Bagian 10. Day 3, Show time

Day 3, Show Time
Sngai Merapun. Walau tak sebersih sungai Lamcin kami tetap menikmati mandi dan bermain di sini.

Jeki dan Yaret sedang pamer bekas kerokan

Mentari sedang mengintip di ufuk timur ketika kami kembali dari sungai menunaikan ibadah mandi (bukankah kebersihan adalah bagian dari iman), saya langsung terlibat perbujukan sengit dengan Simson. Tatapan mata Simson yang sangat tajam ditambah dengan karakter suaranya yang lantang dan tegas membuatku tertarik untuk menjadikannya orator dalam lomba pidato yang beberapa jam lagi akan dilaksanakan. Tapi Simson bersikeras untuk menolak, alasannya sangat logis, belum ada persiapan. Kami memang baru tahu kalau ternyata seni pidato diperlombakan dalam kegiatan porseni ini, sehingga tidak ada pelatihan sama sekali sebelumnya. Saya juga bertekad untuk mengikutsertakan sekolah kami, bukan untuk menjadi juara, bukan! Tapi hanya ingin membuktikan kepada orang-orang bahwa anak-anak hulu juga bisa membaca, karena selama ini, suara sumbang yang terdengar di telingaku adalah sudah kelas 6 bahkan SMP masih belum bisa baca. Listen, Simson mahir membaca dan dia baru kelas 4!
“Son, kamu yang pak guru andalkan, nak. Ini pak guru sudah buat teksnya” kataku membujuk.
Attai (Jika dilanjutkan akan menjadi Attaiwa yang artinya aduh, seruan ketidakpuasan), Pak guru. Kayak mana juga pidato itu? saya tidak mengerti.”
“Kamu pernah lihat pak gembala menyampaikan khotbah di gereja?” tanyaku memancing.
“Iya, sering juga, pak guru”
“Nah, begitulah pidato, kamu berdiri di depan orang banyak, terus berkhotbah. Tapi bukan Alkitab yang kamu sampaikan, ini dia, pak guru sudah tulis kamu tinggal baca nanti. Ok?”
Attaiii, saya tidak bisa pak guru. Malu saya”
“Malu sama siapa? Memangnya ada yang kenal kamu di sini? Atau ada madomu yang lihat?”
mm taqumde, pak guru” dia spontan mengelak, mado berarti cewek.
“Trus kenapa, nak? Eh, dengar pak guru. Kalau kamu tidak ikut, bukan cuma kamu yang malu tapi sekolah kita, bahkan kampung Lamcin. Kamu mau orang bilang, SD Lamcin tidak ikut pidato karena tidak ada yang bisa membaca siswanya?” Nada suaraku sedikit mangancam.
Simson bergeming, dan membuatku kebingungan. Berkali-kali kuminta tetapi dia teguh untuk menolak. Tiba-tiba Ibu Beti datang menghampiri, dia adalah ketua PKK yang ikut sebagai perwakilan orang tua murid, sekaligus bibi Simson sendiri. Dia membujuk Simson menggunakan bahasa Dayak Punan dan dengan tatapan memohon. Tidak banyak yang bisa kupahami dari kata-kata yang meluncur dari mulut ibu Beti tapi saya bisa menarik kesimpulan begini “Son, kamu jangan begitu, Pak guru itu sudah capek buatkan kamu pidato sampe larut malam”. Dan ternyata berhasil, Simson kembali mengangkat wajahnya yang sedari tadi hanya menunduk dan diam.
Moh Pidatonya, pak guru?” akhirnya ia berbicara lagi.
“Ini, nak. Kamu baca-baca dulu ya, pak guru dengarkan, baru nanti pak guru ajari caranya yang benar”
Mulailah simson berlatih, beberapa kata yang terbilang baru untuk dia seperti reboisasi, konservasi, dan climate change, dan bebrapa kata lain yang berhubungan dengan lingkungan terdengar masih terbata-bata, lidahnya agak kaku menyebutkan kata-kata ajaib tersebut. Sementara Simson berlatih, di tengah ruang tamu yang sekaligus menjadi tempat penampungan kami terlihat Ahmad dengan serius menyeleksi antara Dion dan Firaun untuk maju sebagai peserta lomba menggambar. Nasib menggambar tidak lebih baik dari lomba pidato, sama-sama baru diketahui bahwa akan diperlombakan juga. Untungnya, Ahmad yang memang sangat jago dalam urusan melukis sudah sering mengajarkan anak-anak cara menggambar, bahkan setelah beberapa kali kulihat hasil pengajaran Ahmad kepaada anak-anak saya merasa kerdil di depan mereka karena tak bisa menghasilkan gambar sebagus yang mereka buat.
Waktu pelaksanaan lomba akhirnya tiba, pukul 10.00 secara bersamaan takraw, menggambar, pidato dan lomba volley putri terlaksana di tempat yang berbeda-beda. Kami para guru yang kekurangan personil menjadi kelabakan mondar-mandir sana-sini untuk mengtur dan memberi semangat kepada anak-anak kami. Saya mendampingi Simson di bagunan bekas gereja untuk lomba pidato, Ahmad di ruang kelas SDN 01 Merapun untuk lomba lukis, Pak Adi mendampingi team putra di lapangan takraw, itu adalah laga semi final yang pasti sangat seru karena bertemu dengan salah satu team terkuat, Long Nguikian. Adapun team volley putri yang juga di babak semi final didampingi oleh Pak Rendi, dan ibu Linlin (seorang environmentalist dari LSM Payopayo). Sungguh tenaga dan pikiran terkuras habis menjalankan peran yang sangat berharga ini.
3 rekan seperjuangan, guru SM-3T lengkap dengan jaket orens strip hitam bertuliskan “Maju Bersama Mencedaskan Indonesia” telah menempati deretan bangku juri, mereka didapuk oleh panitia pelaksana untuk mengisi peran sebagai team penilai dalam lomba pidato ini, Alhamdulillah SM-3T sekali lagi membuktikan eksistensinya. Di belakang juri telah duduk para peserta dengan make up memesona, dan pakaian super rapih, plus aksessoris yang memenuhi badan, juga bapak dan Ibu guru mereka beserta teman-teman yang memberi dukungan. Kupalingkan wajahku pada penampilan Simson, baju putih yang berbintik hitam di sana-sini tak terselip kedalam celananya. Tak ada atribut sekolah di sana, hanya lambang SD di kantong depan yang separuh menggantung karena jahitannya sebagian lepas. Saya manarik nafas panjang kemudiaan mengacak-acak rambut Simson. “Ya Allah, sebegini timpangnyakah pendidikan di negeri ini?” Hatiku merintih.
“Son, mirip gereja kan? Lihat mimbar itu, nanti kamu di situ menyampaikan pidato tentang lingkungan kamu. Ok!”
“Iya, pak guru” Katanya sedikit ragu.
“Nda usah hawatir Son, yang jadi juri teman pak guru juga, yang kiri itu ibu guru Susi dari SDN 010 Merabu, yang tinggi kurus itu namanya Pak guru Rachman dari Panaan, Nah yang sebelah kanan itu kamu kenal, kan? Ibu guru Cuncu dari SD Lamjan”
“Mm,” Simson hanya mengangguk takzim, mulutnya masih berkomat-kamit mencoba menghafalkan beberapa bagian.
Seluruh hadirin tiba-tiba diam tatkala seorang bapak berparas tidak jelek memainkan perannya di atas panggung dengan mengucapkan salam sebagai tanda kegiatan telah dimulai. Dengan beberapa kata pengantar dan orasi singkat perihal pentingnya pendidikan beliau mendaramatisir suara agar lebih seru dan mulai menyebutkan peserta pertama yang harus tampil.
“Peserta pertama, datang dari sebuah kampung yang sangat kaya dengan madu dan emas, kita sambut dengan tepuk tangan yang meriah, inilah dia siswa terbaik dari SDN 07 Long Suluy” suara tepuk tangan memenuhi udara di dalam gedung. Seluruh mata lalu mencari-cari siapakah penampil pertama itu. Setiap sudut ruangan telah terjejali oleh tatapan penasaran tapi tak seorangpun yang berdiri atau mengangkat tangan. MC terlihat kebingungan dan sedikit kecewa karena keseruan yang baru saja ia ciptakan tak diindahkan oleh peserta pertama yang membelot dari scenario lomba.
Sang MC mulai berbisik-bisik dengan beberapa panitia yang ada di sebelah panggung, sejurus kemudian dia kembali dengan keceriaan yang dibuat-buat seolah tidak terjadi apa-apa. “Peserta selanjutnya, pendatang baru kita, SDN Long Lamciiin” Penonton sedikit ragu memberi tepuk tangan, mengantisipasi kalau kalau tepuk tangannya sia-sia karena pesertanya tidak ada. Jantungku tiba-tiba berdetak 3 kali lebih kencang dari biasanya, ketegangan yang seharusnya dirasakan oleh Simson justru berpindah kepada saya. Apalagi dia menjadi penampil pertama.
Disebelahku Simson sudah berdiri tanpa kuminta atau kubujuk sedikitpun, dari bangku paling belakang kami duduk, dengan mantap Simson maju dan saya mengekor di dekatnya, melewati deretan penonton yang melepaskan pandangan intimidatif dan sedikit jijik. Sebagian menawarkan senyuman yang entah itu tulus atau palsu. Kami tak terpengaruh.
Ketika mendekati ujung barisan penonton, sesorang berkata kepadaku “Pak guru mana dasi dan topinya, itu bajunya kenapa tidak dimasukkan?”
Dengan senyum jail dan tatapan tak tau malu kujawab “resleting celananya rusak buk, nanti burungnya ngamuk diatas panggung. Heheh, ini masih mending dia mau pake baju sekolah”. Tak ada lagi balasan darinya, hanya senyum kecut sambil menelan ludah. Dalam hatiku membenarkan, sebenarnya bukan itu, buk, resleting celana Simson tidak rusak hanya saja bajunya terlalu kecil untuk dimasukkan, mungkin baju itu dibelinya ketika masih kelas 1 dulu.
“Assalamualaikum warohmatullahi wabarokatuh, selamat pagi dan salam sejahtera untuk kita semua. Dewan juri yang saya hormati, Bapak dan ibu guru yang saya cintai, teman-teman tersayang dan seluruh hadirin di dalam ruangan ini, terima kasih atas kesempatan yang kalian berikan kepada saya sehingga bisa berdiri di mimbar ini dan menyampaikan pidato singkat mengenai pentinya menjaga lingkungan dengan judul, “Kelestarian Bumi Untuk Masa Depan Manusia” Simson mengawali pidatonya dengan suara yang lantang dan jelas tanpa melihat teks. Spontan bulu kudukku merinding, dan dadaku tersesaki oleh perasaan bangga. Dia telah menjadi juara dalam hatiku, dan dia juga menjadi bukti nyata bahwa minimnya fasilitas sebenarnya bukanlah masalah utama pendidikan, melainkan ketersediaan tenaga pendidik yang mau bekerja keras dan mati-matian memperjuangkan hak-hak anak untuk mendapatkan kesempatan belajar yang sama, itulah intinya.
Selanjutnya, setiap paragrap Simson baca dengan lantang dengan sesekali melepaskan tatapan tajamnya kepada mata penonton. Tak ada hambatan berarti hingga akhirnya ia sampai pada paragraph terakhir dan kemudian mengucapkan kata-kata penutup yang sekali lagi tanpa melihat teks. Simson menuruni panggung dengan senyum lebar dan diikuti oleh tepuk tangan meriah dari seluruh penonton. Saya langsung meminta tos dua tangan kemudian memeluknya dengan sangat erat. Ah, Simson thank you so much, nak. I am so proud of you!
Penampil-penampil berikutnya juga sangat baik bahkan jika dilihat secara objektif maka saya akan menilai bahwa beberapa anak menjadi juara satu, dua, dan tiga dalam kategori berpidato yang baik dan benar, sesuai dengan aturan atau criteria penilaian yang juri telah buat. Terlebih pada peserta asal SD Gunta Samba, seorang anak laki-laki berkulit gelap dan rambut keriting yang ia tutup dengan songkok hitam seperti Soekarno, sebuah selendang bertuliskan INDONESIA membalut tubuhnya menyerupai selendang miss Indonesia yang selalu kalah dalam ajang internasional. Dia tampil begitu gagah dan mampu membuat penonton larut dalam setiap kata yang ia ucapkan. Tampil tanpa teks dan dengan penekanan-penekanan yang benar-benar pas membuat dia layak jika nanti didapuk sebagai juara pertama. Bagaimanapun juga, Simson sekali lagi telah menjadi juara buatku.
Ternyata masih begitu banyak generasi bangsa ini yang cerdas, dan bertalenta luar biasa dalam menyampaikan aspirasi. Bukan anak-anak yang dilatih untuk menjadi banci-baci di layar televisi. Mereka berbakat dan berpotensi menjadi orang-orang hebat yang kelak bisa mengharumkan nama negeri tercinta ini. Dari pelosok negeri, ada harapan, mimpi, dan cinta yang begitu besar yang sangat sayang jika tak digapai.
***
Setelah MC menutup acara dan menginformasikan bahwa pengumuman juara akan dilaksanakan pada malam penerimaan piala, saya dan Simson langsung meluncur ke lapangan volley untuk menyaksikan pertandingan semi final team putri antara Lamcin melawan SD dari kampung Merasa. Belum lagi kami tiba, penonton terlihat serentak memasuki lapangan dengan melompat-lompat dan bernyanyi. Kerumunan orang yang begitu banyak, membuat debu lapangan beterbangan sampai tak nampak jelas lagi apa yang terjadi di sana.
Semakin dekat udara terasa semakin tidak bersahabat, jaket orens kebesaran SM-3T yang sedari tadi membungkus tubuhku kulepas dan kugunakan untuk menutup sebagian wajahku. Simson tanpa ragu berlari ke arah kerumunan meninggalkan saya yang sudah sangat penarasan.
“Mikaaaa!” teriakku ketika melihat Mika di sudut lapangan. Dia langsung menghampiriku.
“Kenapa ramai sekali Mik?”
“Itu penonton gila Pak guru!” dia menjawab sedikit kesal.
“O, hehehe, Merasa menang kah Mik?”
“Iya, Pak guru. Padahal sedikit sekali lagi kita menang. Aih, mado juga itu bodd*k bettul. Masa mereka sudah 22, lawannya masih 15, eh dikejar dia sampe kalah. Attaiwa!
“Tidak papa, kita masih bisa cari juara 3. Ya kan?”
“Itulah, Pak guru”.
Voli Putri

Saya langsung bergabung dengan seluruh tim dan mendengarkan cerita panjangnya. Ternyata mereka bermain 3 set, dengan margin angka yang sangat rapat. 25-20, 22-25, dan terakhir 23-25. Sangat menegangkan memang dan wajar saja penonton begitu ramai tumpah ruah menyesaki lapanga volley mini itu. Kekalahan team putri sedikit terobati karena takraw berhasil menumbangkan team asal Long nguikian juga dengan rely yang panjang sebanyak 3 set. Takraw melaju ke babak puncak menghadapi team tuan rumah Gunta Samba. Laga tersebut akan berlangsung keesokan harinya. Sedangkan team volley putri, juga akan berlaga melawan team vavorite Long Suluy untuk memperebutkan juara 3. Kami kembali ke mes untuk istrahat, makan siang, dan tentunya memainkan gitar milik Pak Mared, Lagu Bongkar dari Iwan Fals sudah rindu untuk dinyanyikan lagi.
Salah seorang panitia dengan wajah kelelahan mendatangi kami yang sedang ramai bernyanyi di teras rumah. Dia menyampaikan bahwa ada sedikit perubahan jadwal, babak 8 besar badminton yang seharusnya dimainkan sebentar malam, dimajukan siang ini juga karena pementasan seni akan berlangsung malam nanti. Tidak banyak yang bisa pergi mendampingi Jeki dan Yaret untuk bertanding karena sebagian atlet sedang istrahat siang apalagi jarak gedung badminton itu jauh, melewati jembatan gantung yang sangat tinggi.
Suasana pertandingan bulu tangkis di gedung olah raga Merapun

30 menit kemudian kami telah tiba di sebuah gedung bercat biru dengan ukuran tidak terlalu besar, hanya ada satu lapangan badminton di dalamnya dengan kapasitas penonton tidak lebih dari 100 orang. Suara hantaman botol-botol plastic bekas kembali memantul-mantul di dalam ruangan sempit itu. Di dalam lapangan sedang bertanding team Merabu vs Merapun. Sedangkan Lamcin akan kembali menghadapi team kuat Lamjan yang kemarin unggul di lapangan Volly. Lamcin sebenarnya tidak berharap banyak di cabang badminton ini, kami tidak memiliki lapangan di kampung, tidak pernah latihan 4 bulan terakhir dan hanya bisa meminjam raket dalam tournament ini, tapi kekalahan di lapangan volley kemarin membuat Jeki dan Yaret sangat ingin mengalahkan team Lamjan.
“Bermain maksimal, keluarkan semua kemampuan kalian dan jadilah pahlawan di dalam lapangan ini” Kataku kepada pemain sesaat sebelum pertandingan dimulai.
“Tumbangkan mereka. Balaskan kekalahan yang kemarin.” Pak Adi menambahkan.
“Tangan di tengah, ready!”
“Lamcin, Lamcin, Lamcin, HUUUUUHAAAAA!” Sorakan kami menggema, menjadi perhatian.
Team lamjan kembali diperkuat oleh salah seorang pemainnya yang kemarin begitu menonjol di atas lapangan volley. Namanya adalah Ardan, tubuhnya yang gempal dengan otot-otot yang kokoh membuatnya tak meyakinkan lagi untuk menyandang status anak SD. 2 siswaku saja, Welden dan Amos yang betubuh kekar namun tak seberapa dibanding Ardan ini selalu mendapat tatapan sinis karena dianggap bukan anak sekolah lagi. Tapi inilah permainan kadang banyak intrik yang ikut membumbui.
Permainan dimulai dan sangat jelas terlihat bahwa Jeki dan Yaret sangat bernafsu untuk memenangkan pertandingan. Semangat mereka yang berkobar-kobar menjadi satu kekuatan tersendiri untuk melakoni laga yang sarat gengsi ini. Berkali-kali pemain Lamjan melakukan kesalahan di awal laga, Lamcin unggul hingga 5 poin. Para supporter mereka diam seolah tak percaya dengan apa yang terjadi. Cuncu dan Tori, 2 Pejuang SM-3T yang bertugas di Lamjan tak henti-hentinya meneriaki saya dan Ahmad dari ujung ke ujung. Meskipun Anak-anak sedang panas menjalankan peran mereka di lapangan, kami guru SM-3T tetap adem dan selalu beranggapan bahwa kemenangan anak didik kami adalah kemenangan untuk para pejuang pendidikan ini.
Laga berlangsung sengit ketika Lamjan menemukan ritme permainan mereka. Kejar-mengejar angka terus terjadi di akhir babak pertama. Rely-rely panjang tak bisa dihindarkan dan jual beli smash membuat penonton semakin riuh bersorak.
“HHUU” Lamcin memukul Bola.
“HA” Giliran Lamjan yang mengambil
“HHUU”
“HA”
“YEAAA. Puk puk puk….” Bola jatuh di dalam area Lamcin kemudian diikuti oleh suara membangunkan orang sahur lengkap dengan tepukan botolnya. Babak pertama berakhir dengan kemenangan Lamjan, 15-13. Pemain bertukar posisi begitu pula dengan supporter, pertemuan antara keduaanya di tengah-tengah lapangan membawa sensasi ketegangan tersendiri. Ada kekhawatiran jika saja salah seorang supporter nekat memulai tindakan propokatif maka pasti kekacauan tidak bisa dihindarkan. Untung saja hal itu tidak terjadi dan pertandingan kembali berlanjut.

Gemuruh suara penonton di babak kedua lebih banyak didominasi oleh supporter Lamjan, Ardan dan Joshua berkali-kali mencetak point sehingga sejak awal laga mereka terus memimpin pertandingan. Cuncu dan Tori, nama gaul dari Husni dan Endang Pratiwi tak henti-hentinya mengolok dan meremehkan saya dan Ahmad. Mereka nampak sangat bahagia dengan keunggulan anak didik mereka, senyum sumringah dari wajah keduanya menandakan bahwa mereka sangat puas melihat kami ciut tak berdaya. Semangat serta kerja keras Jeki dan Yaret tak kuasa membalikkan keadaan sampai akhirnya mereka resmi gugur tatkala angka Lamjan mencapai 15, perkasa atas lamcin yang hanya berhasil mengumpulkan 9 angka.
Dari laga yang baru saja berlangsung, saya melihat bukti dari sebuah pelajaran hidup bahwa hanya dengan semangat yang menggebu-gebu tidaklah cukup untuk memenangkan persaingan menjadi juara. Skill dan latihan yang keras adalah syarat utamanya kemudian semangat adalah kuncinya. Ketiganya harus bersatu padu untuk menjadi juara yang sesungguhnya, karena juara adalah hasil usaha bukan pemberian.
Meskipun begitu, anak-anak dan seluruh team tidaklah terlalu kecewa dengan hasil ini. Bisa berpartisipasi bahkan mencapai babak 8 besar setelah memenangkan satu laga adalah prestasi yang lebih dari cukup. Mengingat fasilitas yang kami miliki sangat minim maka tidak heran jika langkah kami harus terhenti sampai di sini. Terlebih karena ini adalah kompetisi yang pasti berujung pada menang atau kalah. Hari ini hanyalah awalnya, begitu banyak pelajaran yang kami dapatkan dan besok kami akan berbenah.
***
Formasi Pentas musikalisasi puisi

Licinnya rumput setelah terjadi hujan kecil sore ini menjadi drama tersendiri dalam pertandingan tarik tambang babak 8 besar. Baik team putra maupun putri sama-sama meraih kemenangan mudah dan akhirnya lolos ke babak semi final yang akan berlangsung esok hari. Sore itu juga tanpa berlama-lama larut dalam euphoria kemenangan kami langsung meluncur ke sungai bebersih diri dan kembali untuk mempersiapkan penampilan pentas seni.
“Semua pake seragam sekolah, nak. Rapikan rambut kalian dan pake wangi-wangian. Pokoknyaa malam ini kita konser, guncang merapun.” Ucapku dengan semangat.
“Pak guru, baju si Yoses tidak ada.” Kata Yaret sambil membongkar-bongkar tumpukan tas yang berserakan.
“Saya juga, pak guru” tambah welden dengan wajah yang takut kena omel.
“Kenapa bisa tidak ada? Kan sudah diingatkan sebelum berangkat, katanya sudah ada semua.”
“Itulah, Pak guru. Aku juga sudah suruh dia masuk tas waktu itu tapi kenapa dia hilang sudah” Yoses menjawab.
“Itulah” Welden membenarkan
“Waduh, bagaiman ini, Pak. Ada yang tidak punya seragam”
“Begini saja, Yoses dan Welden kan di barisan belakang, di situ ada 6 orang, bagaimana kalau mereka ber-6 ini pake pakean olahraga biar sedikit bervariasi. Sekalian memperlihatkan nama sekolah mereka.” kata Ahmad memberi solusi, lalu diikuti anggukan setuju oleh guru-guru yang lain.
“Saya juga punya ide, kita buatkan mahkota-mahkota untuk anak-anak sebagai aksessorisnya supaya kelihatan rame” Kataku dengan sunyum sumringah seolah itu adalah ide brillian.
“Mahkota? Mahkota apa pak?” Tanya Pak Adi penasaran.
“Sembarang, pokoknya dari daun-daunan supaya kesan bahwa kita dari hutan itu terasa”
“Keren! Boleh itu Pak. Saya tahu cara buatnya.”
“Mantap, kalau begitu eksekusi sekarang, pak. Saya sama Ahmad latih anak-anak untuk pemantapan dulu”
“Ok, Sipp!” Pak Adi langsung hilang ditelan kegelapan malam, memasuki kebun-kebun kecil yang ada di belakang rumah. Anak-anak bergegas mengganti pakian, dan mandandani diri mereka, sesuatu yang tak pernah kulihat sebelumnya. Ibu Linlin, Ibu Eka dan Ibu Beti menjadi perias andal malam itu. 4 anak perempuan yang selalu dekil kini menjelma menjadi gadis cantik dengan balutan bedak dan lipstik yang tipis, rambut mereka tersisir dan dikepang 2 di belakang dengan penuh pertimbangan, sangat sederhana sesuai dengan karakter mereka yang berasal dari daerah pelosok yang jauh dari gaya anak jaman sekarang.
Saya sendiri memilih celana kain berwarna biru gelap dan kemeja kotak-kotak lengan panjang berwana putih cokelat kombinasi hitam. Ah, saya teringat lagi, baju ini adalah pemberian dari seorang yang sangat special buatku, Hastuti. I miss her so much. Jas kebesaran SM-3T dengan logo MBMI, RISTEK DIKTI, dan UNM yang terpampang di depannya menyempurnakan penampilanku yang akan memainkan gitar untuk mengiringi siswa-siswi kami menyanyikan lagu Laskar pelangi.
2 kali latihan pemantapan telah usai, tak ada kesulitan berarti di sana. Hanya Nopel, siswa kelas IV yang kadang-kadang masih lupa dengan gerakannya tapi itu tidak menjadi masalah karena ia selalu bisa menyesuaikan diri. 4-4-6, begitulah formasinya. Simson, Dion, Firaun, dan Yaret menempati baris pertama, mereka bernyanyi seperti yang lain dan sekaligus berpuisi, sebuah puisi tentang mimpi di balik bukit ciptaan Ahmad, secara bergantian masing-masing 1 bait. Yeni, Resta, Herlina, dan Juli berada di garis kedua, mengisi backsound ketika musikalisasi puisi dimulai. Baris terakhir ada 6 orang yaitu Welden, Mika, Amos, Nopel, Simson, dan Yoses, juga mengisi backsound. Jika dilihat dari atas maka formasi ini mirip dengan logo wifi yang dihapus satu titiknya pada telepon pintar.
Pak Adi telah selesai dengan mahkotanya. Daun kakao yang dilipat dan disambungkan beberapa helai menggunakan lidi kini siap untuk menyempurnakan penampilan kami. Tanpa ragu sedikitpun anak-anak langsung menyambarnya dan dengan bangga memasang di kepala. Saya juga demikian. Kami membentuk barisan lalu berjalan menuju gedung yang tadi menjadi panggung orasi Simson. Lagu warisan dari pelatihan Bela Negara di Rindam VII Wirabuana mengiringi langkah kami memunggungi rumah.
“Minggir dong, Minggir dong, Minggir dong, Pasukan Lamcin mau lewat badannya sehat-sehat ototnya kuat-kuat, minggir dong minggir dong minggir dong. Apa tandanya kampung Long Lamcin di sana sini hutan semua. Apa tandanya kita berkawan? Ikan se anjat join-joinan….” Terus bernyanyi sampai akhirnya kami tiba di gedung pementasan.
Orang-orang telah memadati ruangan. Setiap sudut telah terisi dan kami mengambil posisi paling belakang. Terlihat bukan hanya para peserta lomba atau warga sekolah, tetapi juga warga kampung Merapun yang sepertinya haus dengan hiburan macam ini. Sangat ramai sampai-sampai banyak orang yang rela menonton melalui jendela. Kursi juri kembali diisi oleh teman-teman guru SM-3T, ada Syamsul Adil dan Ilham dari SD Lesan Dayak, Annisa dan Ningsih dari SD Tabalar, mereka mendapat kehormatan sebagai juri karena merekalah yang kami anggap paling kompeten.
Bapak-bapak berkulit gelap kini kembali memainkan perannya sebagai pemandu acara, dia nampak begitu enerjik dan lincah berpindah dari ujung ke ujung panggung, penguasaan panggungnya pasti dapat 100. Dia menjadi kunci raminya acara malam ini, terlebih ketika dia meminta sura penonton mirip biduan dangdut koplo.
“Penonton?”
“Iyeee”
“Mana suaranya?”
“Huuuu”
“Mana pendukungnya, Gunta Samba?” Tidak kurang dari 50 orang di barisan paling depan berdiri dan bersorak secara serempak.
“Mana pendukungnya, Long Gie?” Sekelompok anak perempuan berbalut riasan pernikahan berdiri dan diikuti oleh pendukung yang tidak kalah banyak dari sebelumnya. Satu persatu semua sekolah disebutkan termasuk Lamcin yang supportenya paling sedikit tapi paling heboh. And, show time begins.
“Yang pertama dari SD Sido bangen, akan menampilkan tarian Dero dari Sulawesi tengah. Kita sambut inilah dia, SDN 014 Kelay”
Ada 20 anak yang langsung menaiki panggung dengan pakaian casual dan selendang warna-warni membalut tubuh mereka. Membentuk 2 sap di atas panggung dan seluruh mata tertuju pada mereka. Sejurus kemudian musik Dero yang telah dimodernisasikan bertalu-talu dari speaker raksasa di sebelah kiri panggung. Sekelompok anak yang imut itu kemudian menari mengikuti irama music dan seluruh penonton langsung bertepuk tangan dengan sangat meriah. Saya merasakan sensasi kebanggaan melihat anak-anak yang dengan kepercayaan diri menaiki panggung kemudian menyerap perhatian banyak orang, dan mampu menunjukkan kebolehan mereka dengan sangat baik.
20 menit berlalu dengan sangat cepat, gerakan yang berulang-ulang dari tarian Dero tidak berhasil membuat penonton merasa bosan. Penampil pertama berhasil menaklukkan panggung dan menghibur penonton. Saatnya MC mengambil alih.
“Wow, tepuk tangannya sekali lagi untuk Sido bangen, luar biasa. Gurunya pasti stengah mati melatih anak sebanyak itu” Tawa pecah dari penonton.
“Selanjutnya, menampilkan tari gerak sama dari suku Dayak. Kita Sambut, SD Gunta Samba” Para penari gerak sama terdiri atas 8 anak perempuan yang berpakaian khas Dayak dengan manik-manik yang mengkilat bak permata. Mereka tampil begitu cantik dengan riasan pengantin yang mencolok. Beberapa helai bulu burung berwarna hitam putih ikut menyempurnakan jari-jari mereka. Bunyi kecapi dari pengeras suara mengiringi gerakan mereka yang terlihat sederhana namun mengagumkan. Setiap langkah dan ayunan tangan serta goyangan pinggul mereka benar-benar seirama dan sama. Penonton tak bisa menyembunyikan kekaguman mereka pada 8 penampil itu. 10 menit kemudian, penari dengan teratur menuruni tangga panggung dan diikuti oleh tepukan puas dari seluruh penonton. Terlihat senyum mengembang dari bibir para juri.
“Tari Tunggal merupakan tarian khas suku Dayak. Tarian ini mesti dilestarikan dan penampil berikut akan membuktikan pada kita bahwa dia ingin melestarikan tarian dari tanah kelahirannya. Kita beri tepuk tangan kepada peserta selanjutnya, Long Suluy”
Penonton sedikit ragu, jangan-jangan pesertanya tidak tampil lagi seperti perlombaan pidato pagi tadi. Tapi keraguan penonton langsung terbantahkan ketika seorang anak berkulit putih dan bermata sipit bergerak perlahan menaiki panggung dengan balutan baju khas suku dayak yang terbuat dari kulit kayu. Tepuk tangan meriah dan siulan terdengar di sana-sini. Mila dan Fitri, guru SM-3T yang mengabdi di sekolah tersebut, kelihatan begitu sibuk hilir mudik mencari sang kepala sekolah yang memegang file musiknya. Sementara penonton sudah tak sabar menunggu, sang operator malah hilang entah kemana.
Beberapa menit kemudian setelah nama sang pemegang kunci tersebutkan berkali-kali dari pengeras suara, datanglah dia dengan note pad putih di tangan. Tanpa berlama-lama lagi music langsung play dan mulailah penampil tunggal itu meliuk-liuk di atas panggung. Saking senangnya melihat si penari, beberapa penonton menaiki panggung dan memberikan lembaran-lembaran berharga, ada yang berwarna merah ada juga yang berwarna biru. Sawer membuat si penari makin bersemangat, penonton juga makin terhibur.
Peserta-peserta berikutnya tetap menampilkan tarian tradisional dari berbagai daerah. Ada tari zaman, tari Toraja, dan lain-lain tapi paling banyak tari tunggal dan gerak sama khas suku Dayak. Malam semakin larut dan penonton juga mulai jenuh dengan penampilan seni tari, satu persatu penonton kelihatan gelisah ingin meninggalkan ruangan tapi masih penasaran dengan penapilan macam apa yang akan diperlihatkan oleh sekelompok anak berbaju kumal dan bermahkota daun kakao yang kini terlihat mengantuk di deretan kursi belakang.
Mahkota mereka yang terbuat dari anyaman daun kakao menjadi saksi menunggu itu melelahkan.

Saya juga sudah sangat gelisah karena sudah urutan ke-13 dari 17 peserta namun nama kami belum juga disebutkan. Saya menghampiri sang MC dan melihat susunan pesertanya, ternyata kami akan tampil diurutan 15. Kupandangi anak-anak dari jauh terlihat mereka sudah lelah menunggu dan satu persatu mulai melepas mahkota kebesaran mereka.
“Pak, berarti setelah ini Lamcin ya.” Kataku pada MC
“Iya, pak. Vocal group dan musikalisasi puisi kan?”
“Betul, pak. Mantap!”
Saya kembali pada anak-anak dan meminta mereka bersiap karena setelah ini kami akan tampil. Mereka mengusap wajah mereka yang sudah kusut, meluruskan kembali daun mahkota mereka yang melengkung dan bangkit dari tempat duduk.
“Peserta selanjutnya, akan menampilkan sesuatu yang lain dari yang lain. Pembeda untuk malam ini, kita sambut, penampilan musikalisasi puisi dari SDN 012 Long Lamcin” Penonton bertepuk tangan dengan riuh, ada yang mencari-cari telinga di samping kanan kirinya untuk melepaskan bisikan, ada yang berdiri dari duduknya bahkan sebagian yang berdiri di atas tempat duduknya. Mereka yang duduk di depan menoleh ke belakang dan memanjangkan leher mereka seolah tak ingin kehilangan sedikitpun dari penampil berikut ini yang sungguh membuat orang penasaran. Termasuk 4 orang juri.
Pasukan berbaris membentuk 2 banjar di belakangku. Pak Adi mengambil alih dengan sebuah yel-yel yang memantik semangat.
“LAMCIN!” Teriak Pak Adi, penonton terpaku.
“YES!” Jawab pasukan serentak sambil mengepalkan tangan di udara.
“LAMCIN” Sekali lagi.
“WE ARE LAMCIN” Dengan sekali tepukan menyilang di dada kemudian hentakan kaki 2 kali di lantai. Awal yang mengesankan dan membungkam seluruh hadirin.
Saya menaiki tangga lebih dahulu, memberi salam hormat kepada seluruh hadirin dan melempar senyum jail kepada para juri. Gitar tua yang ada di pelukanku kupetik sekali kemudian duduk menyerong di sebuah kursi yang telah dipersiapkan oleh Ahmad. Kutekan Kord G seraya menggejreng sinar gitar sebagi kode untuk pasukan segera menaiki panggung.
Dengan teratur dan rapi seluruh pasukan telah berada pada posisi masing-masing sesuai dengan yang telah direncanakan dari awal. Saya mulai memainkan Intro, kord: G C G C. Kunci selanjutnya tetap G C dan lagu masuk.
“Mimpi adalah kunci” seluruh pasukan bernyanyi, terkhusus Saf belakang mengangkat tangan mereka membentuk huruf V.
“Untuk kita” Barisan tengah menyilangkan tangan mereka di dada.
“Menaklukkan dunia” Barisan depan mengangkat satu tangan sambil memandang jauh ke langit kemudian menggenggam mimpi dan menariknya kedalam pelukan mereka.
“Berlarilah tanpa lelah” semua saf mengambil gerakan tangan dan kaki yang sama membentuk V terbalik, kemudian menunjuk penonton dengan kedua tangan dan kembali menggenggam angin kedalam pelukan mereka ketika liriknya berlanjut “Sampai engkau meraihnya”.
“Laskar pelangi”
“Takkan Terikat waktu”
“Bebaskan mimpimu di angkasa”
“Warnai bintang di jiwa” Setiap gerakan menggambarkan lirik lagu yang dinyanyikan. Anak-anak begitu menghayati lagu dan gerakan mereka. Saya tidak kuasa menahan diri untuk tidak ikut bernyanyi ketika masuk ke reff. Hebatnya, seluruh penonton larut dan ikut menyanyi bersama.
“Menarilah dan terus tertawa”
“Walau dunia tak seindah surga”
“Bersyukurlah pada yang kuasa”
“Cinta kita di dunia” Kristal menggumpal di mataku, sejenak kuhentikan suara gitar, kemudian melanjutkan dengan menekan kunci G dan diiringi oleh nyanyian seantero ruangan “Selamanya”.
“Cinta kepada hidup”
“memberikan senyuman abadi”
“walau hidup kadang tak adil”
“Tapi cinta lengkapi kita”
“Hoooo”
Selanjutnya hening, petikan gitarku hanya sesekali dan beberapa senar saja. Barisan kedua, 4 anak perempuan langsung menyanyikan reff dengan suara pelan, saf ketiga dengan suara nyanyian malam. Saf pertama melantangkan suara mereka dan mulai berpuisi.
“Tersembunyi di balik belantara” Dion memulai dan penonton sontak heboh bertepuk tangan. Dia melanjutkan dengan tatapan yang percaya diri.
“Kokoh berbaris gunung mengelilingi”
“Jalan terjal yang berliku”
“Deras arus hanyutkan nyali” Dion berhenti dan dilanjutkan oleh Simson.
“Adakah itu pembenaran bagimu?” Dia mengedarkan pandangan tajamnya seolah menghakimi.
“Lupa kah engkau dengan sumpahmu?”
“Bernaung kitab engkau bertutur”
“Dustakah, dustakah sumpah yang kau ucap?”
Setiap kalimat yang mengudara dari mulut Simson terasa sangat menusuk karena tatapan dan gerakan tangannya yang sangat tajam. Firaun melanjutkan dengan hentakan kaki dan kepalan tangan menantang langit.
“Mencerdaskan kehidupan bangsa”
“Itulah janji kemerdekaan”
“Namun, saat sumpah tak lagi berarti”
“Kapankah janji itu akan tunai?” Tanpa jeda sedikitpun, Yaret langsung menyentuh dengan suara berbelas kasih.
“Kusam memang seragam yang menyelimuti”
“Tidak menawan dan tidak pula mewangi”
“Tertinggal memang tertinggal”
“Tapi…” Dia berhenti sejenak lalu ke empatnya kompak menghentakkan kaki dan berteriak “KAMI PUNYA MIMPI!”
“Bukan untuk kepuasan pribadi tapi demi senyum di wajah Pertiwi”
Puisi berakhir dan setiap barisan saling menggenggam tangan dan kembali menyanyikan reff sekali lagi. Lagu berakhir dan ditutup dengan salam penghormatan bagai kesatria. Anak-anak turun dari panggung dengan sorakan dan tepuk tangan yang sangat meriah dari seluruh penonton. Terlihat beberapa orang menghapus sungai di pipi mereka. Termasuk Ibu Beti yang seolah tak percaya dengan apa yang baru saja ia saksikan. Anak-anak yang selama ini hanya masuk hutan, bermain basah-basahan di sungai lalu kejar-kejaran sampai baju mereka mengering di badan ternyata bisa tampil dan memukau begitu banyak penonton dari atas panggung. Kebanggaan dan harapan jelas tergambar di matanya.
Sekali lagi, saya merasa sangat terharu dengan apa yang anak-anak berikan malam ini. Kerja keras kami para guru yang selama ini membimbing dan melatih mereka telah membuahkan hasil yang sangat memuaskan, ini seperti cinta yang terbalaskan. Sangat membahagiakan.
Sebelum benar-benar meninggalkan ruangan, seseorang memanggilku, Pak Dedi. Dia menawarkan sebuah tantangan yang sulit untuk saya tolak. Mengisi sesi hiburan dalam bentuk apa saja bersama teman-teman SM-3T. Besok pada puncak acara, malam penyerahan piala. Saya tidak bergabung bersama pasukan kembali ke rumah tapi mengumpulkan teman-teman seperjuangan yang hadir di Merapun ini untuk memikirkan kreativitas seni macam apa yang akan kami tampilkan besok.
***
Tendangan maut dari Jeki untuk Welden. Hanya terjadi di alam mimpi.

Malam itu, langit benar-benar berbintang. Udara dingin tidak berhasil membekukan suasana reuni kecil-kecilan sesama rekan-rekan seperjuangan. Hadir dalam lingkaran besar yang kami buat untuk menghabiskan malam panjang itu 2 bujang dari Long Nguikian, Firman-Sade’ yang masing-masing mengantongi sertifikat S1 pendidikan Bahasa Inggris dan PKN. Sepasang Alumni pendidikan sejarah Umi-Ika dari Long Boy. 2 perempuan yang sudah layak menjadi ibu-ibu karena mengantongi ijazah pendidikan anak usia dini, Tori dan Cuncu, mengabdi di Long Pelay. Fisikawan lucu dan alim dari Panaan, Bang Rachman-Hamzah. Gadis berbadan petinju yang sering kami panggil Jon dan Frans tapi nama sebenarnya adalah Mila-Fitri dari Long Suluy. Sarjana muda berijazah pendidikan bahasa Indonesia yang ditugaskan di kampung Merabu, Susi-Asmi. Pasangan sejati bersertifikan PGSD yang sering mendapat olokan LGBT, Ilham-Adil dari Lesan Dayak. Saya sendiri pendidikan bahasa Inggis dan partner saya alumni fisika, Ahmad. Ada tambahan 3 orang yang menjadi tamu kehormatan, karena mereka bukan dari kecamatan Kelay yaitu gadis krreatif bernama Anisa dan Partnernya Ayuni Ningsih. Terakhir adalah yang termuda diantara semuanya yaitu Ridho.
Canda tawa menghangatkan pertemuan itu sebelum masuk ke pembahasan inti yaitu rencana mengisi satu sesi dalam acara penutupan. Permainan jujur atau berani adalah biang kerok atas groginya beberapa orang untuk mengungkapkan kata hatinya. Umi contohnya, ketika mata pena yang diputar menunjuk dirinya, setiap peserta berlomba ingin memberi pertanyaan, tapi saya selaku operator berhak mengizinkan 2 orang saja. Adil menjadi penanya pertama, “Umi, kamu masih single atau sudah punya Abi?” Lalu tawa pecah, memecah sunyi. Palan tapi jelas yang ditanya menjawab, pedaftaran masih buka. Ahhai! Jawaban itu sangat ditunggu oleh bebrapa bujang pastinya. Seolah sudah diatur, Sade’ yang saya beri kesempatan langsung menggiring Umi ke jawaban bunuh diri, Pilih tentara atau anak SM3T? Umi menjadi sangat kaku menjawabnya, selepas liburan tahun baru kemarin, teman-teman memang pada tahu kalau ada kawan seperjuangan yang sedang menaruh hati padanya.
Setelah puas bercanda, mulailah kami mendiskusikan renacana itu, dan akhirnya disepakati untuk bernyanyi dan musikalisasi puisi. Alasannya sederhana, waktu yang kami miliki sangat sempit, hanya beberapa jam saja, dan itu tidak memungkinkan untuk menampilkan drama, teater, atau tari yang mungkin bisa lebih menghibur. Sebuah lagu dari God Bless yang discover oleh Indonesian voice berjudul Rumah Kita menjadi pilihan kami, dan puisinya adalah puisi karangan Eki, kawan seperjuangan juga yang bertugas di Maratua menjadi pelengkapnya.
Tidak butuh waktu yang banyak untuk memastikan seluruh personil menghapal lagu itu. Saya sendiri sebagai pengiring dadakan langsung mencari kordnya dan menetapkan Do=C. Ahmad dan Susi sebagai pembaca puisi dan yang lainnya penyanyi. Latihan pun kami muali, beberapa kali pengulangan dan tambal sulam di beberapa bagian akhirnya musikalisasi puisi ala SM-3T V Kecamatan Kelay siap dtampilkan.

***
Baca juga



On SM-3T Mission Gallery

This gallery shows what did i do at Berau Regency during my mission as a young educator on behalf of Maju Bersama Mencerdaskan Indonesia. I am proud of being a witness of a real Indonesia.
karena pendidikan adalah hak segala bangsa