Porseni, BPS #9 Day 2. Kalah Menang Soal Biasa

Day 2, Menang Kalah Adalah Soal Biasa
Di hari yang ke-2 itu saya baru mengetahui bahwa ternyata ada beberapa cabang olahraga yang sempat saya latihkan kepada anak-anak namun tidak dipertandingkan dan begitu pula sebaliknya. Lompat dan lempar yang menjadi target emas kami luput dalam event tahun ini, justru pidato dan tari khas daerah yang tidak kami latihkan dipertandingkan. Sempat saya melakukan protes kepada pihak penyelenggara karena kami tidak mendapatkan informasi lengkapnya namun saya harus menelan pil pahit karena dijawab dengan fakta yang tak bisa saya bantah “Salah sendiri, sekolahmu tidak pernah ikut rapat. Resiko kamu itu!”. Ini yang selalu terjadi di neger ini, tak peduli individu atau kelompok, atau instansi, ada kecendrungan untuk menyalahkan pihak yang dirugikan, Blaming the victim! But that is fine, kita bisa hadir saja suda merupakan lompatan yang luar biasa” batinku menyemangati.
Udara pagi bertemu bola Voli. Asik.
Terlihat kawan seperjuangan terlibat aktif dalam kegiatan.

Pagi itu, langit mendung dan angin bertiup kencang. Secara bersamaan team Lamcin melakoni 2 prtandingan segaligus, volley Putri dan takraw putra, sama-sama di babak 8 besar dan jika menang berarti lolos ke babak semi final. Saya mendampingi team volley bersama beberapa anak sebagai supporter sementara guru yang lain mendampingi team takraw.
Kali ini Lamcin berhadapan dengan SD Labaan, supporter mereka memenuhi pinggir lapangan sedangkan kami hanya beberapa orang saja, tidak lebih dari 5. Terlebih lagi, stok pemain kami hanya cukup untuk satu team dan tidak ada pemain pengganti, ya maklum lah, siswa kami memang sedikit.
“Seperti kemarin, bermain santai dan anggap saja ini latihan biasa. Ingat lapangannya tidak seperti yang sering kalian pakai di kampung, ini lapangan mini jadi pukulnya tidak usah terlalu keras. Jangan tergesa-gesa dalam mengontrol atau memberi umpan. Kalian lebih kuat dan lebih bagus cara bermainnya dari mereka, jadi pasti kalian menang! Kita pasti bisa, Understand?” Saya menyemangati sebelum pertandingan dimulai.
“Yes, Sir!” kompak mereka menjawab.
“Ok, Very good!, Let’s do it!” kami kembali bersorak namun tak selantang biasanya.
Pertandingan berjalan dengan tempo yang sangat lambat, masing-masing team berusaha untuk tidak membuat kesalahan, sebisa mungkin menyebrangkan bola dengan pas dan berharap pemain lawan tidak bisa mengembalikan dengan baik. Kejar-mengejar angka terjadi dengan sangat rapat.
“Ya, gitu aja, biar sama-sama gem kata seorang penonton yang gemas melihat selisih angka.
“Jangan terpengaruh penonton, biarkan saja mereka” kataku dengan sedikit berbisik.
“22-20, poin bertambah untuk Lamcin” teriak wasit sambil menghapus keringatnya.
Juli kembali melakukan servis sempurna, dikembalikan dengan baik oleh pemain lawan, Herlina memberi passing kepada Resta namun bola terlalu tinggi dan tak mampu dijangkau oleh Resta sehingga bola jatuh di luar lapangan pertandingan.
“Priiiittttt. Pindah Poin, 21-22.”
“Wasit, Break time” saya meminta waktu rehat kepada wasit untuk memberi instruksi kepada pemain.
“Skor kita masih unggul 1 angka, 3 lagi dan kita akan menang. Tadi Pak guru lihat kalian banyak mematikan bola di area sendiri, itu tidak boleh terjadi. Kita cukup mengejar kemenangan jadi fokus mencetak poin, langsung sebrangkan bolanya, tidak usah umpan kecuali susah untuk langsung. Ok!”
“Ok, Pak guru!
“Good. Ayo kita kompak lagi, nak, semua tangan di tengah dan teriakkan nama Lamcin” Sorakan kami tenggelam oleh suara mereka yang jauh lebih banyak supporter.
Peluit kembali berbunyi dan anak-anak bermain sangat hati-hati. Terlihat jelas mereka mengikuti instruksi yang saya berikan. Tak ada lagi bola yang mati karena salah umpan dan akhirnya babak pertama berakhir dengan kemenangan Lamcin 25-22 atas Labaan. Yes!
“Mantaaapp! You are the girls. Give me ten” terlihat senyum bahagia di wajah mereka semua, biji-biji keringat yang sedikit lagi menetes menandakan mereka sedikit kelelahan.
“Capek?”
“Tidak, Pak guru. Haus aja”
“Ok, silakan minum airnya. Kalian tadi bermain sangat baik, nanti pertahankan yang seperti itu ya. Pokoknya langsung sebrangkan saja bolanya. Dan ingat, 2 orang yang di depan tidak perlu ambil bola kalau lewat di atas kepala karena itu bola untuk pemain belakang.”
“Iya, Pak guru, tadi saya sering salah kalau ambil bola atas” kata Yenni membenarkan.
“Usahakan untuk tidak ulangi lagi ya, kalian harus kompak dan disiplin pada posisi, kalau bukan bagiannya jangan diambil. Percaya sama teman!
“Siap, Pak guru!”

Babak ke-2 dilanjutkan dan sorak-sorai penonton semakin riuh. Mental anak-anak kembali diuji oleh teriakan-teriakan supporter lawan yang mencoba menciutkan nyali mereka. Saya berusaha meyakinkan dari luar lapangan dan memastikan agar mereka tidak merasa sendiri. Poin demi poin tercipta dan akhirnya babak ke-2 kembali kami menangkan dengan skor yang lebih meyakinkan, 25-16. Entah apa kata yang tepat untuk menggambarkan perasaanku saat itu, senang, bangga, haru, dan bahagia bercampur aduk di dalam satu momen kemenangan. Tapi masih ada satu yang membuatku khawatir yaitu team putera yang sedang melakoni pertandingan takraw, tanpa berlama-laama larut dalam euforia kemenangan saya langsung menggiring anak-anak menuju lapangan takraw untuk memberi dukungan.
Belum lagi kami tiba di sana, sudah terlihat serombongan anak berbaju biru tua dengan strip-strip merah berlarian ke arahku dengan wajah yang super bahagia seperti telah berhasil melumpuhkan babi buruan yang besar.
“Pak guru….. Kita menang! Kita menang!” teriak mereka dari kejauhan?
“Haaaa, Menang? Alhamdulillah!” Saya langsung berlari dengan cepat pada mereka dan kami bertemu di tengah lapangan bola yang memisahkan antara lapangan voli dan lapangan takraw. Awan hitam tebal sepertinya tak sanggup lagi menahan hujan dan akhirnya turunlah air-air kehidupan membasahi hamparan rumput hijau, memandikan kami yang sedang tertawa riang menikmati pagi dengan kemenangan-kemenangan penting. Semua ikut merasakan kemenangan itu, seolah-olah kami telah menjadi juara betulan. Dan memang hari itu anak-anak telah menjadi juara betulan di hatiku. Tak henti-hentinya saya mengagumi prestasi mereka yang bisa menembus babak semi final untuk 2 cabang olahraga di hari ke-2 yang masih pagi itu. Sejenak saya menutup mata, mendongakkan wajah ke langit, merasakan bulir-bulir hujan menyentuh kulit wajahku kemudian berkata di dalam hati “Thank God, nikmat-Mu sungguh tak terhitung”
***

Seserorang berkoar-koar menggunakan megaphone di tengah lapangan bola ketika hujan telah usai dan waktu kini menunjukkan pukul 3 sore.
“Pertandingan yang sangat ditunggu-tunggu akan berlangsung sore ini, SDN 012 Long Lamcin akan menjamu tuan rumah SDN 01 Merapun. Datang dan saksikanlah, 15 menit lagi pertandingan akan dimulai.” Berkali-kali lelaki berkulit gelap itu menyampaikan informasi pertandingan, berusaha meyakinkan pendengar yang masih mengantuk di rumah masing-masing untuk memenuhi lapangan yang rumputnya mulai mengering.
“Bangun, bagun! Waktunya bertanding, kita melawan SD tuan rumah” Pak Adi membangunkan anak-anak yang masih kelelahan setelah pertandingan pagi tadi.
“Mengantuk, Pak guru!” kata mereka.
“Bangun, nak! Juara tidak boleh malas”
10 menit kemudian, team sudah siap dengan jersi biru tua mereka. Kami melangkah gagah menuju lapangan untuk menghadapi team tuan rumah yang baru-baru ini membantai lawannya dengan skor super telak 8-0. Team tuan rumah didominasi oleh anak-anak berkulit timur yang orang tuanya adalah karyawan perusahaan sawit yang berjaya di kampung Merapun. Postur mereka tinggi-tinggi meskipun ada beberapa orang yang kecil-kecil tetapi bermain sangat lincah. Jika dilihat dari kaca mata jam terbang, tentu team Merapun jauh lebih unggul karena lapangan mereka sangat bagus dan terletak persis di depan sekolah, bisa dibayangkan setiap jam istirahat mereka langsung berlarian ke lapangan untuk bermain bola. Apalagi sekolah mereka punya seorang guru olahraga yang fokus mengajarkan itu.
Sedangkan team Lamcin baru mengenal sepak bola 4 bulan yang lalu, baru belajar nendang, baru belajar aturan permainan, tidak punya lapangan bola, dan hanya dilatih oleh seorang guru SM-3T dengan Ijazah Pendidikan Bahasa Inggiris, bukan olahraga. Menyedihkan! Tapi Lamcin punya semangat yang tak tertandingi dan itu adalah modal besar, terbukti pada pertandingan awal, Lamcin bisa menang 4-0. Bukankah itu luar biasa? Tapi saya curiga lawan kami sebelumnya juga lebih parah daripada kondisi kami, entahlah. Selain semangat, team kami juga bermodalkan kekuatan fisik yang bisa diandalkan, berlari di bawah terik matahari atau seharian bermain tanpa henti pasti bisa kami hadapi. Team telah teruji secara fisik, urusan skill belakangan.
Pak Rendi kami percayakan sebagai manager team dan Jeki sebagai kapten. Manager sudah menentukan 7 pemain inti yang akan segera bertanding. Mika Keeper, Amos dan Welden sebagai defenders, Yoses Gelandang, Yaret dan Jeki pada psisi wingers, dan Fir’aun stricker. Saya sendiri asisten manager yang berdiri di dekat gawang yang dijaga Mika agar bisa dengan mudah mengatur pemain bertahan. Setelah memberi penghormatan pada penonton kedua team bersalaman dan melakukan sesi pengambilan gambar. Sangat elegan selayaknya pertandingan kelas pro.
Pak Rendi, Meneger andalan Lamcin F.C.

Penonton satu per satu berdatangan memenuhi lapangan dan mulai bersorak untuk kedua team. Penonton dari segala macam usia, jenis kelamin dan pekerjaan terlihat sangat antusias memberi dukungan. Kali ini, nama Lamcin lebih sering terdengar karena banyak sekolah yang teamnya sudah gugur beralih memberi dukungan pada kami. Apalagi, rumor tentang kondisi kami yang bisa hadir melalui perjuangan panjang dan tanpa campur tangan pimpinan sekolah telah beredar sehingga membuat banyak orang merasa tergugah. Salah seorang pengawas sampai berkata pada hari itu, “wah, Lamcin ini bisa gerak juga tanpa kepala, pada semangat lagi. Kepala sekolahnya ini pasti nyessal tidak bisa lihat anak-anaknya bertanding”. Kami hanya mengangguk takzim untuk meresponnya, tak ingin merespon lebih banyak, biar tindakan yang berbicara.
“Nomor punggung 7 membawa bola, melewati satu, dua, tiga orang pemain dan melepaskan umpan cantik kepada nomor 10, nomor punggung sepuluh bergerak lincah, mengecoh pemain bertahan Lamcin, sekarang dia hanya dihalang oleh keeper dan…” Suara komentator sepertinya tak diperhatikan lagi oleh para penonton yang sejenak menahan nafas menunggu apa yang akan terjadi.
“…dan dia mencoba tendangan keras namun tepat membentur penjaga gawang lamcin yang bertubuh kekar. Bola hanya meninggalkan lapangan pertandingan. Lemparan ke dalam untuk Merapun.”
“Yos, Jeki, Yaret, bantu di bawah. Fir’aun tetap di atas tunggu bola” Teriak Pak Rendi dari sisi Lapangan. Suara pukulan botol plastic bekas terdengar dari kerumunan penonton, memberi semangat para pemain dan memanaskan pertandingan.
“Bola jatuh di kaki nomor 7, lagi-lagi dia mengocek bola, melewati beberapa pemain dan mencari cela untuk melepaskan tendangan langsung.” Suara komentator kembali bersahut-sahutan dengan suara supporter.
“Mik, perhatikan gawangmu, jangan maju terlalu jauh. Biarkan Amos dan Welden halau serangan” kataku dengan sedikit cemas melihat pergerakan pemain nomor 7 Merapun yang sangat lincah dengan postur tubuhnya yang sangat tinggi dengan kulit yang hitam berbisa.
“Nomor 9 meminta bola, tapi nomor 7 masih dibayangi oleh 2 pemain bertahan Lamcin, dia mencoba melewati namun gagal, kemelut terjadi di sana. Wow, wow, seorang pemain lamcin terkapar kesakitan, pertandingan dihentikan.” Komentator tidak menyebutkan kenapa pemain kami cedera. Saya langsung berlari menghampiri Welden yang kesakitan memegang tulang keringnya.
“Kenapa, nak? Mana yang sakit?” kataku cepat sambil memeganginya.
“Kakiku, Pak guru, ditendang sama Amos!” jawab Welden kebingungan karena ditendang oleh rekan timnya sendiri.
“Oh, biasa terjadi. Ayo, nak, kita istrahat dulu” Saya memapah Welden keluar lapangan, lalu mencoba mengurut-urut kakinya dan menyemangati dengan sedikit bercanda.
“Kenapa kau bisa ditendang Amos? Kau apakan dia tadi malam?”
“Tidak juga, Pak guru. Dia mau tendang bola tapi tidak kena, saya yang kena”
“Yah, begitu memang permainan, ayo berdiri, pak guru sudah kasi mantra ajaib pasti sembuh” dia berdiri dan benar-benar tidak merasakan sakit lagi. Ajaib!
“Gooool, aksi yang sangat brillian dari pemain no 7 SDN 01 Merapun. Lamcin tertinggal, sementara pemain bertahan mereka baru siap-siap memasuki lapangan pertandingan” Suara yang keras itu mengagetkan saya, anak-anak kelihatan terpukul dengan gol itu. Skill para pemain Merapun memang sangat baik dan ternyata fisik mereka juga kuat-kuat, berat rasanya untuk memenangkan pertandingan ini. Babak pertama berakhir dengan skor 1-0.
“Dion, Kamu masuk gantikan Yoses, Nopel ganti Welden. Sekarang kita pasang 3 pemain bertahan, Dion di kiri tempel terus nomor 10, jangan sampai lepas, Nopel di kanan jaga Nomor 9, Amos tengah jaga yang nomor 7. Ingat pemain bertahan, kalian jangan biarkan orangnya lolos. Paham?”
“Paham, Pak guru!”
“Pemain tengah Jeki dan Yaret, penyerang tetap Fir’aun. Sekarang kita main yang lebih baik, tangan di tengah ayo bersorak!”
“Pertandingan kembali dilanjutkan dan terlihat ada sedikit pergantian pemain dari tim Lamcin” Suara komentator on.
Permainan Merapun sedikit terimbangi, kedisiplinan para pemain bertahan menyulitkan para penyerang Merapun. Dion bahkan membuat pemain nomor 10 tampak stress dan mulai emosi karena terus-terus ditempel sekalipun tak ada si kulit bundar di sana. Mereka menarik perhatian penonton karena terus-terusan melakukan body cash sehingga wasit harus menghentikan pertandngan dan melerai mereka. Bukannya panas, penonton malah terhibur dengan aksi mereka yang sangat kekanak-kanakan itu.
Jeki menggiring bola, sorang pemain lawan mencoba menghalang, tidak berhasil. Jeki semakin menggila, menabrakkan badannya pada siapa saja yang mencoba menghentikannya. Sekarang dia meusuk ke jantung pertahanan Merapun, mengirim umpan manis kepada Fir’aun yang tak terkawal. Firaun menyepak dengan keras namun berhasil dimuntahkan oleh penjaga gawang mereka yang bertubuh 3 kali badanku digabung. Hanya menghasilkan tendangan sudut.
Yaret menghadapi si kulit bundar di sudut lapangan, Firaun, Jeki, Nopel, dan Dion berkerumun di depan mulut gawang bersama 5 pemain merapun sekaligus.
“Wang, Lambungkan saja bola ke tengah!” Perintahku dari kejauhan, mungkin Yaret tidak mendengar. Terserah!
“Bola melambung di area pertahanan Merapun, ada banyak pemain di sana. Kita lihat apa yang terjadi saudara-saudara, nomor 5 melakukan heading dan gooooolllll. Gool, gol, gol!” Suara sang komentator menegaskan apa yang terjadi di dalam lapangan. Fir’aun mencetak gol balasan dan merubah skor sementara 1-1. Anak-anak berpelukan untuk merayakan gol kemenangan sementara saya sibuk berlarian seperti orang gila. Ah, bahagia sekali!
Ketika waktu normal tak lama lagi akan berakhir, team Merapun melakukan serangan bertubi-tubi. 5 pemain mereka tertumpuk di area pertahanan Lamcin. Hanya satu pemain bertahan mereka yang tetap berjaga di bawah, dan hasilnya positif. 2 gol tercipta dalam kurun waktu kurang dari 5 menit hingga akhirnya peluit panjang berbunyi menandakan pertandingan babak ke-2 8 besar berakhir dengan kemanangan SDN 01 Merapun 3-1 atas SDN 012 Long Lamcin. Wajah murung dari para pemain, cadangan, supporter, manager, Official, komentator, Anak kecil yang dari awal memukul-mukul botol plastic bekas, Pa’le pentolan yang sedari tadi mengabaikan jualannya karena fokus mendukung Lamcin, mama-mama berbalut bedak tebal dan anjing kurapan di pinggir jalan, tak terhindarkan lagi. Semua larut dalam kesedihan yang mendalam itu sementara team Merapun beserta seluruh pihak terkait berbahagia dan berbangga diri karena telah berhasil menyingkirkan team kuda hitam, Lamcin. Ah, sedihnya!
“Tidak apa-apa, nak. Kalah menang dalam pertandingan adalah soal biasa. Jangan berkecil hati. Kalian sudah tampil sangat luar biasa dan berhasil memberikan perlawanan yang sengit terhadap team tuan rumah” saya sok menyemangati.
“Sudah bagus sekali, tadi itu benar-benar seru karena kalian sama-sama kuat. Hanya saja mereka lebih beruntung” Pak Adi menambahkan.

Tidak perlu terlalu banyak teori untuk kembali membangkitkan semangat anak-anak, terlebih ketika suara perempuan terdengar lantang membungkam keramaian dari tribun panitia bahwa Lomba tarik tambang akan segera dimulai. Lamcin lagi-lagi bertemu dengan SD Merapun yang baru saja menyingkirkan mereka dari cabang sepak bola. Pertandingan kali ini bukan sekadar tarik tambang, ada gengsi dan harga diri yang dipertaruhkan. Tarik tambang menjadi misi balas dendam!
***
“Amos, Jeki, Mika, Yaret, dan Welden, persiapkan tenaga kalian, seret talinya seperti menarik ketinting” Pak mared yang diamanahkan sebagai pendamping lomba tarik tambang menyebutkan nama-nama yang ia pilih sebagai peserta, dan dengan berapi-api memberikan pidato pembangkit semangat.
“Siap, Pak guru! Anak sterek pasti menangngeeh” Jeki berkata sambil memamerkan otot lengan dan perutnya. Terlihat tumpukan batu-batu sungai di dalamnya. Meyakinkan sekali.
Kedua team yang masing-masing terdiri atas 5 pemain sudah memasang kuda-kuda dan melilitkan tambang biru berdiameter 2 cm di tangan mereka. Ada kobaran api di mata para pemain Lamcin, kekalahan yang baru saja terjadi masih terus terbayang. Laga ini setidaknya akan mengurangi sedikit luka itu. Sedangkan para pemain merapun yang berpostur lebih tinggi dan kurus kelihatan grogi dan kaku. Penonton mengepung area pertandingan dan melewati batas terdekat bahkan nyaris menyentuh tali tambang. Mereka seolah tertarik pada perasaan para pemain. Dan ingin menyaksikan secara langsung apakah Merapun bisa mempecundangi Lamcin untuk kedua kalinya atau Lamcin dapat mengikis rasa kecewa mereka dan membalaskan kekalahan. Teriakan-teriakan memanasi dan menyemangati terus terdengar, suara pukulan botol tak ada lagi tergantikan dengan suara menderu-deru dari para penonton.
“Lamcin, Lamci, Lamcin, Lamcin” Dua ketukan.
“Merapun, Merapun, Merapun, Merapun” 3 tambah 1 ketukan.
“Bersedia, Satu, dua, tiga!” Wasit dan seluruh penonton ikut berhitung.
Jeki yang berada pada posisi paling depan menarik tali dengan sesekali melompat, gerakannya sangat lincah dengan otot dan urat-urat yang bermunculan bahkan menonjol seakan ingin keluar. Yaret, welden, dan Mika, kelihatan tidak kesulitan menarik tali, adapun Amos yang menjadi jangkar pada posisi paling belakang terilahat santai menyeret. Sedangkan pemain Merapun tampak kewalahan menahan laju tambang, kaki mereka yang mantap memijak bumi terseret bagai ketinting kala air sungai sedang surut. Dengan mudah pemain Lamcin mengalahkan Merapun di babak pertama. Suara terikan kini didominasi oleh kata Lamcin. Kata Merapun tinggal berupa teriakan-teriakan kecil yang segera hilang tertiup angin. Rasakan pembalasan anak hulu!
Babak kedua nyaris sama saja, tidak ada perlawanan berarti dan tali tidak sempat berdiam diri. Jeki yang tinggi badannya tidak seberapa namun otot semua dengan begitu kuat menarik 5 pemain Merapun sekaligus. Keputusasaan Merapun jelas terlihat ketika 4 pemain mereka melepas tali dan satu orang masih mencoba bertahan. Nahas dia benar-benar terseret seperti ketinting yang kehabisan bensin di atas bebatuan sungai. Maaf, itu fakta.

***
Bermodalkan kemenangan tarik tambang, kami berbondong-bondong menuju lapangan volley untuk melakoni laga derbi hulu yang mempertemukan Lamcin dengan SDN 011 Long Pelay. Kedua kampung adalah tetangga yang sangat dekat jaraknya di hulu sungai Kelay, hanya 15 menit perjalanan ketinting. Kedekatan ini membuat keduanya memiliki karakter masyarakat yang sama dan permainan rakyat yang juga sama. Sama-sama lahir dan besar dengan permainan volley.
Laga kali ini tidak kalah seru karena team Lamjan membawa misi balas dendam setelah tumbang 2 set langsung pada pertandingan takraw pagi tadi. Sama seperti kami yang selalu terbayang dengan kekalahan pasti mereka juga memendam perasaan sakit itu dan ingin membuktikan bahwa kami juga bisa meskipun dalam medan tempur yang berbeda. Masing-masing 4 pemain telah mengisi posnya. Komposisi Lamcin lebih kuat dengan skill dan postur tubuh yang merata. Sedangkan Lamjan atau Pelay diisi oleh satu pemain dominan, dan satu pemain amatir, yang sering disebut sebagai virus team karena menjadi titik lemah. Adapun 2 lainnya juga tidaklah terlalu mencolok. Prediksi sementara adalah Lamcin unggul 55-45.
Tidak butuh banyak pemanasan karena kedua team baru saja melakoni laga bola sepak dan sama-sama pula menelan kekalahan. Lamjan disingkirkan oleh Gunta Samba, sekolah yang juga menjadi tuan rumah bersama team yang mengalahkan Lamcin. Peluit berbunyi tanda laga telah dimulai.
Seperti kemarin, para pemain Lamcin masih butuh waktu beberapa saat untuk menyesuaikan diri dengan lapangan mini itu. Sedangkan team Lamjan telah terbiasa dan banyak berlatih sebelumnya karena mereka dikepalai oleh bapak ketua KKKS sehingga informasi bahkan kebijakan mengenai kegiatan PORSENI ini disutradarainya.
Jual beli Smash terjadi dan point terus bertambah dengan perbandingan yang tidak terlalu timpang. Lamcin lebih banyak menciptakan poin untuk lawan karena control pukulan yang belum terlalu pas. Keras terlalu keras hingga melewati garis tepi, dan pelan terlalu pelan hingga tersangkut di net. Sampai babak pertama usai, Lamjan keluar sebagai pemenang dengan margin 3 angka.
Babak kedua berlangsung lebih ketat karena team Lamcin menyuguhkan permainan yang impressive dengan beberapa kali melakukan smash menukik setelah passing-passing yang cantik di area serang. Lamjan sempat stress dengan kondisi satu orang pemainnya yang kini menjadi bulan-bulanan smash dan tak mampu menahan laju kulit bundar. Sorak sorai penonton semakin riuh dan terlihat bendera AREMA Indonesia dikibarkan oleh salah satu supporter Lamjan, sepertinya dia lupa bahwa ini adalah pertandingan volley. Untung saja tidak ada yang mengibarkan bendera Slank atau Jamrud. Inilah salah satu keunikan Indonesia, pendukung fanatic tersebar di mana-mana.
“Lamjaaaaan Lamjan, Lamjaaaaan Lamjan” Yel-yel supporter Lamjan terdengar seperti nada membangunkan orang sahur ketika bulan Ramadhan (Sahuuuuur sahur! Tedet tedettek), mereka tidak ingin kalah keras dari supporter Lamcin yang terdengar masih dengan 2 ketukan. Suara penonton balas-balasan seirama dengan permainan di dalam lapangan. Ketika team Lamcin mencetak angka maka sorakan 2 ketukan yang terdengar dan ketika Lamjan yang berhasil maka nada membangunkan sahur yang terdengar.
Akhirnya sampai pada pertandingan berakhir di babak ke-2 yang terdengar hanya nada membangunkan sahur. Suara 2 ketukan kini hanya sebatas teriakan-teriakan sumbang di dalam hati yang mencoba mengacaukan gema mereka. Kepala tertunduk takzim seperti mentari yang kini tenggelam di ufuk barat. Ritual salaman tetap terlaksana untuk mengurangi sedikit perasaan sombong dan mencoba memaafkan serta belajar menerima kekalahan.
Kami kembali ke mes yang telah disediakan panitia untuk Lamcin, segera mengambil perlengkapan mandi dan meluncur ke sungai. Di sana kami berlama-lama dalam diam, canggung untuk membuka percakapan apalagi soal kekalahan yang baru saja terjadi. Saya sendiri membaringkan badan di dalam air yang dangkal kemudian sesekali menenggelamkan kepala untuk mendinginkan otak yang telah kepanasan karena seharian bekerja keras. Bagaimanapun juga, anak-anak telah menyuguhkan permainan yang maksimal dan ini adalah hasil yang paling rasional. Kami harus percaya bahwa kami telah gugur di pertadingan volley putra dan mau tidak mau harus menerima itu dengan dada yang lapang.
***
Sekembalinya dari sungai, seluruh pasukan bersiap untuk melampiaskan kekecewaan di atas meja makan. Ibu Eka dan Ibu Beti yang menjadi ratu di ruang dapur kini menjelma menjadi dua sosok mama-mama yang penuh perhatian dan kasih sayang.
“Tidak ada batas untuk menambah nasi dan lauk, pokoknya llosss (baca, terserah).” Kata Ibu Eka masih dengan medok jawanya. Nasi pada menggunung di atas piring dan dibalut dengan telur dadar yang nikmat dengan hiasan potongan ayam goreng. Tidak ada yang tidak kebagian, semua dapat dan puas dengan menu malam itu.
Ketika semua telah selesai mengeksekusi makanannya, kami berkumpul di teras rumah untuk bercanda tawa. Kejadian-kejadian yang menyedihkan sore tadi kini berubah menjadi bahan tertawaan yang sangat menghibur. Yoses menjadi bintang lawak di malam itu dengan gaya berbicaranya yang mirip orang jawa ngapak tapi sebenarnya dia adalah Dayak Punan tulen. Ditambah lagi dengan aksi kelima penarik tambang yang bergurau dengan menyombongkan diri memamerkan otot-otot mereka. “Mereka kusau melihat ini, Pak guru.” Kata Jeki sambil memusatkan kekuatan di perutnya. Hahaha
Di malam yang berbintang itu saya merasakan kedekatan yang semakin hangat dengan seluruh siswa dan guru-guru. Beberapa hal yang selama ini tersembunyi akhirnya terkuak begitu saja ketika intensitas kebersamaan meninggi. Susah senang kami lalui bersama, makan dan mandi di satu tempat yang sama, dan merajut mimpi di atas lantai yang sama. Kami mengakhiri malam itu dengan menyanyikan beberapa buah lagu dari Iwan Fals semacam Bongkar dan Pesawat Tempur kemudian ditutup dengan lagu pamungkas, Laskar Pelangi. Sungguh khidmat, pengantar tidur yang benar-benar pas.

On SM-3T Mission Gallery

This gallery shows what did i do at Berau Regency during my mission as a young educator on behalf of Maju Bersama Mencerdaskan Indonesia. I am proud of being a witness of a real Indonesia.
karena pendidikan adalah hak segala bangsa