Download PDF

~PEMIKIRAN~

{download}

Porseni, Berjuang atau Pulang Saja #8Hari Pertama Melakoni Laga

Tournament, day 1
Siapa sangka, menjadi guru mengantarkan kami pada banyak wisata.
Mengenal budaya masyarakat dayak salah satunya.
Foto bersama para penari cilik.
Acara pembukaan Olimpiade Sains, Olahraga, dan Seni Nasional (O2SN)
Lebih Populer dengan kata PORSENI 

Sebuah mobil truck hijau telah membunyikan klakson di depan rumah Ibu Eka. Masih sangat pagi dan jemputan telah datang, kami bergegas menaikkan barang yang telah dipersiapkan malam sebelumnya. 3 jam kemudian kami telah tiba di Kampung Merapun.
Merapun kelihatan lebih ramai dengan deretan rumah yang rapat dan jalan aspal di pusat keramaiannya. Meskipun masih termasuk perkampungan orang-orang Dayak, komposisi masyarakatnya lebih heterogen dengan banyaknya pendatang yang mengadu nasib di sana. Sebuah perusahaan sawit yang berhasil merebut hutan hujan tropis dari masyarakat adat dan merubahnya menjadi hutan kelapa sawit yang terbentang luas menjadi daya tarik tersendiri untuk para pendatang yang kebanyakan berasal dari bagian timur Indonesia, termasuk orang-orang bugis.
Perpaduan budaya yang terdapat di kampung Merapun menjadi salah satu faktor utama yang mendorong terjadinya perkembangan dalam banyak sektor kehidupan. Akses jalan lebih mudah, informasi lebih cepat, dan fasilitas-fasilitas publik lebih lengkap daripada perkampungan lain yang ada di kecamatan Kelay. Dengan semua itu maka tidak heran jika kegiatan PORSENI bukan kali pertama diadakan di Merapun. Ada dua sekolah dasar yang menjadi tuan rumah dan merekalah yang menjadi favorite juara umum tahun ini sama seperti tahun-tahun sebelumnya.
Setelah upacara pembukaan yang dihadiri oleh kepala dinas kabupaten Berau, dan dimeriahkan oleh tari-tarian khas suku Dayak, lomba lari 100 meter untuk putra dan putri langsung dimulai.
“Amos, Yenni, siap-siap! Kita akan segera bertanding.”
“Boleh pake sepatu kah, Pak guru? Kaki aku sakit” kata Amos sambil menunjuk bekas tusukan paku di telapak kakinya.
“Iya, nak. Ayo cepat!” kami langsung menuju ke kerumunan di tengah lapangan bola. Panitia memperbolehkan peserta memakai sepatu atau tidak, tapi kebanyakan melepas sepatu karena rumputnya agak licin.
“Amos, Yenni, kalian perhatikan cara startnya ya, seperti yang pak guru ajarkan, jangan melewati garis dan fokus dengan wasitnya, ketika peluit berbunyi kalian langsung tancap gas dan jangan berhenti atau menoleh kanan kiri sampai melewati garis finish. Lihat, ada garis pembatas, kalian jangan masuk dalam jalur pelari yang lain, Ok!”
“Ok, pak guru!” terlihat wajah tegang mereka dan sangat jelas bahwa keramaian memengaruhi mental mereka.
“Kalian semua, ayo berikan semangat kepada saudara kalian, tangan di dalam dan mari berteriak yang keras” seluruh pasukan termasuk para guru membentuk lingkaran kecil kemudian menyatukan tangan di tengah.
“Laamcin, Laamcin, Lamcin, HuuuuuuHhaaaaa” hentakan suara yang keras menggema seantero lapangan, membuat konsentrasi massa sejenak tertuju kepada kami. Nama Lamcin mulai dikenal. Amos langsung melangkah dengan pasti menuju garis start.
“Bersedia, Siaaappppp, Priiiiitttt” Wasit meniup peluit dan 7 pelari telah meninggalkan posisinya, tapi Amos masih diam di sana.
“Lari, Mos!” teriakku dengan lantang. Seperti terkaget, Amos langsung berlari tapi telah tertinggal sekitar 2 meter.
Nafasku tertahan karena tegang, sungguh tak siap jika pada putaran awal team kami langsung kalah. Deretan penonton terlihat berbaris rapat, berteriak riuh mendukung jagoan mereka masing-masing. Sengatan mentari pagi menambah panasnya pertandingan. Terlihat di dalam lintasan Amos bergerak cepat seperti sedang mengejar babi, dia satu-satunya peserta yang tidak melepaskan sepatu. Dengan cepat ia melewati peserta lain yang larinya melambat karena kehabisan nafas, kini nampak jelas 3 peserta terdepan yang mendekati garis finish dan Amos salah satunya. Peluit kembali berbunyi, para pelari telah melewati garis finish. Saya langsung mendekat tak sabar melihat hasilnya dan ternyata Amos menempati posisi 2, ia berhak melaju ke babak final.
Di momen ini, latihan baris berbaris memenuhi panggungnya.
Gagah perkasa pasukan Lamcin yang dinahkodai oleh Pak Adi.
Momen ini bukan sekedar berseragam olahraga sekolah,
ini adalah eksistensi.

Bukan tegang, barisan sedang menguji mental para pesaing.

“Wow, very goog my boy! Give me ten!” dia nampak sangat kelelahan tapi senyum bahagia tetap tergurat di wajahnya.
“Larimu sangat cepat, luar biasa. Perhatikan bunyi peluit pada saat permulaan ya, kamu bisa yang tercepat, tadi kamu tertinggal beberapa langkah saja”
“Siap, pak guru!”
“Ok, Good. Sekarang kamu istirahat.” Saya kemudian meninggalkan Amos dan mengejar Yenni yang sudah bersiap-siap di garis start.
“Yenni, dengarkan aba-aba siap, nak. Jangan tertinggal satu langkah pun. Pandangan terus kedepan sampai finish. Mengerti!”
“Mengerti, Pak guru!”
“Bersedia, Siaaappp….” Peluit belum berbunyi dan beberapa atlet langsung berlari, penonton menjadi riuh, sebagian mengolok dan yang lain sok menyemangati. Kulihat wajah Yenni semakin gugup.
“Santai, nak. Itu sudah biasa terjadi. Tetap fokus” saya mencoba menenangkan dia.
“Bersedia, Siaaappppp, Priiiitttt” seluruh peserta langsung berlari termasuk Yenni, awal yang baik. Dia meninggalkan beberapa peserta yang lain, dan berada pada posisi 4 terdepan, saya mulai tersenyum dan berpikir dia akan menang. Tapi tiba-tiba saja larinya melambat, dan satu-persatu peserta lain meninggalkannya. Semakin dekat dengan garis akhir, larinya semakin melambat dan jelas terlihat dia menyeret kaki kirinya. Saya menggaruk kepala yang sebenarnya tidak gatal kemudian berlari ke garis finish. Ia berada di posisi 2 paling buncit, gagal ke putaran final.
“Kamu kenapa, Nak?” tanyaku cepat
“Kaki saya sakit, Pak guru” katanya sambil menghapus keringat di dahi.
“O, ayo sini, kita ke tempat teduh beristirahat, tolong papah temannya, nak” pintaku kepada yang lain.
Putaran final untuk kelompok putra akan segera digelar. 8 pelari yang terseleksi dari 2 gelombang kini berbaris di gari awal. Amos menempati jalur nomor 7 dan sudah siap untuk memenangkan pertandingan. Suara teriakan penonton menambah tegangnya suasana. Pemimpin lomba meniup peluitnya dan seluruh peserta langsung bergerak maju. Amos mengawali laga dengan baik dan akhirnya finish di urutan ke dua. Dia hanya telat sepersekian detik dari pelari tuan rumah yang bertubuh jangkung dengan kulit berwarna gelap, mirip Husain Bolt.
Kami semua langsung menyambut Amos dengan suka cita dan tak henti-hentinya memuji hasil yang dia torehkan. Awal yang sangat baik, satu medali perak telah berhasil kami genggam di hari pertama. Kami kembali membentuk lingkaran lalu berteriak sekencang-kencangnya. “Laamcin, Laamcin, Lamcin, HuuuuuuHhaaaaa”.
Amos, Pak Adi.
Murid Guru yang menjelma menjadi sepasang sahabat.
Beginilah seharusnya pendidikan itu

Sore itu jadwal pertandingn sangat padat, kurangnya jumlah atlet membuat beberapa anak harus bermain di banyak cabang olahraga yang berbeda. Untungnya, panitia memaklumi dan mau mengaturkan jadwal agar tidak bertabrakan dengan pertandingan yang lain. Sepak takraw dengan mudah dimenangkan 2 set langsung, sepak bola sangat mengejutkan karena team bermain hebat dan unggul dengan skor mutlak 4-0. Sedangkan cabang olahraga yang kami andalkan justru mengalami sedikit kendala, pertandingan volley.
Anak-anak Lamcin terlahir dan tumbuh bersama permainan ini tapi kurangnya informasi yang kami terima membuat kami semua terkejut dengan aturan pertandingan yang diterapkan. Sesuai dengan tingkatan Sekolah Dasar maka pertandingannya adalah pertandingan volley mini. Hanya ada 4 pemain di dalam lapangan yang ukurannya jauh lebih kecil dari lapangan dewasa. Team lamcin sangat kesulitan menyesuaikan diri dengan kondisi lapangan yang kecil itu, setiap kali melakukan servis bola mereka melewati lapangan. Terlebih lagi ketika melakukan smash, bola selalu out. Team putra kalah diset pertama, 15-25.
“Bermain rileks, nak. Tidak usah terbebani oleh penonton yang ramai. Ingat, kalian unggul dalam kekuatan tapi terlalu sering mematikan bola dan itu menambah point lawan. Kontrol permainan, jangan terburu-buru, main yang cantik dan usahakan smash menukik, jangan melambung, ini lapangan kecil, Ok!” saya memberikan masukan selayaknya pelatih propesional. Kami kemudian bersorak kompak.
“Are you ready?”
“Yes, yes Ready!”
“Lamcin, Lamcin, Lamcin, huuuuuhaaaa!”
Amos, Welden, Yaret, dan Jeki mengambil posisi dan lawan melakukan servis. Bola tepat kearah jeki yang berada di posisi belakang, jeki melakukan passing ke Yaret yang berada dekat net, Yaret mengangkat bola dan Amos melakukan lompatan tinggi, Smash yang kuat namun bola terhenti oleh jaring net.
“Percobaan yang bagus. Sedikit lagi, Nak!” teriakku di sisi lapangan.
“Long Nguikian, Long Nguikian” sorak sorai pendukung menyemangati lawan kami. Bola kembali menyebrangi net Lamcin, Welden langsung mengembalikan tanpa memberi umpan, pemain Long Nguikian kembali menyebrangkan bola, Yaret melakukan passing bawah kepada Jeki, Jeki kepada Amos dan lagi, dia melepaskan smash keras. Kali ini meluncur dengan tajam tanpa bisa di halau oleh pemain lawan. Skor untuk Lamcin dan sorakan penonton semakin riuh. Kejar-mengejar angka terlihat sangat ketat di set ke dua ini, Lamcin lebih ungul 2 angka dan akhirnya menutup set ini dengan keunggulan 25-22.
“Permainan yang sangat bagus, kalian harus pertahankan itu. Ini set ketiga, set penentuan. Jangan sampai lengah karena kita masih ingin bertanding besok, betul?”
“Betul!”
“Good, menangkan pertandingan ini. Perlihatkan kekompakanmu, mari bersorak!”
Laga perdana cabang bola voli. Jeki menyambut bola.
Sore itu, sengatan mentari masih bengis, mempercepat cucuran keringat para pemain, sporter, dan penonton.

Sementara tim putra bertanding, tim putri melakukan latihan di halaman posko

Pertandingan kembali berlanjut dan anak-anak mulai bisa mengontrol pukulan mereka. Irama permainan semakin menarik dan akhirnya Lamcin keluar sebagi pemenang dengan skor yang cukup telak, 25-12. Setelah itu, pertndingan volley putri juga dimulai dan hasilnya sama menyenangkan dengan skor yang lebih meyakinkan, kemenangan 2 set langsung.
Langit yang tadi berwarna jingga kini berubah menjadi gelap, sore telah habis terbungkus malam dan lapangan perlahan sepi. Kami kembali ke rumah tempat kami menginap yang terletak tak jauh dari lapangan, lalu beramai-ramai menuju sungai untuk membersihkan diri. Sepanjang perjalanan sampai kami pulang dari sungai, anak-anak terus bercerita tentang apa yang telah terjadi, semua merasakan kemenangan dan semua merasa bahagia. Satu pertandingan lagi untuk menutup hari pertama ini, pertandingan bulu tangkis.
Gedung pertandingan sudah sepi ketika Lamcin bertanding melawan Panaan. Walaupun begitu, jalannya pertandingan tetap seru dan sangat mengesankan. Kami yang tidak punya lapangan badminton di kampung tidak berambisi untuk menang bahkan sudah menyiapkan alibi jika benar-benar kalah, “Ya wajarlah kita kalah, raket saja kita tidak punya”. Team ganda putri yang lebih dulu bermain dengan mudah tumbang dari pasangan SD Panaan. Tetapi team putra yang diisi oleh 2 sepupu, Jeki dan Yaret, tampil mengejutkan dengan memberi perlawanan sengit bahkan unggul di set ke tiga dengan kemenangan jus, 17-15. Wow, Unbelieveble. Lagi-lagi kami menang.
Wajah-wajah kelelahan dan mengantuk kini berubah cerah untuk menapaki jalan kembali ke peristirahatan. Sungguh hari yang sangat luar biasa, kemenangan demi kemenangan kami torehkan bahkan sudah memastikan satu medali perak. Kami menutup hari pertama PORSENI dengan sangat gemilang, terlebih karena kami, SD N 012 Kelay adalah pendatang baru dalam even tahunan ini. Rasanya berat untuk move on, ingin kunikmati lebih lama perasaan bahagia seperti ini, tapi rasa kantuk tidak bisa terkalahkan, I must sleep because tomorrow will be more challenging.

***
Baca part lain dari cerita Porseni ini:

Porseni, Berjuang atau Pulang Saja #7 Kelay

Kekuatan penuh.
13 pasukan yang akan berperang di medan juang, dan 4 pendamping
Berdiri depan: Saddang, Jeki, Mika, Yaret, Simson, Dion, Yeni, Herlina, Resta, Ibu Linlin
Berdiri belakang: Musa, Juli
Jongkok: Yoses, Pak Nur, Nopel, Firaun, Ahmad
Kelay
Hujan mengguyur perjalanan kami, sedangkan mobil yang kami tumpangi adalah mobil dengan model single cabin. Jadilah 10 penumpang basah kuyup, menggigil kedinginan. Untung saja, barang bawaan kami seperti tas, selimut, peralatan dapur, dan lain-lain telah dimasukkan ke dalam box yang diangkut oleh mobil lainnya bersama 6 penumpang sehingga barang itu aman. Canda dan tawa menemani perjalanan kami pada hari itu sehingga dinginnya cuaca dapat terimbangi dengan hangatnya suasana.
“Siapa yang belum mandi ini? makanya hujan turun!” tanyaku bercanda.
“Yoses, Pak guru!” mereka kompak menunujuk jagoan kelas 4 itu. Yang dihakimi bukannya membela diri malah bangga menjawab sambil menyisir rambutnya dengan 5 jari “Nyata!” lalu semua tertawa.
“Sudah makan semua?” kembali saya bertanya, mencoba mengalihkan perhatian anak-anak dari licinnya medan yang kami lalui.
“Saya sudah, Pak guru” mereka rebutan menjawab seolah-olah akan dapat hadiah satu bintang.
“Jek, makan apa tadi, nak?”
“Ya makan babi, sedaaapp” Jeki tanpa malu mempertontonkan senyum ompongnya.
“kalau saya daging pelanduk, pak guru. Dion menjawab tanpa ditanya.
“Wih, mantap. Siapa yang tangkap, nak?”
“Kakek saya, Pak guru”
“Kalau kamu makan apa Yos?”
Tanpa ragu sedikit pun, Yoses menjawab “monyet, pak guru”
“Apa? Pak guru monyet?” tanyaku memajukan dada.
“Bukan pak guru, yang saya makan itu monyet.”
“O, saya kira kau ngatain pak guru, yos! Enak kah monyet itu?”
“Enak, Pak guru. Yang tidak enak itu orang hutan (baca: orang utan)”
“Kenapa?”
“Iya Pak guru, kayak orang betul rupanya. Ih, jijik sudah saya makannya. Nda tega”
Hahaha rupanya punya rasa jijik juga mereka, tapi untuk satu minggu ini mereka akan berpuasa dengan semua jenis makanan liar itu, tak ada lagi babi, rusa, musang, landak dan sebagainya, karena sebentar lagi mereka akan makan makanan “ringan”, mie instan dan telur, syukur-syukur kalau ada tahu tempe. Jelas ini akan menjadi pelajaran baru buat mereka. Perjalanan terus berlanjut dan sesaat kami semua hening menahan nafas.
Sejenak menenangkan mesin yang lelah berpacu dengan medan.
Terlihat pak supir yang sedang memantau kondisi kendaraannya
Sebuah turunan yang menukik dan langsung disambung dengan tanjakan yang tinggi, mobil meluncur cepat lalu kemudian mengerang kesusahan mendaki. Ban mobil hanya berputar di tempat karena debu jalanan yang kini berevolusi menjadi lumpur tebal. Bukannya bergerak maju, mobil tetap di tempat dan sesekali bergeser ke kiri dan ke kanan. Lumpur berserakan seperti adonan kue yang tak sengaja tersenggol dari atas meja. Sedangkan jurang-jurang yang berada di sisi jalan nampak memanggil-manggil. Terlihat sang supir dengan wajah tegang dan tangan terburu-buru mengatur alat kemudinya. Beberapa saat kemudian akhirnya mobil berhasil melalui tanjakan itu dan terdengar helaan nafas yang panjang dari semua penumpang. Tapi ketegangan belum usai, sebuah jalan datar dengan kontur yang miring membuat mobil menari-nari di atas lumpur. Sang supir mengarahkan roda ke kiri tapi kondisi jalan yang licin membuatnya sulit dikontrol, Hillux putih nyaris menabrak tebing, mungkin takut mobil barunya terluka, dengan lincah pengemudi itu membanting stirnya kembali ke kanan dan mobil melintang di tengah jalan tepat mengarah ke jurang yang sangat dalam. Untungnya mobil langsung berhenti di situ, ada gundunkan tanah yang menghentikannya.
Andai saja jalan itu ramai dilalui kendaraan maka habislah kami semua. Seluruh penumpang turun mencari ruang yang lebih bebas, terlihat wajah-wajah pucat dan tegang. Saya sendiri mendekati tebing yang basah, duduk jongkok memeluk lutut lalu menarik nafas panjang kemudian melepasnya seraya membaca istighfar, “Astaghfirullaah”. Mobil yang satu lainnya datang menghampiri, menanyakan kondisi lalu mencoba menenangkan kami. Tak lama kemudian perjalanan kembali dilanjutkan dan akhirnya kami sampai di jalan beraspal. Itu artinya kami telah tiba di ibukota kecamatan Kelay, Alhamdulllah.
Akhirnya kami menjumpai jalan beraspal.
butuh waktu berjam jam untuk bisa sampai di sini
"Ketika Aspal telah nampak, kita telah tiba di Kelay"

***
Baca part lain dari cerita porseni ini:

Porseni, Berjuang atau Pulang Saja #6Dream is around the corner

Dream is around the corner
Teruslah tegak berdiri perjungkan mimpi mimpimu.
Walau kadang kau harus merangkak dan jatuh
bngkit, bangkitlah. ingat, kasih Tuhan
bersama para pejuang mimpi.

7 hari lagi menuju mimpi, proposal telah terkirim ke perusahaan dan LSM, tinggal menunggu hasilnya. Dalam masa penantian yang harap-harap cemas itu, latihan semakin ditingkatkan dan anak-anak juga semakin penasaran. Sejak pagi hingga sore latihan olahraga terus berjalan dan malam harinya kami manfaatkan untuk latihan vocal group.
Sebuah lagu yang sangat terkenal dan sarat akan nilai pendidikan di daerah tertinggal menjadi pilihan kami, Laskar Pelangi dari band Nidji. Sedikit kemampuan yang saya miliki dalam memetik gitar menjadi modal yang cukup untuk mengiringi suara 14 anak-anak harapan bangsa bernyanyi. Tidaklah terlalu sulit untuk mengajari mereka memasukkan nada karena mereka sudah terbiasa bernyanyi di gereja, terlebih pada hari minggu. Yang menjadi sedikit kendala adalah urusan menghapal teks dan menghapal koreo atau gerakannya. Meskipun waktu latihan yang kami miliki hanya sebentar, tapi kami tetap tak ingin tampil setengah-setengah. Untuk melengkapi penampilan vocal group ini, Ahmad menambahkan sebuah puisi 4 bait yang dia ciptakan sendiri lalu dibacakan oleh 4 orang anak secara bergantian.
Dengan kedisiplinan dan latihan yang keras, akhirnya lagu laskar pelangi lengkap dengan puisi dan gerakannya sudah siap untuk ditampilkan. Bersamaan dengan itu, kabar menggembirakan juga datang dari perusahaan Amindo dan LSM Payopayo. Amindo mencairkan dana sebesar Rp5.000.000 sedangkan Payopayo sebesar Rp2.000.000. 7 juta Rupiah ditambah dengan dana konsumsi dari warga sebesar Rp2.500.000 menjadi Rp9.500.000. Uang itu masih belum cukup untuk total biaya yang kami butuhkan maka kami para guru menyisihkan gaji kami untuk menggenapkannya menjadi Rp12.000.000.
Manggris, pohon madu kata mereka.
Atau apapun namanya, aku tak lelah mengaguminya.
aku belajar tentang ketegaran.
tetap kokoh menjulang langit, walau apa pun yang terjadi.

Pada hari itu juga, tanggal 4 februari, Pak Adi, Ibu Eka, dan Pak Rendi lebih dahulu berangkat ke kota untuk mencari mobil, membeli kostum team dan mempersiapkan rumah yang akan kami tinggali di kecamatan sebelum menerima jemputan ke Merapun. 2 hari berselang, Pak Adi mengirimkan kabar bahwa 2 mobil yang akan mengantarkan kami sudah siap, begitu pula dengan kostum team dan rumah yang akan kami tumpangi selama satu malam di Sido Bangen, ibu kota kecamatan Kelay.
Ketika menerima kabar itu, perasaanku begitu berbunga-bunga dan langsung menyampaikannya kepada siswa-siswi yang menjadi utusan sekolah. Mereka ikut bergembira dan dengan segera kembali ke rumah masing-masing, menyampaikannya kepada orang tua mereka dan mempacking barang-barang yang mereka perlukan selama 7 hari kegiatan.
Minggu yang cerah di awal bulan februari 2016, seluruh warga kampung untuk pertama kalinya berkumpul di tepi sungai, memeluk dan mencium anak mereka dengan hangat sebagai tanda perpisahan. Tatapan mata yang penuh harapan dan kekhawatiran kepada sang buah hati sungguh menyentuh perasaanku. Sungai yang jernih dan deretan pohon yang hijau menjadi saksi di pagi itu bahwa mereka, masyarakat adat di pelosok negri juga ingin berkembang dan maju. Seorang Ibu berambut putih diam-diam menghampiriku lalu dengan tatapan memohon ia berkata “Pak Guru, kas kas wa”. Angin menerpa wajahku lalu merasuk ke seluruh pori-pori, dadaku tiba-tiba sesak oleh perasaan haru dan bangga, dan tanpa kusengaja sungai tergaris di pipiku. Finally, we go to Merapun. Dream comes true.
Aku tak terlahir di sungai. tidak juga tumbuh bersamanya.
tapi ketika terjun bersama masyarakat yang menggantungkan
hidup mereka pada sungi, aku mengerti betapa berharganya dia.
aku mencintai sungai dan membenci mereka yang mengotorinya.

***

Porseni, bejuang atau pulang saja #5Menyalakan lilin

Berhenti mengeluhkan kegelapan, saatnya menyalakan lilin
Waktu terus berjalan dan sosok yang kami tunggu-tunggu belum juga muncul. Siapa lagi kalau bukan kepala sekolah. Dialah yang menjadi kunci dalam rangkaian panjang usaha ini. Anak-anak sudah siap, orang tua mendukung, para dewan guru juga sedang on fire, tinggal satu element lagi yang perlu ditambahkan dan ini akan menjadi sempurna, otoritas tertinggi sekolah.
Lamcin di pagi hari. Embun itu ada, sesuatu yang tak pernah
bisa kudefenisikan dengan tepat, apakah air atau asap.
tak pernah bisa, tapi aku suka padanya.
Lamcin. Pagi. Embun.
Sempurna 

Beragam cerita miring tentang sang pemimpin yang bungkam mulai bermunculan. Tentang isu pengunduran diri dari jabatannya yang simpang siur, tentang ketidaksepahamannya dengan bendahara sekolah yang mengakibatkan dana operasional dari dinas pendidikan tidak bisa dicairkan, tentang perang urat saraf antara dia dengan warga kampung yang membuatnya sangat tidak betah untuk mengurus sekolah, tentang kehidupan rumah tangganya yang sedang diterjang badai, tentang masalah pribadi, profesi, dan korupsi. Semakin banyak gossip yang berkembang, semakin banyak pula keluh kesah yang bermunculan.
Gejala ini membuat hati saya gelisah dan mulai memikirkan kemungkinan terburuk “SD N 012 Kelay lagi-lagi absen dalam kegiatan tahunan, SM-3T gagal membawa perubahan!” Ah tidak, jika itu terjadi maka satu tahun masa abdiku akan terasa hambar dan sia-sia. Sungguh memalukan. Siang itu, ketika anak-anak beramai-ramai meninggalkan sekolah, saya dan Ahmad beserta 4 guru lokal membuat rapat kecil-kecilan untuk membahas masalah ini secara serius dan mencari jalan keluarnya. Sebagai moderator dalam rapat itu, saya mulai membuka rapat lalu membacakan satu-satunya agenda pembahasan “pencarian dana kegiatan”.
 “Begini, Pak Saddang” Ibu Eka memulai dengan logat Jawa yang sangat medok, nama saya terdengar jadi SADHANG, “kita hitung dulu berapa total biaya yang kita perlukan, baru kita cari sumber dananya”
“Iya, Pak. Betul itu.” Kata Pak Rendi dengan logat Jawa yang sedikit lebih tipis. Diikuti anggukan dari peserta yang lain.
“Ok, yang kita butuhkan adalah 1. Biaya transportasi dari Lamcin ke Kecamatan, pergi-pulang. 2. Konsumsi selama 7 hari dari tanggal 7-13 februari. 3. Biaya registrasi dan yang terakhir adalah kostum team. Ada masukan bapak ibu sekalian?”
“Saya, Pak Saddang” Pak Adi mengacungkan tangan. “Ada 2 jalur yang bisa kita pakai untuk transportasi, sungai dan darat. Kalau kita pake ketinting, bisa habis 40 liter bensin pergi, pulangnya sekitar 60 karena melawan arus jadi 100 liter itu kurang lebh 1 jt, untuk satu ketinting, dan kita butuh 3 ketinting jadi 3 juta, ditambah dengan pembayaran jasa motorist, anggaplah 1 jt per orang jadi total 6 juta. Sedangkan, kalau kita pake mobil kita butuh 2, sewanya 3.5 juta untuk pergi pulang per mobil, jadi total 7 juta. Itu saja dari saya kalau perhitungan konsumsi, Ibu Eka pasti lebih tau karena dia sudah ibu-ibu.” Hehehe.
Ibu Eka kemudian sibuk mencorat-coret kertasnya, menghitung semua biaya konsumsi yang dibutuhkan, mengambil standar yang paling rendah dan akhirnya menarik kesimpulan bahwa setiap orang menghabiskan Rp.150.000 selama 7 hari, 3 kali makan setiap harinya. “itu sudah yang paling murah, dan semuanya harus dikerja sendiri” katanya mengakhiri.
“Weh murah sekali itu, Buk! Apa tidak salah? Kalimantan ini e, saya paling murah menghabiskan 50 ribu per hari” Kata Ahmad dengan ekspresi terkejut.
“Pokoknya ibu-ibu yang ngomong jadi percaya aja” balas ibu Eka sedikit bercanda lalu tawa kembali pecah.
Setelah pembahasan tentang kebutuhan dana yang disimpulkan sebesar Rp.12.000.000 kami melangkah ke pembahasan cara memerolehnya. “Kita bisa memasukkan proposal bantuan dana atau jasa transportasi kepada perusahaan Amindo” Kata Ahmad memberi masukan.
“Pasti dikasih itu, Pak. Soalnya selama ini kalau kampung punya keperluan, perusahaan selalu bantu, nanti kita minta persetujuan dari kepala kampung kalau perlu” Pak Mared menambahkan dengan penuh keyakinan, dia memang pemuda asli kampung Lamcin.
“Ok, nanti kita susun proposalnya bersama-sama. Ada masukan lain?”
“Bagaimana dengan LSM Payopayo? Siapa tau mereka bisa bantu”
“Ide bagus. Nanti kita bicara langsung sama fasilitatornya, Buk Linlin. Kalau pemerintah kampung dan orang tua murid?” Saya kembali meminta pendapat. Raut wajah peserta rapat sontak mengalami perubahan, ada murung disana dan tiba-tiba suasana menjadi kaku.
“Boleh juga,” kata Pak Rendi dengan ragu “Cuman itu dia Pak, warga kampung selama ini kurang mendukung kegiatan sekolah, apalagi ini kita mau minta dana. Aku kurang enak aja”
“Tidak papa, Pak. Kita coba saja, kumpulkan orang tua wali, kita adakan rapat dan sampaikan kepada mereka tentang kondisi kita sebagaimana adanya. Ya hasilnya biar kita liat nanti. Toh kalau memang mereka tidak bisa membantu dan ujung-ujungnya kita tidak bisa pergi membawa anak-anak, kan mereka paham alasannya.” Saya berusaha meyakinkan.
Keheningan masih terasa dan tiba-tiba Pak Adi mengangkat suara. “Iya, betul juga itu Pak Saddang, selama ini memang orang tua tidak pernah dilibatkan dalam kegiatan sekolah makanya kondisi kita seperti terpisah dari masyarakat dan pemerintah kampung.” Pak Adi mengisyaratkan dukungan.
“Jadi bagaimana ibu bapak sekalian, Sepakat kah kita mengadakan rapat dengan warga?”
“Sepakat!” Terdengar ragu tapi jelas. Senyum tergurat di wajahku dan siang itu juga kami meninggalkan ruang rapat dengan perasaan sedikit terang, seolah-olah ada setitik cahaya di tengah kegelapan.
Saya pulang langsung membongkar file-file yang ada dalam note book biruku, mencari contoh undangan rapat. Ahmad langsung mengedit Prorposal kegiatan dan sore itu juga undangan beserta proposalnya sudah tercetak. Pada malam hari, kami membagi tugas untuk menyebarkan undangan dan tidak butuh waktu terlalu lama untuk meyakinkan orang tua untuk hadir keesokan harinya.
Rapat bersama guru dan orangtua/wali siswa di SDN 012 Kelay.
Pak Mared tersenyum tipis mendengar penyampaian
dari salah satu orangtua.

Waktu sudah pukul 8 tapi pagi masih gelap, hujan baru saja mengguyur kampung dan kabut tebal memangkas jarak pandang. Di ruang kantor yang baru jadi dengan warna hijau terang yang menyejukkan hati, rapat guru dan orang tua wali untuk pertama kalinya terjadi di sekolah. Kali ini, Pak Adi yang berperan sebagai moderator dan saya sendiri sebagai pembicara yang menjabarkan pembahasan rapat serta meyakinkan orang tua bahwa kegiatan ini sangat penting untuk anak-anak mereka.
“Ada tiga elemen penting yang menentukan keberhasilan pendidikan bapak ibu yang saya hormati. Yang pertama adalah pemerintah sebagai pembuat kebijakan. Yang kedua adalah bapak dan ibu guru yang menjadi pelaksana atau ujung tombak pendidikan dan yang ke tiga adalah masyarakat umum yang membantu dan mengawasi prosesnya. Maka melalui moment ini, peran serta dan kerjasama bapak ibu sangat dibutuhkan” celotehku dengan berapi-apai. Bla bla bla.
Peserta rapat kelihatan sedikit kebingungan dengan apa yang saya katakana, apalagi dengan cara bicara saya yang terlalu cepat seolah sedang berhadapan dengan sekelompok akademisi yang bisa dengan mudah memahami maksud pembicraan. Saya mengurangi kecepatan kemudian menyampaikan hal-hal yang sekiranya nyata di hadapan mereka.
“Ibu bapak masih ingat dengan perayaan natal gabungan 2 bulan lalu? Kampung kita menjadi juara 2 main takraw, dan yang bermain saat itu adalah Yaret, Jeki dan saya sendiri, sedangkan lawan-lawan kita dari kampung lain adalah orang-orang dewasa tapi kita bisa sampe juara 2, itu artinya anak-anak kita bisa berprestasi dan menjadi generasi yang hebat. Mau tidak anak-anak kita menjadi generasi yang hebat, bapak-ibu?”
Anggukan mulai terlihat dari para peserta rapat, dan akhirnya Pak Yohanes, Sekertaris kampung, mengangkat suara. “Kami para orangtua ini, sebenarnya mau juga melihat anak kami seperti anak sekolah di kota, bisa ikut pertandingan atau kegiatan-kegiatan macam ini, kami mau, cuman selama ini kami tidak tau bagaimana caranya. Kalau ada yang mau bawa dan usahakan saya siap membantu.”
“Pak guru, kenapa orangtua harus dimintai uang padahal dana BOS itu banyak, saya tau itu karena saya mantan kepala kampung. Tolong itu dijelaskan karena tidak semua kami ini orang mampu.” Pak Matius mulai membuka keran Uneg-uneg.
“Kami mengerti ketidakpuasan bapak-ibu dengan pengelolaan dana sekolah, hanya saja, kepala sekolah kita kurang aktif (“kurang aktif” sungguh kebohongan besar. TAK PEDULI, lebih tepat) sehingga kami para guru tidak tahu menahu soal dana. Kami tetap mengusahakan untuk memberitahukan beliau, tapi saat ini kami hanya ingin agar kita tidak bergantung pada satu orang dan bisa membawa anak-anak ke Merapun.” Setelah menjelaskan ini itu, akhirnya orangtua maklum.
Ternyata tidak terlalu sulit melakukannya. Tidak ada perdebatan yang berbelit-belit hanya beberapa keluh kesah warga kampung yang merasa tidak puas dengan perkembangan sekolah dan juga kinerja aparat sekolah. Tapi itu adalah hal yang sangat wajar dan akhirnya orang tua mulai membuka diri dengan para guru dan begitu pula sebaliknya. Layaknya setumpukan sampah yang telah lama menghalangi aliran air, tiba-tiba seorang pemulung datang mengobrak-abriknya, mengambil yang dia butuhkan lalu mencampakkan yang tidak berguna lagi. Air mengalir dengan bebas dan sang pemulung merasa lega. Begitulah perasaanku saat itu, perasaan si pemulung sampah.
Tuhan memberi kehidupan dengan menebarkan berjuta pepohonan.
Hutan adalah tangan tuhan untuk memeluk yang bernyawa.
Menjaga yang tak bernyawa.
Aku pernah di sana memandang alam dengan cinta.
mengagumi negeriku yang begitu kaya.
menemui mutiara hidup 

Hasil dari rapat itu sungguh menggembirakan. Orang tua siap menutupi dana konsumsi, sedangkan pemerintah kampung memberikan pendampingan ke perusahaan dan jika perusahaan menolak memberi bantuan maka pemerintah kampung siap menanggung biaya transportasi. Jalan semakin lebar terbuka, dan mimpiku untuk melihat anak-anak berlaga di medan tempur sedikit lagi akan terwujud.
“Berhentilah mengeluhkan kegelapan dan mari menyalakan lilin” kata Anis Baswedan. Kami menyalakan lilin demi secercah cahaya. Menjaganya tetap menyala. Tidak membiarkannya melalap apa saja. Lilin telah menyala, harapan kami bercahaya. Alhamdulillah.
***


Porseni, Berjuang atau Pulang Saja #Paradoks

Paradoks
Tanah yang becek tidak mengalangi peserta didik SDN 012 Kelay
untuk terus berlatih. 

Pak Adi sedang memberi instruksi kepada barisan pemain yang
akan melakoni pertandingan.
Terlihat suasana pagi yang cerah di kampung yang terkepung pegunungan ini.

Yaret di garda terdepan dalam perebutan bola untuk membuat gol.
Suasana permainan sepak bola di pagi yang sejuk setelah turun hujan

1 bulan menjelang pelaksanaan kegiatan, kesiapan anak-anak tambah mantap. Team sudah dibagi dan latihan lebih fokus dan semakin efisien. Kedatangan beberapa guru lokal menambah tenaga pelatih sekaligus meningkatkan optimisme dan semangat bahwa tahun ini, SD N 012 Kelay, Long Lamcin benar-benar akan mengikuti kegiatan PORSENI tingkat SD untuk pertama kalinya. Kami para guru membagi tugas pelatihan berdasarkan cabang olahraga dan seni. Pak Rendi melatih sepak bola, Pak Adi melatih sepak takraw, saya melatih cabang atletik, Pak Ahmad melatih melukis, dan yang terakhir Pak Mared melatih seni tari. Adapun olahraga volley, mendapat porsi latihan paling sedikit dan anak-anak latihan sendiri, kami hanya memberi pengarahan dan menyemangati.

Kurangnya sarana informasi yang tersedia membuat kami tidak tahu secara pasti tentang cabang olahraga apa saja yang akan dipertandingkan pada saat event nanti. Dan juga tentang tekhnis pelaksanaan, kami bahkan belum tau berapa biaya yang kami butuhkan untuk ke sana atau di mana kami nanti akan tinggal. Yang kami punya hanya satu, semangat untuk berpartisipasi. Dengan begitu, latihan yang kami lakukan hanya berdasar pada pengalaman pribadi saja ketika masih mengikuti loba semasa sekolah dulu. Apakah olahraga sepak takraw itu dipertandingkan atau tidak kami tidak tau yang pastinya anak-anak dilatih dan dipersiapkan.

Saya yang melatih cabang atletik yaitu lari, lompat, dan lempar tidak terlalu kesulitan karena pada dasarnya para murid memiliki fisik yang kuat, dan itulah yang paling dibutuhkan dalam olahraga. Setiap sore kecuali minggu sebelum latihan sepak bola dimulai, saya mengajak beberapa anak yang saya persiapkan untuk beberapa cabang lari. Welden (kelas VI) untuk lari marathon, Amos (VI) untuk lari sprint 100 m, Jeki, yoses, nopel, yaret dan firaun untuk lari stafet. Sedangkan untuk putri, ada Juli (V) pada kelas marathon, Yenni (III) untuk lari srint dan tidak ada atlit putri untuk lari stafet, maklum jumlah siswi hanya sedikit. Kami berlari menyusuri jalanan kampung yang berbukit dan berdebu. Terik mentari yang sangat menyengat membuat nafas lebih cepat habis. Untuk mengukur perkembangan mereka, saya menggunakan stop watch dan hasilnya sangat memuaskan, saya yakin mereka akan menjadi juara, setidaknya juara dalam kategori paling semangat. Lalu bagaimana dengan latihan lompat jauh?

Hamparan pasir halus di sepanjang tepian sungai menjadi arena lompat jauh yang paling eksotis. Air sungai yang jernih dengan suara gemericiknya yang merdu, hijaunya pepohonan yang berbaris sejauh mata memandang dan kicauan burung yang menghibur membuat latihan terasa lebih nikmat. Tidak perlu repot membuat spot karena semua tempat adalah spot yang baik untuk latihan. Setelah melakukan seleksi, Amos lagi lagi menjadi  pemain utama dan Welden sebagai cadangan. Jarak lompatan yang dijangkau Amos adalah 4,20 meter, raihan yang fantastis untuk ukuran anak sekolah dasar. Untuk urusan lempar, mereka hidup dari berburu dan menombak ikan. Tak perlu diragukan lagi.

            Semua latihan berjalan dengan sangat baik dan kepercayaan diri anak-anak juga semakin mantap. Rumor tentang kegiatan ini mulai sampai ditelinga orang tua dan semangat untuk melihat perubahan akhirnya menjalar pada mereka. Beberapa anak kini memiliki sepatu bola, benda yang sangat langka di kampung ini, bahkan ada orang tua yang merajut rotan yang dia ambil sendiri dari hutan untuk dijadikan bola takraw. Satu persatu aneka bola plastic bermunculan, permainan semakin banyak, dan kampung terasa lebih hidup. Hal yang belum pernah saya lihat sebelumnya.

            Dalam euphoria yang terus berkembang, ada satu fakta yang meredupkan semangatku. Uang!
            
Siang itu, saya ke camp perusahaan logging yang terletak tidak jauh dari pemukiman untuk tersambung ke internet menggunakan jaringan wifi yang dimiliki oleh perusahaan. Melalui salah satu social media saya berdiskusi langsung dengan ketua KKKS kecamatan Kelay untuk menanyakan teknis pelaksanaan kegiatan.
            “Assalamualaikum, apa kabar, Pak? Saya mau menanyakan perkembangan terkini terkait kegiatan nanti”
            “Waalaikumsalam, baik. Waktunya tetap 9-13 februari di Kampung Merapun. Setiap sekolah dikenakan biaya registrasi sebesar Rp. 20.000 persiswa, terhitung total jumlah murid yang terdaftar di sekolah. Jumlah peserta yang diutus tidak dibatasi disesuaikan dengan kemampuan masing-masing”
            “Apa-apa saja yang panitia fasilitasi, Pak? Agar kami bisa menyiapkan kekurangannya?”
            “Tempat tinggal dan transportasi Sidobangen (ibukota kecamatan) – Merapun. Jadi kalian yang di hulu sana usaha untuk bisa sampai di kecamatan, nanti mobil perusahaan sawit yang jemput untuk ke Merapun. Konsumsi selama kegiatan dibebankan sepenuhnya kepada sekolah sendiri.”
            “Bagaimana dengan pertandingannya, Pak? Apa-apa saja yang dilombakan?”
            “Kalu itu sudah ada jadwal lengkapnya, aku sudah buat dan akan segera dikirimkan kesekolahmu. Kenapa juga sekolah kalian tidak ada yang pernah mengikuti rapat, sisia kalian saja yang belum tau informasi itu”
            “Maaf, Pak, kami jauh dan juga tidak ada pemberitahuan kalau ada rapat yang diadakan. Kami pikir kepala sekolah sudah mengurusi itu”
            “Ah, kepala sekolahmu orang tidak beres. Dia tidak pernah muncul”
            “Hehehe, kami tidak tau kalau persoalan itu, Pak.”
            “Ya sudaah, persiapkan siswamu, bawa secukupnya saja biar hemat anggaran”
            “Ok pak. Tapi semua pembiayaan seperti transportasi, konsumsi dan registrasi di mana bisa kami dapa?”
            “Sebenarnya itu tanggungan kepala sekolahmu, tapi kalau dia tidak ada ya usaha sendiri, minta sumbangan orang tua murid kah, guru kah, perusahaan kah. Atau apa saja. Intinya kalian usaha.”
            
            Saya bingung mau membalas apa lagi, otakku bekerja keras memikirkan dana yang kami butuhkan sangat banyak tapi sepeserpun belum ada persiapan. Jari-jariku kembali menyentuh layar menuliskan kalimat “Terima kasih pak”. Belum sempat ada balasan yang masuk saya sudah beranjak meninggalkan camp perusahaan dan jaringan kembali terputus.

            Fakta itu menjadi beban berat yang terus saya pikirkan. Latihan tetap berlanjut seperti biasanya, mulutku masih tak berhenti mengeluarkan kata-kata semangat dan meyakinkan anak-anak bahwa kita bisa. Saya hanya tidak ingin mencederai semangat mereka, saya tidak ingin membunuh mimpi-mimpi yang telah terbangun, saya tak ingin melihat mereka terluka. Tapi sejatinya, hatiku ragu dan semangatku tidak seperti apa yang terus kutunjukkan pada mereka. Sungguh, ini adalah paradox.


***

Porseni, Berjuang atau Pulang saja #3Melatih mental dan fisik


Berlatih dan belajar disiplin



Permainan sepak bola semakin ramai, kini bukan hanya anak-anak yang bermain tapi pemuda kampung bahkan orang-orang tua juga ikut. Lapangan semakin sesak dan latihan anak-anak menjadi kurang efektif, tapi urusan keceriaan dan seru-seruan semakin seru. Anak-anak semakin bagus dalam menendang, memberi umpan, menyundul, dan mengontrol bola. Perkembangan mereka luar biasa pesat. Begitu pula dengan permainan takraw. Tepat di depan rumah yang saya tinggali, ada lapangan takraw yang sudah sangat lama tak dimanfaatkan, garis-garisnya tidak kentara lagi tertutupi oleh rumput yang tumbuh memenuhi lapangan. Hanya 2 tiang yang masih berdiri kokoh menandakannya sebagai lapangan takraw.
Lapangan itu kemudian kami bersihkan, Ahmad membuat garis dengan memanfaatkan kabel bekas yang tak terpakai lagi, kedua tiangnya kami hubungkan menggunakan tali rapia sebagai net. Ketika putus kami ganti dengan tali yang baru dan ketika tali telah habis kami menggunakan rumput jalar yang tumbuh subur di sekitar area tersebut. pokoknya kami tak kehabisan akal untuk tetap mersakan serunya bermain takraw. Minimnya fasilitas tak mampu menghentikan kami.
Meskipun tidak jago memainkan bola rotan itu, saya punya sedikit modal dengan kemampuan juggling yang saya miliki. Kebiasaan bermain futsal atau bola kaki memudahkan saya untuk memberikan pelatihan dan memperlihatkan contoh secara langsung kepada anak-anak untuk memainkan bola agar tidak jatuh ke tanah. Dan yang terpenting adalah mengajari mereka aturan-aturan dasar dalam permainan takraw seperti setiap team terdiri atas 3 pemain, ketika melempar bola pelempar harus berada di dalam garis seperempat lingkaran, dan bola hanya bisa disentuh maksimal tiga kali. Anak-anak begitu antusias dengan permainan ini, dan lagi-lagi mereka sangat mudah memperagakan yang mereka lihat. Pada awalnya mereka begitu takjub ketika melihatku bermain, pada saat saya memainkan bola dengan kaki yang menyilang mereka sangat terkejut dan berkata “Attaiwa, beguru’ bissanya!” kurang lebih terjemahannya begini “Ya ampun, Pak guru kok bisa seperti itu!” saya hanya tertawa kemudian berkata “Oh mahal itu dipelajari selama 8 semester baru bisa” diiukuti oleh tawa.
Adapun permainan volley bukan saya yang melatih ataupun mengajar justru sebaliknya, saya yang belajar dari mereka. Di semua perkampungan Dayak yang ada di sepanjang hulu sungai Kelay ini permainan volley adalah permainan rakyat. Permainan ini disenangi oleh semua usia, mulai dari anak-anak sampai kakek-nenek. Merka begitu kuat ketika memukul bola dan nampak sangat lihai dalam memainkannya. Saking gemarnya masyarakat kampung dengan olahraga ini sampai-sampai ada 2 lapangan yang tersedia, lapangan putra dan putri. Bahkan satu diantaranya sudah ditembok layaknya lapangan professional.
Ketika bermain volley bersama murid-muridku, saya selalu menjadi bahan tertawaan mereka karena tak mampu menyebrangkan bola service. Bergantian mereka berusaha mengjariku teknik pemukulannya agar bisa terlempar jauh tanpa harus mengeluarkan banyak tenaga. Akhirnya saya sedikit bisa tapi kuakui olahraga ini sulit buatku karena otot lengan yang sangat lemah dan tinggi badanku yang tidak seberapa. Berbeda dengan siswa-siswiku yang setiap hari mendayung perahu, mengangkat air, berburu binatang, mencari kayu bakar, dan mendulang emas. Badan mereka begitu kekar dan ototnya kuat-kuat. Ah, mereka adalah juaranya, kehidupan keras yang tiap hari mereka lalui adalah pelajaran yang sangat berarti buatku untuk terus mensyukuri hidup yang selama ini saya dapatkan.
A new thing will bring a new challenge. Kebiasaan baru anak-anak berolahraga dengan intensitas yang cukup padat memberikan tantangan baru buat saya. Yaitu tantangan berupa kedisiplinan. Di pagi hari mereka datang lebih cepat meminta bola lalu bemain sebelum jam pelajaran dimulai. Awalnya, hal ini berefek positif karena mereka tidak terlambat lagi datang ke sekolah, tapi lama-kelamaan ini menjadi masalah ketika mereka enggan untuk langsung berhenti pada saat besi tua yang dipukul tanda masuk telah berbunyi. Terlebih lagi ketika jam istirahat, kebanyakan mereka memilih untuk tinggal bermain dan ketika waktunya masuk mereka malah pulang beralasan untuk makan, lapar katanya. Hal ini membuatku memeras otak untuk memediasi antara semangat mereka untuk berlatih dan kedisiplinan sebagai aturan sekolah. Tentunya saya tidak ingin mencederai semangat mereka untuk menjadi pemain yang hebat dan menang dalam setiap pertandingan saat pergelaran PORSENI nanti tapi saya juga tidak ingin jika mereka kemudian mengabaikan jam pelajaran.
Berkali-kali cara yang super lembut saya lakukan. Meminta dengan baik-baik lalu kemudian membujuk mereka untuk memasuki kelas tapi apa yang saya dapatkan adalah kekecewaan. Tidak sedikit perkataan mereka yang mengiris-iris hatiku, seperti ketika di satu siang yang terik dan badanku sedang kurang fit.
“Ayo, Nak! Sekarang kita belajar” panggilku kepada beberapa anak-anak yang masih asyik bermain.
Dubay, Pak guru” artinya sebentar lagi. Saya dengan sabar menunggu mereka. 5 menit kemudian saya kembali menegur tapi mereka malah bergeming seolah saya tidak ada di sana. Saya meninggalkan mereka memasuki kelas dengan perasaan kurang enak, berharap mereka mengerti dan mau ikut ke kelas. Yang datang hanya beberapa orang saja sedangkan yang lain masih tetap bermain. Saya keluar dengan perasaan sedikit emosi memanggil mereka dengan nada yang dipaksa lembut.
“Aduh, kalian, mau belajar apa main? Sekarang waktunya belajar, nak. Sudah itu, kita belajar dulu ya!” Senyumku sedikit kecut. Bukannya berhenti mereka malah berbicara menggunakan bahasa daerah mereka yang tidak saya pahami. Otomatis saya merasa tersinggung dengan sikap seperti itu, “pasti mereka sedang mengatai saya” pikirku.
“Eh kalian ini kenapa susah sekali dikasih tau. Kalau kalian tidak berhenti sekarang juga, bola itu saya ambil dan tidak akan saya keluarkan lagi!” sekarang nada suaraku agak meninggi.
“Ah, Pak guru ini ganggu orang main saja!” Simson berkata serius sambil membanting bola lalu pergi menyeret tasnya. Saya merasakan degup jantungku lebih kencang, dan tubuhku sedikit bergetar. Saya sebisa mungkin menahan emosi lalu kembali ke kelas. Dengan susah payah saya kembali memasang senyum lebar di wajah dan besikap seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Huhhh berat juga menjadi guru.
    Bukan hanya itu, mereka memliki kebiasaan habis pake langsung buang. Ketika selesai bermain saya selalu menemukan mereka meninggalkan bola begitu saja, panas kepanasan dan hujan kehujanan tanpa ada yang peduli. Itulah mengapa barang-barang yang kami sediakan cepat sekali rusak. Berkali-kali saya ingatkan untuk merawat barang-barang itu tapi mereka tak mengacuhkan semua yang saya katakan. Sampai pada suatu hari saya benar-benar marah dan meluapkannya secara langsung kepada mereka. Hari itu adalah hari jum’at, seperti biasa tidak ada aktifitas dalam kelas, hanya senam atau olahraga. Setelah bermain, lagi-lagi mereka meninggalkan bola begitu saja di tengah lapangan. Saya panggil mereka, kebanyakan siswa kelas 3, 4, 5, dan 6 lalu mengumpulkannya di tengah lapangan.
“Kenapa kalian sama sekali tidak memperhatikan yang saya katakan? Bola itu setelah dipake harus dikembalikan. Jangan ditinggal begitu saja, liat berapa sudah bola kita yang hilang, berapa yang rusak?” Ucapku dengan berapi-api. Mereka hanya tertunduk lalu satu persatu membela diri dengan mengatakan “Bukan saya, Pak guru!”
“Pak guru tidak pilih pilih, pokoknya semua bertanggung jawab menjaga bola ini. Ingat! Sekali lagi saya lihat bola ini tercecer saya sama Pak Ahmad tidak mau lagi membelikan yang baru untuk kalian. Kami sudah berkorban supaya kalian bisa maju tapi bukan begini caranya. Paham?”
“Paham, Pak guru!” jawab mereka pelan.
“Paham, Tidak?!”
“Paham!” sekarang lebih keras dan tegas.
“Bagus, Semua ambil posisi push up!” mereka kemudian push up lalu membubarkan diri dengan diam.
Sejak saat itu, kedisiplinan mereka mengalami perbaikan. Tapi tidak sepenuhnya sesuai dengan apa yang saya inginkan. Saya tahu bahwa ketidakdisiplinan itu karena selama ini mereka hidup dalam lingkungan yang memang kurang mendukung. Dan saya akui bahwa waktu satu tahun pengabdian tidaklaah cukup untuk merubah mereka semua. Terlebih memberikan pemahaman kepada orang tua, karena mereka jugalah yang memainkan peran utama. Dari kejadian itu pula saya sadar bahwa cara yang lebih keras dan tegas terkadang lebih efektif.
Saya merasakan perjuangan semakin menantang dan akan lebih banyak kejutan yang akan datang. Saya harus lebih sering intropeksi diri dan belajar menjadi yang lebih baik dari pengalaman ini.


***

Porseni, Berjuang atau Pulang saja #2Gol Perdana.

Gol Perdana

Sore itu, langit gelap sepertinya akan segera turun hujan. Saya mulai memperkenalkan sepak bola kepada anak-anak. Do you hear that? Introducing! Di sini sepak bola bukanlah olahraga populer  sebagaimana seluruh dunia menganggapnya demikian. Nama-nama seperti Cristiano Ronaldo, Leonel Messi, dan bintang-bintang lapangan hijau yang lain sama sekali tidak dikenal. Tak ada perbincangan mengenai sepak bola, apalagi perjudian seperti yang marak terjadi di daerah perkotaan, terlebih ketika liga champions bergulir. Asingnya olahraga asal negri  Elisabeth itu karena kondisi geografis kampung yang tidak memungkinkan untuk membuat lapangan, sangat berbukit. Juga karena media televisi yang gagal mengiming-imingi anak-anak untuk mencintai olahraga tersebut.

Tetapi hal itu tidak menjadi penghalang, sebidang tanah lapang yang kira-kira berukuran 10x20  meter dengan kontur yang sedikit miring dan rerumputan yang lumayan tinggi menjadi arena permainan kami yang baru. Saya membagi para pemain yang usianya beragam menjadi 2 team, team  hulu dan hilir. Saya sendiri ikut bermain untuk team hilir bersama para anak-anak hebat sekaligus merangkap sebagai wasit dan pelatih.

“Firaun, Dion, kalian jadi penyerang atau striker. Tugasnya memasukkan bola ke gawang lawan, jangan gawang teman ya, ingat itu!”
“Ok Sir”
“Simson, Nopel, jadi pemain tengah, gelandang, tugasnya membagi bola”
“Bagi sama siapa, Pak guru?” Tanya Simson polos.
“Bagi rata, Nak! Ya bagi sama temanmu lah. Maksudnya kalau kamu yang bawa bola oper kepada 2 penyerang, biar nanti mereka yang memasukkan bola tapi kalau ada kesempatan kalian juga boleh mencetak gol. Understand?”
“Yes, Understand Sir!”
“Andrias, Sumarna, Daring, pemain bertahan, posisinya di bawah bertugas melindungi gawang jangan sampai kebobolan. Kalau ada bola langsung tendang jauh ke depan atau berikan kepada teman yang tidak dijaga lawan. Paham?”
“Paham, Pak guru”
“Terakhir, Cristian. Kamu jadi keeper, Nak. Tugasmu berdiri dibawah mistar gawang dan tangkap bola, jangan biarkan bolanya menggetarkan jaring kita. Ok?” Terangku berapi-api, selayaknya pelatih betulan.
“Mistar yang mana, Pak guru?” Tanya Cristian dengan ekspresi kebingungan.
“Oh iya, Sorry. Maksud saya kamu menjaga depan tumpukan sandal itu, Nak! Jangan biarkan bolanya lewat ya.”
“Siap, Pak guru”
“Ok. Sekarang ke posisi yang sudah Pak guru bagi, saya ikut bermain di tengah sekaligus menjadi wasit.” Kami langsung mengambil posisi dan siap memulai permainan. Sedangkan team hulu yang rata-rata posturnya lebih besar, beberapa lebih besar dari saya, diatur oleh Ahmad tapi dia sendiri tidak ikut bermain. Katanya tidak hobby. Semua sudah siap, bola di tengah lapangan dan “Priiiiiiitttt” permaian sepak bola untuk pertama kalinya dimulai di tanah pengabdianku.
“Pak guru, oper, Pak guru” Dion meminta bola, dia berdiri tanpa kawalan di depan gawang lawan yang dijaga oleh Mika. Saya melewati Yoses yang berusaha menghalangi lalu kemudian melepaskan umpan bawah kepada Dion.
“Ayo Dion, Shoot!” Teriakku dengan lantang, tapi sayang sekali Dion malah menendang gundukan tanah dan dengan santai Mika menangkap bola. Mika melempar bola jauh ke depan melewati kepala beberapa pemain. Jeki yang menjadi striker mereka mengejar bola sampai di mulut gawang tapi lemparan Mika masih terlalu kuat untuk ukuran lapangan kami, bola terlempar jauh ke bawah dan hanya menghasilkan capek mengambil bola.
“Mik, Jangan terlalu kuat. Lemparnya pake perhitungan usahakan pas sama temannya” Teriak Ahmad di luar lapangan.
Cristian yang memungut bola langsung berlari jauh ketengah lapangan tanpa rasa bersalah. Dia bermaksud melakukan penyerangan dengan cepat tapi menyalahi aturan permainan.
“Cristian, kalau bola mati kamu tidak boleh pegang bola sampai tengah lapangan. Itu namanya pelanggaran, kamu bisa dapat kartu kuning dan kalau masih diulangi akan mendapat kartu merah, artinya dikeluarkan dari pertandingan. Paham?”
“Paham, Pak guru!”
“Good. Give me five!” Permaninan kembali berlanjut dan langit sudah mulai meneteskan air. Hujan rintik-rintik membuat permainan semakin seru. Saling serang terus terjadi tapi gol belum juga tercipta. Anak-anak bermain semakin tidak keruan seirama dengan hujan yang turun semakin tidak keruan. Berkali-kali kami jatuh terpeleset tapi bukan sakit yang terasa melainkan kegembiraan dan kebebasan. Sampai akhirnya terjadi kemelut di depan gawang team hulu, beberapa pemain berkumpul di sana. Bola terhenti di atas genangan air dan pemain bertahan mereka, Welden dan Amos bersusah payah menendang bola itu keluar tapi yang terlempar hanya percikan air yang mengenai wajah pemain lain. Akhirnya aksi saling tendang air terjadi. Yaret, gelandang team hulu yang merasa gemas melihat bola berputar di situ-situ saja melakukan aksi tangkap lari. Secepat kilat dia mengambil bola menggunakan tangannya lalu membawanya keluar dari kemelut kemudian mencoba melakukan tendangan langsung.
“Prriiiiittt, pelanggaran. Yaret Hand ball, tidak boleh merebut bola menggunakan tangan” Kataku dengan wajah tersenyum.
“Tapi Pak guru, bolanya tidak bisa pergi” dia membela diri.
“Tidak bisa, namanya menyentuh bola menggunakan tangan adalah pelanggaran” Saya tetap menghentikannya lalu mengambil jarak 12 langkah untuk tendangan pinalti. Yaret sedikit menahan nafas, tanda tak puas dengan keputusan wasit. Firaun yang ditunjuk menjadi eksekutor bersiap-siap melakukan tendangan. Sedangkan pemain lain berdiri tegang menunggu hasilnya. Dan “Priiiiittt” Firaun melakukan tendangan yang kurang sempurna, bola menggelinding lemah dan berhasil ditangkap oleh Mika. Secepat kilat bola diberikan pada Yoses, Yoses melewati Simson. Serangan balik yang sangat cepat.
“Yooosss… umpan, Yos!” Jeki berlari sambil meminta bola. Tanpa pikir panjang, Andrias melakukan sliding untuk menghentikan Yoses tapi bola telah sampai di kaki Jeki. Jeki melepaskan tendangan. Bola meluncur deras ke arah Cristian, dia tidak berhasil menangkap bola dan… gooool! Skor menjadi 1-0, tapi tak ada yang melakukan selebrasi hanya senyum bahagia di wajah mereka. Sepertinya mereka belum tau kalau itulah yang disebut gol, maka tanpa rasa malu saya langsung berteriak “Gooool Gooooool goooll”
“Very good, keren sekali Jek. Kompak dulu, Nak!” kami melakukan tos. Lalu semua anak baik team hilir maupun team hulu ikut teriak dan berlari ke arahku. Kami semua merayakan gol perdana itu dengan sukacita. 1-0, skor itu bertahan hanya beberapa menit saja karena saya membuat gol balasan setelah melewati beberapa pemain dan melepaskan tendangan akurat yang mengecoh keeper lawan. Anak-anak mulai paham bahwa ketika gol tercipta, itu saatnya melakukan selebrasi untuk mengekspresikan kegembiraan mereka. Skor 1-1 akhirnya bertahan sampai permainan berhenti. Hujan telah reda dan siang telah habis tertelan malam. Saya dan anak-anak beramai-ramai turun ke sungai untuk mandi lalu kembali ke rumah masing-masing.
Sungguh hari yang luar biasa. Teriakan dan expresi kegembiraan mereka masih tergambar jelas di benakku sampai saat saya hendak tidur di malam itu, bahkan sampai saat saya duduk menyepi di sini, mengingat kembali satu cerita tentang hari yang bersejarah itu, tawa dan kegembiraan mereka atau hangatnya tubuh mereka saat memelukku masih terasa. I feel like I cannot move on. Saya semakin optimis bahwa mereka adalah anak-anak yang hebat, memiliki kinestetik yang bagus dan mudah mencontoh yang mereka lihat. Sekarang, tugas beratku adalah senantiasa menjaga sikap dan konsisten menjadi role model untuk mereka.
....to be continued....




On SM-3T Mission Gallery

This gallery shows what did i do at Berau Regency during my mission as a young educator on behalf of Maju Bersama Mencerdaskan Indonesia. I am proud of being a witness of a real Indonesia.
karena pendidikan adalah hak segala bangsa