirnya kembali aku tertidur.

Beberapa saat kemudian sesuatu terjadi dan aku tak yakin itu adalah mimpi, Aku melihat seseorang berjalan mendekat, membawakan selimut tebal, bantal empuk dan sebuah bantal guling yang panjang. Ia tersenyum, mengusap wajahku dengan lembut lalu mengacak-acak rambutku dengan penuh kasih sayang. Aku ingin berbicara padanya tapi tak satu pun kata yang berhasil ucapkan, rahangku terasa kaku. Bahkan tanganku tak mampu bergerak untuk meraih tangannya. Dia cantik, berkerudung dan memakai kaca mata. Garis wajahnya, kerutan-kerutan dan plek hitam itu menandakan ia semakin menua. Aku mengenalnya,ia adalah ibu. Aku sangat merindukan ibu, sudah lama aku ingin memeluknya, bercerita padanya tentang perjuanganku di kampung orang. Tapi aku tak bisa berkata apa-apa, dan ia juga tidak. Hanya senyum dan belaian itu, lalu ia pergi meninggalkan aku dengan kehangatan baru. Aku terbangun, memeluk lutut dalam selimut dan mengucurkan air mata sampai pagi menjelang.
           
Setelah mandi dan sarapan 2 potong roti, aku berjalan kesekolah dengan perasaan yang kurang enak. Kepala terasa berat dan sedikit pusing. Anak-anak sudah menunggu di halaman sekolah, meminta bola takraw sebelum jam pelajaran di mulai. Kuberikan bola yang mereka minta dan aku duduk dalam kelas seorang diri sambil menahan kepala yang semakin terasa berat. Dalam keadaan seperti ini, aku selalu merasa dunia sangat menjengkelkan dan kesalahan sedikit saja bisa memicu kemarahan besar. Ada lagi yang paling tidak enak saat kesehatanku terganggu, pikiranku bekerja lebih cepat ke arah yang negative dan pesimis, menghubungkan banyak hal yang seharusnya tidak difiikirkan lalu menarik kesimpulan bahwa dunia sungguh mencampakanku.

***
            Pelajaran pertama adalah Bahasa Indonesia, aku langsung benci kepada kepala sekolah yang jarang sekali datang untuk menunaikan tugasnya. Buku-buku sangat kurang, aku membutuhkan 13 eksamplar buku pelajaran Bahasa Indonesia kelas 6 tapi yang ada cuman 5, kulirik buku kelas 5 untuk pelajaran yang sama tapi jumlahnya juga tidak jauh beda. Akhirnya buku kelas 4 lagi yang harus aku gunakan untuk mengajar kelas 4,5 dan 6. Setelah menarik buku-buku cetak itu dari lemari yang pintunya menghasilkan suara sumbang saat dibuka atau ditutup, kebencianku menular kapada para sisiwa. Bagaimana tidak, nyaris semua buku cetak itu kehilangn sampul depan, hanya tulisan pada tulang buku yang membuatnya bisa dikenali. “arrgh, little busters!” umpatku dalam hati.
            Seprti biasa, kelas diawali dengan warming up dan pembacaan “rule and regulation” yang berisi:
1.      There is no Bahasa Punan in the class. Only English and Bahasa.
2.      Nobody can enter or exit the class without permission.
3.      Nobody spit on the floor.
Serempak para siswa berteriak “yes,yes, ready!” sesaat setelah saya membaca dan menanyakan “ready?”. Pelajaran pun di mulai dan kebencianku semakin merambah kemana-mana saat Yoses (kelas IV) dan Jeki (V) saling tuduh soal bau tai anjing. Yoses menunjuk Jeki yang telah membawa “racun” itu kedalam kelas dan Jeki tak menerima. Aksi saling tuduh itu berubah menjadi percekcokan yang melibatkan seluruh kelas. Yoses menuduh Jeki, Jeki menuduh balik, tak terima, Yoses mengatakan itu pasti orang yang duduk bersebelahan dengan Jeki. Naas, sebuah pulpen langsung mendarat di kepala Yoses karena Yaret (VI) teringgung dengan perkataannya. Nopel (IV) merasa terganggu dengan keributan itu dan langsung memukul meja. Akhirnya Welden (VI), Amos (VI), Juli (V), Dion (V) dan yang lain ikut marah satu sama lain. Keributan pun tak terhindarkan. Mereka saling tunjuk dan ngomel dalam bahasa punan, bahasa daerah mereka yang mirip bahasa Thailand, bahasa yang sedikitpun tak bisa kupahami. See? They break the rule number one, “there is no bahasa punan in the class!” What can I do now? Punish them? Let them fight? Or going out of the class? None of them! Aku melerai mereka satu persatu lalu kemudian meminta Herlina (IV) mengambil sapu dan menyuruh seluruh kelas keluar untuk melihat sepatu mereka masing-masing tanpa harus mengontrol satu sama lain. Herlina menyapu bawah bangku setelah itu aku persilahkan semua kembali kekelas. Entah siapa pelakunya, tapi itu tidak penting, intinya bau itu sudah hilang.

Kejadian itu sontak membuatku benci kepada semua guru-guru local yang tak kunjung datang setelah meninggalkan aku dan dua guru lainnya selama lebih dari satu bulan. Bahkan ada yang sudah 2 bulan. Ada 6 orang guru yang telah pergi dengan janji akan kembali setelah paling lama 1 minggu saja. “Hell for them all. They don’t think how difficult we are. They take high salary from government, twice of mine, but they leave their duty, their job. They don’t deserve to be teachers. If they were here we would teach each class well, educate the students and consume the salary in peace”. Bukankah kebencianku pada mereka beralasan? Baru kali ini aku mengumpat dan mengeluhkan keadaan kawan, sumpah aku malu mengatakannya “aku sakit dan tak seorang pun menanyakan keadaanku” that’s all.

“Tengng Tengng Tengng ten ten ten ten tengngng”. Aku benci suara lonceng itu. Belasan tahun lalu saat aku masih duduk di bangku SD, bukan kaleng yang dipukul dengan besi untuk memanggil para siswa setelah jam istirahat tapi bel. Bel yang bersuara lebih merdu, tidak membutuhkan tenaga untuk membunyikannya, hanya menekan tombol dan suara keluar dari pengeras suara yang terpasang dengan gagah di sudut bangunan kantor. Di sini, suara itu nyaris memecahkan kepalaku yang tak kunjung reda. “argh sial!”. Setelah menunggu selama beberapa menit, semua siswa sudah duduk ditempat mereka masing-masing, bingung melihatku yang tiba-tiba berwajah dongkol dan tak mengucapkan apa-apa. Kemarin, mereka adalah sahabat-sahabat kecilku, manis, active, creative dan cerdas tapi sekarang mereka semua penjahat kelas teri. Kumal, nakal, brutal dan tumpul aku benci mereka, juga pada orang tua mereka semua. Mereka begini pasti karena didikan orang tua dan lingkungan mereka. Sekarang, nyaris tak ada yang tidak kupersalahkan. Mungkin yang terakhir ini kurang beralasan tapi saya memikirkannya demikian dan itu sudah final.  

***
Kepalaku terasa semakin berat, suhu badan memanas dan perasaanku sangat dingin, aku menggigil dan tak seorangpun peduli. Aku membaringkan badan dalam kamar berguling kanan kiri mencari posisi yang paling pas namun tak kunjung dapat. Ingin rasanya aku menelpon orang tua dan orang-orang terkasih untuk menyampaikan keluh kesahku tapi itu justru memancing kebencianku pada orang lain. Tak ada jaringan! “oh no!” kenapa dinas mengirimku ketempat seperti ini, padahal banyak teman-teman yang dengan status dan tugas yang sama tapi mendapatkan tempat dengan pelayanan yang sangat jauh berbeda. “what the hell. It’s not fair, I hate this life”. Aku terus megumpat mencari-cari kesaahan orang lain,  memikirkan yang tidak perlu dan akhirnya terlelap hingga sore hari.

Badanku bergetar, tidak diragukan lagi pasti aku kelaparan. Di dapur tak ada yang bisa dimakan meskipun banyak yang bisa diolah untuk menjadi makanan. “Mi instan menjadi pilihan terbaik”, pikirku. Hanya beberapa menit saja mi instan dengan irisan lombok biji yang banyak sudah siap santap bersama dengan segelas susu putih. Di pintu belakang, angin bertiup dengan perlahan, menyejukkan tubuhku yang berkeringat kecil karna kepedisan, kusandarkan tubuh di dinding sambil menatap deretan pohon yang hijau dengan selimut daun yang sangat rapat. Sedikit demi sedikit susu putih itu terisap kedalam mulutku. Sambil menikmati itu aku berpikir dan menyadari betapa bodohnya aku telah menyiksa diri sendiri dengan pikiran-pikiran yang tidak baik. Untunglah aku hanya bermain dalam pikiranku sendiri sehingga tak melukai hati siapa-siapa. Aku tak mesti meminta maaf pada seorangpun bahkan keluhanku mungkin ada benarnya juga. Ya sudahlah, beginilah nasib perantau, bukan sakit yang menyiksa, tapi kau tidak punya orang yang tepat untuk berbagi.


Long lamcin, 7 oktober 2015

Ketika Bocah Dayak Punan Mendongeng pada guru SM-3T nya

DION BERCERITA LAGI


            Dion adalah siswa kelas 5 yang selalu membuat kejuatan. Baik di sekolah atau sedang bermain bersama, Ia selalu menceritakan kisah-kisah yang “tak masuk akal”. Saat sedang duduk termenung sambil menunggu masakan, tiba-tiba ia berucap “Pak guru, jangan bilang-bilang ya, saya ini sudah bergabung dengan sebuah organisasi setan”. Saya sangat kaget dan langsung menanyakan bagaimana bisa. Ia kemudian melanjutkan dengan tertawaa-tawa kecil, dan malu-malu khas bocah SD.

“Sebenarnya saya adalah anak kedua dari salah satu iblis di sebuah kerajaan setan. Awalnya saya bermimpi, dan dalam mimpi itu saya telah menandatangani sebuah kontrak yang dibawa oleh seorang penyihir wanita. Kontrak itu mengatakan bahwa saya akan diberikan sebuah kekuatan yang sangat dahsyat, dengan syarat saya harus menyelamatkan panglima mereka yang sedang ditawan oleh sekelompok musuh di Luar negeri”.

Dia berhenti sejenak sambil tertawa bahagia melihat kebengongan saya yang tak percaya seorang bocah ingusan mampu bercerita sebagus itu, entah datang darimana imajinasi yang liar itu, apalagi kondisi di kampung ini, jangankan menonton bioskop yang sering memutar film horror, Tv saja sangat susah ditemukan mengingat listrik yang hanya hidup kalau matahari sedang sangat terik, itupun tidak mampu menghidupkan TV. Kemudian saya menyadari bahwa anak ini memiliki kemampuan yang sangat unik dan mengagumkan. Dia satu-satunya siswa saya yang mampu bebrahasa Indonesia dengan lancar. Yang lain masi Punan.

“terus? Terus? Bagaimana selanjutnya?” tanyaku penasaran.

“Saat bagun saya benar-benar memiliki kekuatan yang sangat dahsyat itu, saya mampu mengeluarkan api dari mata dan mengangkat benda apapun yang saya inginkan. Bahkan di tempat tidur itu sudah ada sebilah pedang yang sangat cantik sekali” Dia melanjutkan dengan expresi dan intonasi yang benar-benar pas!
Saya bengong dan menganga nyaris meneteskan air liur.

Dia melanjutkan. “keesokan harinya, di saat malam sangat gelap, bulan tak berachaya dan bintang pun tertutup oleh awan, saya didatangi seorang kakek-kakek yang sangat tuuuuuaaaa sekali, dengan wajah yang terus menunduk, dan memakai penutup kepala dari kain yang juga adalah bajunya. Dia mendekat dan memegang tangan saya, tiba-tiba saya langsung berada di luar negeri”

“di Negara mana?”

“hmmm…. Hehehe, bohong saya pak Guru”

“Waduh, kamu bohong? jadi cerita ini semua cuman bohong-bohong?” Padahal, tanpa dia bilang pun saya juga tau kalo dia cuman mengarang, tapi cara dia bercerita seolah-olah dia telah membacanya dari buku, dan itu sangat amazing buat saya.

Setelah mengatakan bohong itu dia sepertinya kehilangan lanjutan ceritanya dan saya juga langsung panik karena nasi telah mengeluarkan aroma hangus yang parah. Akhirnya kisah itu terhenti, beberapa kali saya memintanya untuk menuliskan tapi selalu dia mengatakan tidak bisa. Keesokan harinya dia datang lagi setelah pulang sekolah dan membawa kalimat sepotong-sepotong yang sangat imajinatif.
Saya sedang duduk memasak air menggunakan dapur kayu, dia datang dan duduk didekat saya berkata tanpa ditanya,
“pak guru, saya baru-baru ini sudah memangsa seekor beruang”
Dalam hati saya oh pasti di rumahnya sedang ada beruang hasil berburu bapak dan kakanya.

“Masa’ Dion? Di mana? Kapan?” Tanyaku memancing seolah percaya dengan kata-katanya.

“Tadi pak guru, pas pulang sekolah saya ke sungai mau beol, tiba-tiba saya diserang oleh seekor beruang yang besaaaaarrrr sekali. Mendadak, saya langsung menunduk dan kuku-kuku saya memanjang tajam dan kulit saya dipenuhi oleh bulu. Gigi saya langsung bertaring dan tanpa sadar saya langsung menjadi seekor singa yang saaaaaaangat besar”

Saya langsung terkejut dan menerka-nerka pasti anak ini baru saja membaca cerita yang baru. Tapi kisah yang mana ya? Tidak mungkin dia membaca novel serial Harry Potter atau serial twilight, karena siapa yang bisa punya buku-buku seperti itu di tempat ini. Di daerah perkotaan saja yang akses buku itu mudah, belum tentu ada yang mau baca. Pun kalo ada yang membaca belum tentu bisa bercerita sebagus Dion dan mengkontekstualisasikannya dengan kondisi kampung. Kalo begitu dia dapat darimana cerita-cerita omong kosong itu. Ah sudahlah saya nikmati saja.

“Kamu jadi singa Dion?” saya berpura-pura memastikan dengan ekspresi takjub..

“ia Pak Guru jadi selain kekuatan bisa mengeluarkan api dan mampu mengangkat segalanya, ternyata saya juga bisa menjadi seekor singa besar pada saat saya dalam posisi terserang musuh. Dan ini semua terjadi setelah saya terbangun dari mimpi pada hari itu” Dia berekspresi seolah ingin prihatin dengan kondisinya yang tidak normal itu tapi tertutupi oleh tertawa-tawa geli, mungkin karena ia sadar dengan cerita dongengnya sendiri.
Buseeeetttt!!! Anak ini gila, dia sepertinya ingin melanjutkan kisah kemarin, pasti sudah membaca kelanjutannya karena kemarin dia lupa. Baiklah saya mau lihat sampai dimana dia mampu bercerita.

“mana beruang yang kau mangsa itu dion?”

“saya makan dagingnya sampai habis dan meminum semua darahnya, tak ada yang boleh melihat perubahan saya pak guru, karena itu adalah salah satu janji yang telah saya sepakati dengan penyihir tua yang memberikan saya kekuatan.”

“Coba kamu berubah jadi singa biar Pak Guru percaya” saya menguji dia

“oh jangan, itu tidak boleh, pak guru adalah orang baik dan saya tidak mungkin memangsa pak guru, bahkan saya punya kewajiban menjaga orang yang baik dari gangguan binatang buas dan ancama para iblis jahat”

“Bagaiman kalau saya menyerangmu sekarang juga, apakah kamu akan berubah menjadi singa?”

“Ya tergantung, kalau pak guru bebar-benar ingin melukai saya, pasti saya berubah, tapi kalo hanya sekedar menguji, saya tidak akan berubah apa-apa.”

Jawabannya sangat diplomatis dan itu sepertinya mustahil untuk anak kelas 5.
“saya sudah memangsa banyak binatang buas pak guru, pernah saya berkelahi dengan kura-kura raksasa, ikan yang sangat besar, buaya, dan lebah-lebah yang saaaangat banyak. Belum ada yang berhasil mengalahkan saya. Saya menjaga ketentraman kampung ini tapi tidak ada yang tau, dan saya memang harus merahasiakannya”

“Terus kenapa kamu menceritakannya sama saya?”
senyum tengiknya muncul dan dia kehabisan kata tak bisa memberi alasan. Seharusnya saya tidak memberi pertanyaan itu

“hehe… saya cuman main-main pak guru”

Saya tidak mengatakan apa-apa setelah itu, menunggu jawaban dan berusaha mencari kata yang tepat agar ceritanya bisa bersambung. Kami sama-sama diam sulit untuk memulai. Setelah beberapa lama dalam diam, Dion benar-benar tidak bisa melanjutkan ceritanya lagi bahkan setelah saya mengulangi ceritanya dari awal dengan harapan dia bisa melanjutkan, tapi nihil. Saya merasa kecewa pada diri sendiri karena telah memperlihatkan bahwa saya tahu ceritanya cuman omong kosong dan dia juga terkepung rasa malu karena ketahuan tak bisa memberi alasan yang tepat. Dia Blunder! Saya juga Blunder.

“terus apa lagi Dion?” tanyaku memecah sunyi.

 “ennong” artinya tidak dalam bahasa Indonesia.

Dia tidak melanjutkan ceritanya meskipun sudah saya pancing beberapa kali dan akhirnya pulang lagi. Dia gagal menyelesaikan kisahnya, saya juga gagal menjadi pendengar yang baik. Ya sudahlah, kalau ada kesempatan lagi saya janji akan membiarkannya terus bercerita sampai habis. Biar dia puas saya juga lega. Tapi kesempatan yang saya tunggu-tunggu itu tak kunjung datang sampai berminggu-minggu.

***
Pada sabtu siang, hari yang memang dikhususkan untuk berburu atau mencari ikan oleh seluruh warga kampung, saya dan pak Ahmad yang juga guru 3T, mendapat ajakan dari Pak Maret, Guru Lokal yang tak lain adalah kakanya Dion. Ceritanya, kami pergi kesebuah anak sungai yang lumayan jauh jaraknya dari sekolah menggunakan perahu milik pak Maret. Saya, Pak Ahmad dan Dion menjadi penumpang, duduk manis dan tenang. Sedangkan Pak Maret, sibuk bergerak kanan kiri mengarahkan baling-baling kecil sebagai juru mudi. Satu orang lagi yang duduk paling depan bertugas meloloskan perahu ketinting dengan turun mendorong saat perahu terhenti oleh bebatuan sungai. Dia adalah Mika, kakanya Dion adiknya Pak Maret.

Setelah satu jam di atas perahu, kami tiba di sebuah anak sungai Njengan, kami berjalan menyusuri anak sungai yang terletak di tengah hutan belantara itu, cukup horror bagi saya meskipun sebenarnya sangat indah dengan keasriannya yang tak terganggu oleh tangan-tangan jail. Tidak ada coretan-coretan nama menggunakan pilox seperti di kawasan wisata pada umumnya, tidak ada sampah plastik, atau pedagang kaki lima, yang ada adalah rebahan kayu-kayu tua yang memotong sungai, endapan lumpur, kubangan babi, dan jejak-jejak langkah binatang hutan yang menurut Dion adalah jejak kaki Iblis.

Kondisi sungai dan hutan yang cukup menakutkan itu ternyata memicu imajinasi Dion untuk kembali bercerita.
“Dulu, saya pernah mendapatkan emas yang sebesar paha saya pak guru, tapi saya buang saja karena saya tidak mau dengan kemewahan”

“Oh ya? Kamu serius?”

“Ia pak guru, kemewahan dunia yang berlebihan akan membuat manusia menjadi kacau dan saling membunuh”

“Betul-betul, jadi kamu buang di mana emas itu dion? Siapa tau saya bisa temukan dan bawa ke kampung saya” tanyanku menggubris seolah percakapan kami adalah percakapan dewasa yang benar-benar serius. Mika hanya menggeleng-geleng kepala seolah tidak percaya ada seorang guru yang mau di bodohi oleh adiknya yang ngawur itu. Pak Maret cukup tertawa-tawa geli sambil melempar jala, adapun pak Ahmad, sangat sibuk mengambil gambar dan sesekali nimbrung dalam percakapan saya dengan Dion.

“Emas itu saya kuburkan di bawah tanah ini, dan menyimpannya di sebuah kerajaan bawah tanah, pak Guru tidak akan bisa mendapatkannya, karena kerajaan itu sangat jauh di dalam tanah dan di jaga oleh para pasukan yang kuat”

“Ooo… kamu sering ke kerajaan itu Dion?”

“Ia sering, di sana ada banyak harta karun, dan putri-putri kerajaan yang cantik, dan permainan yang sangat banyak. Kerajaan itu adalah surga yang sering dijanjikan untuk manusia yang berbuat baik”

Saya terkejut lagi, mana mungkin dia bisa membalik surga yang terletak jauh diatas langit tiba-tiba berada di bawah tanah. Tapi saya harus menjaga respon saya agar dia bisa bercerita lepas sampai selesai, kesempatan ini sudah lama saya tunggu, dan dia sedang on fire!

“Ceritakan lagi Dion!”

“Pak guru lihat jejak langkah itu?” Dia menunjuk beberapa jejak kaki yang menurut pak Maret dan Mika adalah jejak kaki kijang yang datang ke sungai untuk minum tapi tidak bagi Dion.

“Jejak kaki itu adalah langkah para iblis yang datang ingin menembus tanah untuk memasuki kerajaan surga bawah tanah itu, mereka ingin mengambil sebuah benda yang saya sembunyikan di sana. Jadi selain emas dan batu permata, saya juga telah menyimpan jantung raja mereka di sana, mereka terus berusaha untuk mendapatkannya tapi tidak berhasil karena saya hidup di kampung ini untuk menjaganya, sekaligus menjaga keamanan desa.”

“Jantung raja iblis? Bagaiman bisa kamu mendapatkannya”

“Pada saat saya berada di luar negeri bersama kakek-kakek tua yang pernah saya ceritakan itu, saya memasuki sebuah gua yang di terangi oleh lilin yang sangat banyak. Kakek itu mengatakan bahwa saya harus menyelamatkan panglima mereka sekarang juga. Panglima itu bernama Alpious, anak seorang iblis yang memimpin sebuah organisasi setan. Saya bertanya bagaiman cara menyelematkan panglima itu, dan kakek itu berkata bunuhlah raja mereka yang juga adalah iblis jahat. “Dulunya kerajaan kami hanya satu tapi kerana kesalahpahan dan perebutan kekuasaan akhirnya kerajaan itu terbagi 2, satu dipimpin oleh iblis Smarpious, ayah Alpious, dan kerajaan yang satu dipimpin oleh Kraigien, seorang iblis yang sangat sadis. Dialah yang harus kau bunuh, ambil jantungnya dan selamatkan panglima kami” - kakek itu kemudian menghilang dan meninggalkan saya sendirian pak guru”

Cerita ini semakin bersambung dengan yang berminggu-minggu telah lewat, bagaimana anak ini bisa menemukan kisah itu ya? Atau jangan-jangan dia benar-benar anak iblis, atau paling tidak bergabung dengan organisasi setan itu. Ah, mustahil, pasti dia sudah mendengar atau membacanya.

“Lanjutkan Dion!” Tambahku memanasi dia, menjaga kata agar tidak mengganggu dia lagi.

“Saya memasuki gua itu, dan tiba-tiba di tangan saya ada sebuah pedang yang saya temukan saat saya bagun dari mimpi. Saya terus berjalan, dan hawa panas semakin terasa. Duarrrrrr….. lantai gua didepan saya langsung meletus dan keluar seekor ular yang sangat besar, ular itu menyerang saya dengan bisanya, tapi saya menghindar lalu mengangkat sebuah batu dan melemparkannya sekuat tenaga. Dengan ekornya, ular itu menangkis dan batu terlempar kembali kearah saya hampir menimpa tubuh saya, tapi untunglah tiba-tiba api menyembur dari mata saya dan menghancurkan batu itu.”
Dion semakin asik bercerita, saya fokus mendengar, tapi Mika sibuk mencela kami berdua.  Seolah tak mendengar apa-apa, Dion melanjutkan.

“Dengan kecepatan kilat, saya melompat diatas kepala ular itu dan menusuknya dengan pedang sehingga dia mati tak berdaya, kucabut pedang itu lalu kupenggal kepalanya”

“Wow, hebat kamu Dion. Terus?”

“Saya melewati ular itu dan melanjutkan perjalanan. Banyak lagi binatang siluman yang mencoba menghadang perjalanan saya tapi semua tak mampu mengalahkan saya. Dan tibalah saya di ujung goa itu, sekarang lilin sudah tidak ada lagi. Cahaya gowa kini berasal dari api yang menyala dari sebuah lubang di bawah tanah, di atasnya tergantung panglima yang akan saya selamatkan. Saya menembak tali itu dengan api yang keluar dari mata saya tapi ternyata tidak tembus, sepertinya ada yang menghalangi. Sesaat kemudian terdengar suara tawa yang sangat besar, itu pasti adalah suara Kraigien. Benar, itu dia. Kraigien ternyata iblis betina berparas cantik yang sangat mempesona, dia tidak mengerikan seperti yang saya bayangkan. Matanya, kulitnya, benar-benar adalah manusia, seperti kita, tapi secantik apapun dia, dia tetap adalah iblis yang harus saya bunuh. Saya langsung menyerangnya dengan mata api, dia hanya mengipasnya dengan selendang sutra yang ia pakai dan api itu padam. Dia balik menyerang, meniupkan angin kencang dari mulutnya sambil melepaskan ular-ular raksasa dari ujung jari tangannya. Saya tersudutkan dan nyaris terbunuh oleh ular-ular itu, untung saja panglima Alpious menyerang Kraigien dengan tendangan memecah buminya, dalam kondisi terikat dia masi bisa mengeluarkan tendangan yang sangat dahsyat itu sehingga Kraigien terjatuh dan angin kencang serta ular-ular itu langsung lenyap. Saya langsung menerjangnya dan menusuk dia dengan pedang tapi lagi-lagi dia lepas dan langsung berada dibelakang saya, saya berbalik tapi pukulannya sudah mendarat di wajah membuat saya terlempar jauh dan mengeluarkan banyak darah. Dia melompat ingin menusuk saya dengan tangannya yang tiba-tiba berubah menjadi pedang, saya menutup mata, bersiap mati dalam misi penyelamatan itu. Tseeekkkk, uhhhh… pedangnya menusuk tubuh, tapi itu bukan tubuh saya karena sang Panglima, entah dengan cara apa dia lepas langsung menghalang saya dengan tubuhnya. Saya bangkit dan langsung menyerang Kraigien dengan mata api, tepat di matanya, ia panic dan tak bisa melihat apa-apa, saya tusuk dia dengan padang dan membelah tubuhnya. Berhamburan darahnya yang berwarna hijau, sama seperti darah Pangeran. Tempat itu lalu bergetar dan tergoncang hebat. Akhirnya saya berhasil membunuh dia, tapi Panglima Alpious juga ikut terbunuh. Saya mengambil jantung Kraigien dan berlari meninggalkan gowa yang akan hancur. Saat saya berlari, beberapa prajurit iblis itu muncul dari sela-sela gowa dan menyerang saya, mereka ingin mengambil jantung tersebut. Saya mempertahankan diri dan berhasil membunuh mereka, tapi bebrapa pasukan Kraigien berhasil lolos dan berjanji akan merebut kembali jantung itu untuk menghidupkan raja mereka kembali.”

“Keren, kamu luar biasa. Tapi kasihan sekali panglima itu, lalu kemana kamu membawa jantung itu Dion?”

“Saya terus berlari sampai di mulut goa. Di luar goa itu telah menunggu sang Raja bersama kakek-kakek tua. Raja sangat sedih karena kematian Panglima Alpious, dan ternyata Kraigien adalah bekas istri sang raja sendiri, Ibu kandung Panglima. Lalu kemudian sang raja mengangkat saya sebagai anak keduanya, pengganti panglima yang mati di tangan ibunya sendiri. Dia meminta saya untuk menguburkan jantung itu di kerajaan surga bawah tanah, tepat di bawah kaki kita sekarang ini pak Guru. Saya sebenarnya sudah berusia sangat tua, tapi orang tua saya tidak tau, dan disini saya akan terus menjaganya, jika orang-orang sekarang telah tumbuh dewasa, tua, dan akhirnya mati saya akan ikut mati tapi pasti bereinkarnasi menjadi apapun yang Smarpious inginkan, para pasukan iblis jahat itu tidak akan pernah berhenti mengejar jantung Kraigien tapi tak akan bisa memasuki surga dengan cara yang merekah tempuh, karena surga hanya bisa dimasuki oleh orang-orang yang suci dan berbuat baik. Tak ada tempat bagi iblis di surga Pak Guru”

***
Dion benar-benar bercerita seolah baru saja menonton film, entah darimana datangnya karangan-karangan itu tapi sangat hebat dia menyambung-nyambungnya menjadi sebuah cerita utuh. Apa lagi saat dia menyebutkan kata reinkarnasi itu, saya merasa sedikit bangga karena 2 hari sebelumnya, saya mengajarkan pelajaran IPS tentang kepercayaan agama hindu dalam hal kelahiran kembali, reinkarnasi. Padahal, hari itu dia masih kesulitan menyebutkannya tapi pada saat dia bercerita dia menyebutkan sekaligus menceritakannya pada konteks yang tepat. Ketika dia mengatakan panglima untuk Alpious, mungkin yang dia maksud adalah kata Pangeran, tapi itu tidak menjadi kesalahan karena ternyata di ujung anak sungai Njengan itu, ada sebuah kuburan tua yang menurut Pak Maret adalah makam panglima perang suku dayak punan. Mungkin hanya ada kata panglima yang pernah dion dengar sehingga hanya itu yang ada di kepalanya.
Saya sudah pernah melihat dan mendengar anak-anak SD bercerita, bahkan dalam bahasa inggris, lancar dan dengan ekspresi yang benar-benar sesuai, bersuara ular ketika  memerankan ular, singa yang garang atau binatang apapun mereka tiru dengan baik. Saat itu saya merasa bahwa anak-anak ini sangat hebat dan sangat cerdas. Ternyata itu karena mereka memang difasilitasi dengan tontonan dan bacaan yang sudah jadi, sudah utuh, pokoknya tinggal pakai. Di sisni, di kampung yang hanya ada hutan, Dion mampu bercerita dengan cerita karangannya sendiri, menjadi sebuah cerita utuh, cerita yang mengandung pesan pengetahuan. Kecerdasan berimajinasi dan berkisah yang sungguh membakar semangatku dalam misi pendidikan di daerah 3T Kalimanatan Timur ini.
Kini, Dion bercerita dengan imajinasinya, dan hanya saya pendengarnya. Tapi esok di hari yang akan terus saya tunggu, Dion pasti akan bercerita dan menuliskan semua imajinasinya. Semua orang akan membaca dan mendengar. Semua orang akan tau, kalau di daerah terdepan, terluar dan tertinggal, ada suara yang perlu didengarkan.


Tanjung Redeb,23 September 2015. Menanti Lebaran haji tanpa orang tua. 

Mengajarkan pelajaran Seni dan Agama sekaligus

SENI DAN AGAMA


           
Bolehlah beberapa seniman dunia menciptakan sebuah karya seni berdasarkan perenungan religiusitasnya yang dalam. Sebut saja Dante Alighieri, seorang seniman brillian dari italy yang telah menghasilkan sebuah karya sastra yang sangat fenomenal dan meggetarkan dunia pada zamannya, bahkan sampai sekarang masi ada yang mendiskusikan karyanya, sebuah karya berupa puisi yang diberi nama INFERNO. Inferno atau Neraka adalah sebuah puisi yang menceritakan perjalanan Dante ke neraka. Karya ini menempati bab pertama dalam bukunya The Divine Commedy. Cerita perjalanan itu kemudian menginspirasi seniman lain untuk menghasilkan sebuah karya. Botticelli memvisualisasikan keadaan neraka versi Dante kedalam sebuah lukisan, lalu ada Dan Brown yang bahkan menjadikannya bahan dalan Novelnya yang kemudian mengambil kata Inferno sebagai judul novel itu. Tindakan-tindakan semacam itu tentulah menjadi polemic, tapi begitulah seni dan agama kawan, selalu seksi untuk di perbincangkan.
           
Kali ini saya tidak sedang ingin membahas teori yang berbelit-belit tentang bagaimana romantisme antara agama dan seni atau mengulas bagaimana benturan antara keduanya. Saya hanya sekedar ingin berbagi cerita bagaimana pada kamis 10 september 2015 saya menggabungngkan mata pelajaran Seni Budaya dan mata pelajaran Agama. Sebuah kreativitas yang lahir dari segala keterbatasan. Tidak ada guru seni, tidak ada guru agama, tidak ada buku cetak. Jangan tanya tentang Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) atau media pembelajaran yang bisa menjadi panduan, maka kreativitas akhirnya muncul secara mendadak dari kepala saya. (mungkin juga ini kenekatan)

***
            Sejak ditinggalkan oleh beberapa guru lokal sekitar 2 minggu yang lalu, kami kekurangan tenaga pengajar untuk menghendel 6 kelas. Hanya ada 4 orang guru yang tersisa, 2 guru local dan 2 guru SM-3T termasuk saya sendiri. Kelas 1, 2 dan 3 masing-masing di tangani oleh 3 guru dalam ruangan yang berbeda, Pak Ahmad kelas 3, Pak Maret kelas 2 dan Buk Eka kelas 1, sedangkan kelas 4, 5 dan 6 saya pegang dalam satu ruangan. Kondisi ini sering kita sebut dengan kelas rangkap formasi 3.1. Tiga level berbeda dalam ruangan yang sama. Memang terdengar cukup ektrim menggabungkan 3 kelas dalam satu ruangan, apalagi anak SD yang ribut dan suka berlarian. Tapi ternyata pemirsa sekalian, yang namanya sekolah di daerah 3T selalu terdapat keunikan di dalamnya. Dan keunikan di sekolah ini yang pertama adalah ada siswa kelas 4 memiliki adik kandung di kelas 5, bahkan ada seorang siswa kelas 3 yang lebih tua umurnya dari siswa kelas 6, entah bagaiman sejarahnya dan bagaimana atauran idealnya yang jelas realitasnya seperti itu. Keunikan yang kedua adalah semua siswa dari 3 kelas yang berbeda ini memiliki hubungan darah, kalau bukan saudara kandung atau om-keponakan pasti sepupu. Bukan sepupu jauh, satu kali saja cukup. Ok! (saya kadang bertanya-tanya, nenek mereka siapa ya?). Berdasarkan analisa sederhana saya, setelah melakukan beberapa kali uji coba (cieee asikk), fakta membuktikan bahwa kemampuan mereka baik kognitif, psikomotorik atau afektif itu relative sama. sehingga penggabungan ini saya rasa cukup solutif terlebih lagi kondisi yang memang cukup menggemaskan.
           
Kelas 4 seharusnya belajar Seni Budaya, kelas Lima dan Enam (memang sudah digabung oleh guru sebelumnya) seharusnya belajar Agama. Kalau saya berikan 3 pelajaran yang berbeda untuk 3 level berbeda dalam satu ruangan maka itu formasinya adalah 3.3.1. adapun jika satu mata pelajaran untuk 3 level dalam 1 kelas namanya 3.1.1. Tapi mengajarkan 2 mata pelajaran yang berbeda untuk tiga level berbeda dan dalam satu kelas yang sama itu tidak ada dalam teori pengajaran. Maka hari itu juga saya telah berhasil menciptakan formasi baru, 3.2.1. Ini adalah rekor pemirsa, kalian tidak akan mendapatkan model pengajaran semacam ini bahkan di sekolah internasional sekalipun.

***
100% pribumi kampung Long Lamcin adalah penganut Kristen Protestan. Mereka cukup religious dalam pengamatan saya, karena dalam beberapa aktifitas dimana saya sempat terlibat secara langsung dan tidak langsung didalamnya pasti mereka mendahuluinya dengan berdoa bersama dengan khusyu’. Contoh, Nugal (menanam padi di gunung), Berburu binatang, bersih-bersih kampung, membuat rumah, membuat dapur dan Rapat-rapat kampung yang kesemuanya itu mereka lakukan secara bersama dan sukarela (aktifitas yang sangat langka di era dewasa ini). Bahkan sempat beberapa kali murid-murid bertamu di rumah tempat tinggal saya dan saya mengajak mereka makan, ternyata mereka yang justru mengajak saya berdoa. Saya merasa sedikit malu mengingat saya adalah guru mereka, tapi merekalah yang mengajarkan saya etika. Tiba-tiba saya teringat dengan kebiasaan makan bersama di kota yang selalu saya lalui dengan hanya berfoto-foto ria sebelum makan bukannya berdo’a dan mensyukuri nikmat Tuhan yang ada.

Nyanyian dalam agama Kristen protestan (mungkin juga katolik), terdengar sangat identik. Keduanya seakan tak terpisahkan meskipun saya kurang paham apa status nyanyian dalam agama ini. Setiap mereka ke gereja pada hari minggu dalam rangka menunaikan ibadah kepada Tuhan yang mereka yakini mereka selalu menyanyikan lagu-lagu rohani dengan suara yang indah dan harmonis. Dalam pemikiran sederhana saya, gereja adalah tempat ibadah mereka, “rumah Tuhan” kata anak-anak kampung, dan hari minggu adalah “harinya Tuhan”. Mereka bernyanyi di rumah ibadah, mereka bernyanyi untuk memuji Tuhan, mereka bernyanyi untuk memohon do’a, nyanyian adalah ekspresi kesyukuran mereka, nyanyian adalah pengobat luka bagi mereka. Saya menyadari ada hal yang bagi sebagian orang adalah biasa saja tapi tidak bagi orang lain. Menyanyi contohnya, bagi saya menyanyi hanya sekedar expresi seni, bagi mereka, menyanyi memiliki sebuah arti yang dalam, mengandung makna keimanan yang begitu kuat, menyanyi adalah bagian dari kepercayaan dan filosofi hidup. Nyanyian bukan sekedar nyanyian.  

***
            Hari itu, tak ada yang bisa mengajarkan pelajaran agama Kristen karena guru-guru yang tersisa adalah muslim (paling tidak mengaku muslim). Ada yang kristen, Pak Maret tapi dia sedang sibuk mencari siswa-siswanya yang pada izin ke toilet tapi tidak kembali. Menyuruh mereka pulang saja juga rasa-rasanya kurang bijak mengingat hiburan dan tempat bermain mereka hanya di sekolah. Daripada kelas sunyi sepi maka saya yang akan mengajarkan seni dan agama sekaligus. Mendidik itu kan tidak mesti memberikan sesuatu yang baru. Menstimulus mereka untuk mengingat kembali apa yang telah mereka ketahui itu juga mendidik. Bahkan kata Plato, pengetahuan yang murni itu adalah pengetahuan yang diingat kembali. Uwwek, Sok tau. Hehehe.         

Tentu kau sudah bisa menebak apa yang terjadi di kelas pada hari itu kawan. Tepat sekali! Sekolah menjadi gereja. Semua siswa berdiri dengan semangat penuh khidmad menyanyikan lagu-lagu rohani yang terdengar indah. Mereka bersusun rapi, menyanyikan lagu-lagu pilihan yang mereka sepakati bersama, kompak tak bercela. Dan saya, berdiri di depan mereka, menikmati alunan suara merdu anak-anak kampung. Sesekali saya menutup mata merenungi lirik lagu yang mereka ucapkan, mencoba memahami, memasuki relung hati mereka dan berpikir dengan cara mereka. Nikmat, sejuk, membakar semangat, dan … Ah, sudah lah. Tuhan memang penuh kasih. Utunglah jam pelajaran hanya sejam, kalau lebih lama mungkin saya langsug di baptis. Wkwkwk.

Long Lamcin, 4 Oktober 2015

HARI PERTAMA MENJADI GURU SM-3T DI KAMPUNG LONG lAMCIN

My First Day At School

            Dingin angin berhembus di pagi itu. Dengan bebas ayam berkokok membangunkan jiwa-jiwa yang masih terlelap dalam pelukan bantal yang tak bersarung. Burung-burung bernyanyi dengan indah menciptakan sebuah keharmonisan dalam keberagaman. Sunggguh kuasa Tuhan sangat besar, menganugerahi setiap makhluknya dengan keistimewaan yang tak terkira. Rumput halaman sekolah masih basah oleh embun yang sejuk, sama basahnya dengan sang merah putih yang berkibar di sebuah tiang yang tak bertali. Sang saka, lambang kemerdekaan yang sekali terikat, berkibar sepanjang hari, sepanjang tahun hingga akhirnya ia hancur. Senin yang sepi untuk ukuran sebuah sekolah dasar, tak ada upacara bendera sebagaimana senin pada umumnya, dan ternyata tak ada yang merasa risau dengan hal itu. Akupun tidak!

***

            Setelah mendengarkan curhatan para guru tentang kondisi sekolah pada hari sebelumnya, semangat yang telah menggunung di dadaku tiba-tiba mengempes bak balon gas yang tertusuk jarum. Terbang tak tau arah! Akibatnya adalah gerkanku melambat di pagi itu, semua aktifitas menjadi slow motion. Aduh, bungaku yang belum sempat mekar mengapa engkau layu.
Waktu masih menunjukkan pukul 6 saat saya mengepulkan asap di dapur kayu, terasa sangat lama nasi untuk sarapan pagi itu masak, mungkin karena pengaruh dinginnya cuaca kampung yang terkepung gunung ini sehingga api ikut-ikutan mengigil. Atau mungkin juga pengaruh perasaanku yang sekarang mendingin tak memancarkan kobaran semangat seperti sebelum mendengar cerita guru-guru yang telah berpengalaman itu. Entahlah, intinya saya galau.
Posisi dapur berada di bagian belakang rumah, jika sedang memasak atau hanya sekedar duduk-duduk di situ saya bisa melihat jalan utama kampung dan sebuah gereja. Kali ini terdengar lagi nyanyian anak-anak seperti hari kemarin tapi yang memandu bukanlah pak Gembala melainkan suara ibu-ibu yang terdengar seperti guru-guru TK. Kufokuskan pandangan ke gereja, tapi di sana sepi tak ada aktifitas, lalu di mana anak-anak itu bermain? Ternyata tak jauh dari gereja itu ada sebuah gedung balai pertemuan tempat rapat-rapat kampung yang merangkap fungsi juga sebagai gedung PAUD. Lha, kok ada PAUD? Desa saya saja yang sejak tahun 1998 sudah ada listrik, baru punya begituan sekarang. Kampung yang tidak dimasuki kabel-kabel PLN sampai sekarang ini juga ternyata bisa punya arena bermain untuk anak-anak. Lumayan maju lah kalau begitu.
Sambil menunggu masakan, saya mencuci beberapa piring bekas makan malam. Karena air tidak mencukupi maka saya berjalan beberapa meter ke selang sumber air terdekat. Ya begitulah kondisinya kawan, semua yang kita konsumsi di tempat ini harus kita uasahakan terlebih dahulu, kalau mau air ya harus ngangkat dulu. Pada saat menunggu ember penuh, lewat beberapa rombongan anak-anak berpakaian merah putih. Mereka tampak riang gembira meski pakaian yang mereka gunakan sangat kumal bahkan banyak yang tak memakai sepatu. Tiba-tiba senyum melebar di wajahku, ada sejenis ketenangan batin saat melihat mereka bepakaian sekolah. Ah, sejenak saya bernostalgia dengan masa kanak-kanak yang memang selalu riang gembira. But wait, they are little busters like their teachers said. Huh!
Anak-anak mulai ramai saat saya sudah siap ke sekolah. Sesaat saya teringat dengan pesan yang disampaikan secara berulang-ulang oleh para pelatih pada masa prakondisi SM3T di Rindam 7 Wirabuana, Pakkatto. Mereka menekankan bahwa seorang guru, terlebih dahulu harus meyakinkan dirinya bahwa dia bisa menjadi guru, bisa tampil di depan murid-muridnya karena dialah yang akan menjadi panutan. Seorang guru harus benar-benar memperhatikan penampilannya, jangan sekali-sekali ada yang rancu dari penampilan guru karena itu akan memicu kekacauan yang lain. Maka kuyakinkan diriku bahwa saya bisa menghadapi segala jenis murid bahkan yang lebih parah sekalipun dari penggambaran guru-guru lokal tentang murid yang akan saya hadapi. Mereka brutal saya harus lebih siaga, mereka tumpul saya harus menjadi batu asah yang baik, mereka bosan saya harus tampil lebih menarik. Kupilih pakaian yang paling rapi, dengan warna yang paling sesuai, celana hitam yang licin, dan baju batik berwarna merah gelap bermotif bunga-bunga mekar yang indah, plus jas hitam pekat SM3T yang pas di badan. Kutenteng 2 buah buku di tangan kiri dan sebuah spidol hitam di tangan kanan. Tampillah aku dengan sangat mempesona. Sampai-sampai saya sendiri heran kalau ternyata saya bisa serapi itu. Oh andai bidadari melihatku pasti dia langsung jatuh hati.   
Saya memasuki ruang kantor yang bersambung langsung dengan kelas 6 yang ternyata siswanya digabung dengan kelas 5. Kusalami satu persatu guru-guru yang kemarin telah mencederai semangatku. Saya menunggu penyampaian secara formal dari kepala sekolah tentang tugas yang harus saya kerjakan, tapi sampai 1 jam saya duduk disitu nyaris tidak ada pembahasan mengenai pembagian tugas. Aroma lotionku mulai melemah dan saya belum juga dipersilahkan untuk memasuki salah satu kelas walau hanya sekedar memperkenalkan diri pada siswa. Saya bingung harus berbuat apa, tapi setelah kuanalisa sepertinya sekolah itu sama sekali tidak memiliki formalitas sebagaimana managemen sekolah pada umumnya. Tidak ada upacara, tidak ada rapat, ruang guru atau kantor sangat sepi dari berkas-berkas atau administrasi sekolah, maka saya berinisiatif untuk meninggalkan kantor dan memasuki salah satu kelas.
“Permisi Pak, boleh saya masuk?”
“Silahkan Pak”
Saya mengambil posisi di bangku paling belakang sambil melihat cara pak Adi mangajari anak kelas 4 pelajaran IPA. Sepertinya saya tau cara mengajarnya, dia meminta para siswa untuk menuliskan soal-soal pilihan ganda lengkap dengan pilihan jawabannya lalu pergi meninggalkan kelas. Sangat khas gaya belajar sekolah dasar. Setelah mereka menyelesaikan tugas itu saya meminta sisa waktu yang masih satu jam untuk memperkenalkan diri pada siswa.
***
Kelas empat memiiki 6 orang siswa, satu putri dan 5 putra, dengan usia rata-rata 12 tahun. Physically, jika hitam kulit keriting rambut itu Papua, maka putih kulit lurus rambut itu adalah Dayak. Mata mereka agak sipit, bibir tipis-tipis mirip dengan orang-orang Thailand atau Vietnam dengan badan yang kekar-kekar. Ya, mereka memang pekerja berat. Satu persatu kupandangi mata mereka yang berbinar, terheran-heran melihat penampilanku yang sangat rapi itu. Mungkin mereka bertanya dalam hati, siapakah dikau anak muda?
“slamat pagi” ku salam mereka dengan suara keras dan tegas mirip seorang tentara.
“seelaaamat pagiii” jawab mereka, loyo tak bertenaga.
“kalau saya katakan slamat pagi, semua harus menjawab “pagi” tiga kali dan tangan kanan di angkat dengan bertenaga” lanjut saya sambil mempraktekkan mirip seminar-seminar MLM.
Mereka mulai tertawa-tawa kecil sambil berbisik-bisik dalam bahasa daerah yang terdengar mirip dengan bahasa Thailand.
“slamat pagi!” saya mengulangi penuh semangat
“paagi, paagi ….” mereka menjawab Pagi hanya 2 kali dengan dua huruf A, kemudian menertawakan diri sendiri lalu saling melirik. Saya ikutan tertawa tapi tetap menjaga wibawa. Assikk!
“ingat, bukan paagi, tapi PAGI! Tiga kali, PAGI! PAGI! PAGI!, Ok?
“OK!” Simson menjawab dengan nada keras penuh semangat, 5 orang temannya kaget lalu ikut berteiak “OK!”
“SLAMAT PAGI!”
“PAGI! PAGI! PAGI!”
“Ya, begitu dong. Mantap!” lanjutku memberi apresiasi sambil mengangkat two thumbs for them.
Saya mulai ragu kalau mereka nakal dan tumpul-tumpul. Apa lagi mereka melakukan instruksi sederhana yang memang telah saya rencanakan. Mereka memiliki respon terhadap perintah, itu BUKAN BODOH! Kemudian saya melanjutkan dengan perkenalan dan survey kecil-kecilan tentang kemampuan mereka.
“Nama saya Saddang Husain,S.Pd.” saya memperkenalkan diri sambil menuliskan di papan tulis yang ternyata masih menggunakan kapur, sehingga spidol yang tadi saya bawa tidak berfungsi sama sekali.
“coba kalian sebut nama saya”
Mereka cukup kesulitan menyebut nama saya dan terdengar lucu, ada yang mengatakan Sadana Husan, Sandan, Saden dll, pokoknya tak satupun yang bisa mengucapkannya dengan tepat. Ternyata mereka cukup kesulitan menyebut huruf NG dan DD sehingga kupandu dengan mengatakan beberapa kata yang memiliki kedua huruf itu, Gunung, Nangka, panjang, addunya, fiddiin, fiddunya. Mereka malah makin kesulitan, maklumlah mereka semua belum tau hukum tajwid. Tak apalah, apa juga arti nama ini untuk mereka.
“ada yang tau arti S.Pd?
“mmm … tidak tau Pak Guru”
Dari kata S.Pd inilah saya mulai bercerita panjang lebar tentang dunia perkuliahan dan kehidupan di perkotaan. Mereka sangat antusias mendengar cerita saya, sesekali kuturunkan volume suara dan mereka mencondongkan kepala, itu artinya mereka sangat perhatian. Ku berikan tekanan pada kata-kata tertentu dan mereka menampakkan expresi terlibat dalam cerita itu. Saya melucu mereka tertawa, saya mengambil jeda dan menarik nafas, mereka setia menunggu kata-kata selanjutnya meluncur dari mulutku. Sejak saat itu saya mulai tidak percaya sebagian omongan para guru itu bahwa mereka bodoh.
“berapa umur pak guru?” Yoses bertanya penuh gairah, saat kupersilahkan.
Bukannya langsung menjawab saya malah memberi pertanyaan “berapa umur kamu Yoses?”
“12 tahun Pak guru”
“baiklah, mari kita hitung sama-sama berapa usia saya dengan menjumlahkan usia kalian yang kelas 4 SD sampai saya menjadi S.Pd.”
“kelas 4=12 tahun, kalau kelas 6= berapa tahun?
“14 Pak guru”
“setelah SD kemana?
“SMP!” mereka menjawab dengan kompak.
“berapa tahun di SMP?”
“3 tahun”
“setelah SMP?”
“SMA”
“berapa Tahun?”
“3”
“setelah SMA?
Mereka diam, saling melihat sambil bertanya kepada sesama temannya dalam bahasa yang tak saya pahami. Lalu Fir’aun memberi jawaban dengan suara pelan penuh keraguan “Kuliah pak Guru”
“Yes, betul! Kuliah, semua beri tepuk tangan untuk Fir’aun”
Mereka bertepuk tangan penuh kebahagiaan seolah-olah itu adalah tepuk tangan pertama mereka selama di sekolah.
“ada yang tau berapa lama kita kuliah?” Fir’aun sekali lagi memberi jawaban “4 tahun Pak Guru”, saya terkejut dan kembali meminta tepuk tangan yang meriah untuk Fir’aun.
“baiklah mari kita hitung bersama-sama. Di SD kalian berusia 14 tahun + SMP 3 tahun + 3 tahun di SMA + 4 tahun kuliah, jadi berapa sekarang umur pak Guru?”
Agak lama mereka menghitungnya lalu kemudian Serentak cenderung berlomba mereka menjawab “24 tahun Pak Guru”
“Very good, Clap Hand” lagi-lagi mereka bertepuk tangan dengan meriah sampai semua guru mengintip melalui jendela, berbaris terheran-heran.
Saya melanjutkan dengan bercerita tentang status saya sebagai guru SM-3T. Tentang bagaimana saya harus melewati rangkaian tes yang panjang, terseleksi dari ribuan pendaftar, hingga akhirnya terpilih menjadi satu diantara 40 orang yang dikirim ke kabupaten Berau. Saya mendramatisir cerita dengan menekankan bahwa betapa berharganya mereka, anak pelosok negeri bagi kami para guru 3T yang ingin mendidik dengan semangat nasionalisme. Tidak mudah bagi kami para sarjana di perkotaan untuk bisa sampai di sekolah mereka yang sangat jauh itu. Terakhir saya kataka “kalian adalah masa depan negeri ini”. Mereka tampak terharu dengan kata-kata itu dan tersirat perasaan bangga akan diri mereka sendiri sekaligus kepercayaan diri bahwa ternyata mereka masi memiliki harapan. Sebuah perasaan yang sepertinya selama ini tertutup oleh kabut.
“kalian mau belajar bahasa inggris?”
“mauuuu” mereka menjawab penuh semangat dan selalu seperti itu.
“Are you ready?”
“Yes! Yes! Yes!”
Sejak hari pertama itu saya mulai mengganti beberapa instruksi sederhana dengan bahasa inggris, dan ternyata mereka merespon dengan sangat antusias meskipun mereka cukup kesulitan mengucapkannya. Saya meminta agar mereka menjawab “present ser atau absent ser” pada saat saya menyebut nama mereka, meminta izin dengan mengatakan “excuse me ser”.

***
Bagi saya, tak ada yang lebih membahagiakan bagi seorang guru kecuali keberhasilan dalam menarik perhatian para peserta didik. Melihat mata mereka yang berbinar menanti kata-kata selanjutnya yang akan saya ucapkan adalah cinta yang terbalaskan. Mereka tertawa saat saya bermaksud melucu, mereka berlomba mengatakan “saya pak guru” saat saya menanyakan siapa yang bisa adalah api semangat yang takkan padam. Mereka, para siswa akan menjadi guruku yang sesungguhnya. My first day is wonderful, my spirit is reborn.


Long Lamcin, 9 September 2015

Curhatan Guru SD 012 Kelay, Kampung Long Lamcin

Curhatan Para Guru Tentang Siswa Dan Masyarakat Kampung

Sekolah kecil dengan masalah yang besar. Realitas pendidikan di kampung Long Lamcin, sebuah kampung yang terkepung oleh pegunungan.

***
Minggu, 23 agustus 2015. Kampung tak se sunyi kemarin, terdengar nyanyi-nyanyian rohani dari gereja kecil di belakang rumah. Masyarakat kampung, pribumi suku Dayak adalah penganut Kristen yang taat. Hari minggu adalah hari yang difokuskan untuk ibadah, tak ada aktifitas pendidikan formal, tak ada aktifitas ekonomi atau aktifitas olahraga. Full hari minggu adalah hari gereja. Jarak gereja yang cukup dekat dengan perumahan guru yang saya tinggali membuat suara nyanyian atau khotbah dari pak gembala terdengar sangat jelas. Bukan sok toleran, tapi memang jika didengarkan dengan khidmat dan penuh penghayatan lagu-lagu mereka sangat lembut dan harmonis, menyejukkan hati. Kunikmati itu sebagai harmonisasi seni, bukan sebagaimana cara mereka melihat posisi nyanyian dalam beribadah.
           
Di gereja mereka khusyuk beribadah, di teras rumah Saya dan Pak Harry Kurniawan sibuk berdiskusi luas tentang realitas sekolah yang telah dinahkodainya selama 2 tahun terakhir. Sebelum menjadi kepala sekolah pada 2013 beliau adalah guru PNS biasa bergolongan IIb sejak 2010. Dalam diskusi yang lebih tepat dikatakan curhatan Pak Harry itu, beliau menyampaikan betapa batinnya tersiksa berada di sekolah SD Negeri 012 Kelay. Ia menuturkan bahwa siswa yang jika digabung kelas 1 sampai 6 tidak cukup 30 orang itu adalah siswa-siswa yang sangat tumpul dan brutal. Mereka kerap merusak fasilitas sekolah dan bahkan melawan guru. Selain itu, ia juga mengeluhkan tentang para guru yang susah diajak bekerja sama.

“Kalau anak-anak itu pecahkan kaca jendela, tidak ada guru yang berani kasi hukuman” ujarnya dengan logat jawa yang meddho’. Saya bertanya kenapa, beliau bilang guru-guru di sini takut mengambil tindakan karena sedikit-sedikit denda. Katanya hukum adat adalah hukum tertinggi di kampung ini. Para warga tidak mengenal hukum Negara, makanya perlu sangat berhati-hati dalam bertindak. Sembarang menebang pohon bisa kena denda, melukai anjing peliharaan yang kerap masuk rumah sembarangan bisa kena denda, mencuri, merampok, asusila, berkelahi semua akan terkena denda. Dan dendanya tidak tanggung-tanggung, beberapa hari yang lalu karyawan perusahaan logging menebang sebuah pohon yang dilindungi harus membayar denda 400 juta. Wah parah ini, bisa-bisa saya melarikan diri dari tugas kalo suatu hari kena denda sebesar itu. Mudah-mudahan tidak ya Allah. Amin3x!!!
           
“Lihat saja kaca-kaca itu, semuanya pecah ulah siswa-siswa yang anarkis” ujarnya seraya menunjuk deretan jendela sekolah. “sengaja aku tidak perbaiki biar orang tua mereka liat”. Wajah Pak Harry semakin memerah menampakkan kemarahan yang selama ini terpendam. Kupalingkan pandangan kejendela sekolah itu ternyata tidak semuanya hancur berantakan, cuman 4 di antara 18 kaca. Sepertinya ada kemarahan lain yang membumbui keluhan pria 31 tahun ini. Kemudian dia melajutkan dengan berapi-api. “orang kampung juga tidak tau syukur, kita para guru tidak dihargai, kita maunya ini mereka maunya itu, rambut anak mereka kami cukur biar rapi, eh mereka malah marah-marah. Kami buat ladang sekolah juga dilarang katanya tanah tempat kami buat ladang itu adalah milik pastori (otoritas gereja), padahal ladangnya sudah jadi. Sedikit-sedikit kita dilaporkan ke dinas. Di depan mereka aja aku ini menyapa tapi dalam hati aku dongkol. Belum tau mereka bagaimana susahnya mengajar di sini, jauhya minta ampun, terkepung gunung, ongkos mahal, listrik tidak ada, jaringan apa lagi, belum lagi biaya hidup tinggi dan gaji kita ndak seberapa. Tengok sekeliling rumah! apa ada yang bisa kita makan!”. Kutengoklah sekeliling rumah dan awalnya saya bingung maksud “apa ada yang bisa kita makan?”.

Ternyata pernah suatu ketika beliau menanam sayur-sayuran untuk konsumsi rumah tangga seperti lombok, tomat, singkong dan kawan-kawan di belakang sekolah. Setelah tumbuh lumayan besar beliau meninggalkan kampung selama beberapa minggu untuk sebuah urusan keluarga, tapi sekembalinya ke sini semua tanaman itu telah tiada, tergusur oleh proyek pemasangan PLTS yang belum jadi sampai sekarang. Yang lebih sakit hatinya lagi adalah masyarakat kampung hanya membisu seolah-olah tidak terjadi apa-apa, penyampaian dari birokrasi kampung pun sebagai pihak yang paling bertanggungjawab tak kunjung datang. Permohonan maaf juga tidak ada. Aduh pak, sakitnya tuh di mana ya?
  Percakapan yang cukup panjang itu dipotong oleh kedatangan 3 orang guru, sebut saja namanya Pak Adi, Pak Rendi dan Pak Nur. Pak Nur adalah guru PNS bergolongan IIa yang telah mengabdi selama lebih dari 12 tahun di sekolah tempat tugasku ini. Sedangkan 2 lainnya adalah guru PTT yang akan menggenapkan 1 tahun masa kerjanya pada September tahun 2015. Sebagai junior yang memebutuhkan informasi maka boleh lah saya SKSD sama mereka, apalagi dikit-dikit aku iso lah ngomong jowo mas, wong pa’e ku wong jowo. Hahai, assiikk-asik jos!!! Modal Bahasa Jawa seadanya, tau nya Cuma’ nengkene dan nengkono ternyata powerful dalam mengakrabkan percakapan. Kesadaran bahwa kita sama-sama perantau, berpropesi sama, plus sesuku-walaupun cuman stengah-itu dapat menumbuhkan hubungan emosianal maka secepat kilat saya langsung merasa punya keluarga di kampung orang. Alhamdulillah! Dan dari mereka-mereka lah saya mendapatkan informasi tambahan mengenai kondisi sekolah beserta seluruh yang berkaitan dengan itu. 

Saya dan Ahmad, kawan seperjuangan, mulai memperkenalkan diri dan tujuan kami datang ke kampung itu. Saya katakan bahwa di pundak kami ada sebuah tanggungjawab yang sangat besar terhadap dunia pendidikan negeri ini. Kami meninggalkan keramaian kota yang serba lengkap dengan segala fasilitasnya demi hadir di sekolah ini mengabdikan ilmu yang kami punya. Perjalanan kami mulai dari kampung halaman sampai di sekolah semua dibiayai oleh Negara bahkan makan dan mandi kami menggunakan uang Negara, maka pantang bagi kami mundur walau hanya sejengkal. Orasi singkat itu hampir saya tutup dengan berteriak hidup mahasiswa! Tapi syukurlah saya masi waras dan tidak berteriak apa-apa.

Para guru yang budiman itu tidak menampakkan expresi yang waw, mereka santai aja, lalu kemudian bergantian memberi komentar tentang tujuan kami untuk medidik di sekolah mereka.

“Mudah-mudahan sampean betah di sini pak, anak-anak kami tidak seperti anak-anak di kota yang cerdas”. Kata Pak Rendi sambil menyapu Jenggotnya yang baru belajar tumbuh.

“Bapak-bapak ini sudah dapat penggambaran dari dinas tentang sekolah kami?” Sambung Pak Nur seraya melilit-lilit kumisnya yang tebal.
Belum sempat saya menjawab belum, beliau melanjutkan dengan alis sedikit mengkerut.

“Di sini mereka sekolah semaunya Pak, datang dan pulang itu seenak mereka, mana bisa kita terapkan aturan sekolah yang sebenarnya, belum lagi kalo mereka mau ke ladang atau berburu di hutan, ya mereka pergi begitu saja”
Pak Harry kembali bergairah berceloteh, dia menambahkan “hmmhh kalian liat sendiri lah nanti, bagaiman kelakuan mereka itu. Tidak tau sopan santun mereka Pak, didikan dari orang tua mereka juga itu. Ketemu di jalan mana mau mereka senyum atau menyapa”

Pak Adi sepertinya mau ikutan berkomentar tapi gerakannya lamban sehingga selalu terdahului oleh Pak Nur yang memang lebih senior dari semua guru itu.
“sudah sering saya bermasalah sama orang tua siswa di sini Pak, karena kalo mereka sudah keterlaluan, kuTennndhang pantat mereka itu, marah ya marah, terserah mereka saja mau ngapain, saya kan mendidik, di pecat ya wwes!”
           
Komentar mereka meluncur deras membasahi kobaran semangat di dadaku hingga nyaris padam. Semuanya memberikan pandangan yang sangat pesimis dan negative tentang kondisi sekolah dan masyarakat kampung. Sebagai orang baru yang belum tau apa-apa, rasa-rasanya dada saya sangat sesak dan ingin pulang saja. Apa lagi, mereka sudah lama berada di sana dan paling tidak mereka sudah berpengalaman, kenyang makan garam kehidupan. Dan lebih menyesakkan lagi, Pak Harry menutup diskusi dengan sebuah pengakuan yang cukup menggelisahkan bahwa dia telah melayangkan surat pengunduran diri sebagai kepala sekolah dan meminta agar dipindahtugaskan ke sekolah lain. Ya Allah, bagaiman nasib kami.
           
Sore itu, setelah diskusi yang cukup meredupkan semangat, saya lebih banyak merenung dan mulai malas berbicara, segala bentuk percakapan kurespon seadanya bahkan cenderung menghindar. Saya menyibukkan diri dengan mambayangkan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi, bagaiman kalau senin besok para siswa tidak mau belajar bahkan mengerjai saya dan mungkin juga mereka akan mengajak saya bekelahi mengingat postur tubuh yang kurus kering ini. Ah semakin saya memikirkan hal-hal yang buruk itu rasa takut ini semakin menjadi-jadi bahkan terlintas pemikiran untuk tidak usah masuk kelas.

***
“Happy yeyeye happy yayaya saya senang jadi anak Tuhan, siang jadi kenagan malam jadi impian cintaku semakin mendalam”. Kira-kira begitulah lirik lagu anak-anak yang berbondong-bondong berjalan keluar dari pintu gereja. Sore mulai agak gelap dan warga kampung satu persatu kembali kerumah masing-masing. Saya masih duduk seorang diri di teras rumah. Pak Yohanes dan istrinya, Buk Rina memecah lamunan saya dengan menyapa ketika mereka hendak memasuki rumah yang hanya dibatasi oleh dinding dengan yang saya tinggali. Mereka adalah sepasang guru juga di sekolah ini. dengan bahasa toraja, kami bertegur sapa dan saling kenal menganal seadanya. Lagi-lagi kawan, saya merasa menemukan keluarga baru hanya dengan modal bahasa.
           
Malam tiba, setelah makan dan solat kembali saya duduk menyendiri di teras rumah sedangkan Ahmad dan 4 guru lainnya sedang asyik menonton film di laptop dengan daya baterai sisa-sisa kota. Ternyata pak Yohanes dan istrinya juga ada di teras mereka, jaraknya lebih kurang hanya 2 meter sehingga percakapan kami cukup dengan nada rendah. Pak Yohanes adalah alumni IKIP Makassar yang sekarang menjadi UNM pada 1996. Beliau mengantongi Akta 4 dan Ijasah D.2 jurusan Pkn, sertifikat itu cukup mengantarkannya menjadi guru PNS golongan 2D dan telah mengabdi selama 13 Tahun. Sedangkan Istrinya yang juga SolDomi (Solata’ Domai - sebutan keakraban untuk orang-orang Toraja) adalah guru PTT berijazah SMA yang sudah berkarir selama 10 tahun di sekolah yang sama. Dan malam itu saya lebih banyak mendengarkan informasi tentang sekolah dan pengalaman mengajar Ibu Rina daripada suaminya yang lebih banyak tertawa-tawa kecil sambil mengepulkan asap rokoknya.    
            “saya sudah mengajar 10 tahun di sisni pak, waktu awal-awal mengajar, anak-anak di sini tidak pake baju, tidak mandi dan sangat susah paham kalo di ajarkan materi. Mereka semua saya suruh pulang kalo tidak mandi, saya cubit telinganya kalo tidak pake baju dan Pujii Tuhan, sekarang mereka sudah pake baju ke sekolah dan juga sudah agak bersih, cuman kalo bodohnya itu masi Pak. Susah betul mereka paham, dilembuti, dikerasi sama saja, pokoknya kita jadi guru itu harus benar-benar sabar” Ibu Rina menjelaskan dengan logat Toraja bercampur Berau.

“Wah hebat itu Bu’ berarti ada perubahan” saya jawab memberi semangat.

“oh iya pak, anak-anak kelas satu dua itu semua takut sama saya, nda berani mereka itu macam-macam kalau Ibu Rina yang ajar”

“ibu killer juga ya, hehehe”

“begitulah pak, kan kasian juga mereka kalo tidak dididik dengan benar”

Singkat cerita, Buk Rina memenuhi percakapan yang nyaris sama dengan guru lainnya, penuh dengan nilai negative tentang kualitas siswa, yang membedakan cuman bahasanya saja, Bahasa Jawa Vs Bahasa Toraja. Perasaanku semakin horror, sudah 6 guru termasuk kepala sekolah yang saya temui dan semua memberikan penilaian yang minus tentang sekolah tempatku beraksi selama 12 bulan kedepan. Tersisa dua guru lagi, yang tidak sempat kutemui hari itu, Ibu Eka, orang jawa juga dan yang terakhir Pak Maret, Pemuda Kampung Lamcin sendiri. Setelah beberapa kali pertemuan saya dengan Ibu Eka, ternyata dia Juga pesimis dengan masa depan sekolah. Pak maret sendiri sebagai Pribumi tidak banyak memberi komentar karena dia lebih senang mendengarkan dan melempar senyum.

***
Malam semakin larut, binatang malam bernyanyi dengan kalut, menghibur hati yang semakin takut. Kubungkus wajahku dengan sarung, berharap esok luka hati kan terbalut.


Long Lamcin, 1 September 2015

On SM-3T Mission Gallery

This gallery shows what did i do at Berau Regency during my mission as a young educator on behalf of Maju Bersama Mencerdaskan Indonesia. I am proud of being a witness of a real Indonesia.
karena pendidikan adalah hak segala bangsa