Guru SM-3T Juga Petualang

Guru SM-3T Juga Petualang 

Tanah yang kemarin sore kering kerontang dan berdebu kini Nampak becek dan siap menelan kaki siapa saja yang menginjaknya. Hujan dari malam hingga subuh tadi membasahi bumi, menyiramkan air kehidupan bagi seluruh makhluk di tanah pedalaman Kalimantan ini.  Mentari pagi malu-malu menampakkan diri secara utuh, ia bersembunyi dan mengintip dari balik awan tebal yang serpetinya siap menumpahkan air berikutnya. Di teras rumah ini, Aku duduk seorang diri, memanjakan mata dengan membebaskan pandangan ke deretan pohon-pohon manggris, meranti, bengkirai, dan jutaan dedaunan yang menyelimuti pegunungan di sekitarku. Begitu indah bentangan alam Kampung Long Lamcin yang masih sangat alami. Aku melengkapi pagi yang dingin itu dengan menikmati secangkir teh hangat dan kenangan-kenangan indah bersama seseorang yang jauh di sana. Seorang kekasih hati yang sedang menjalankan misi yang sama denganku. Kenangan saat kami bercanda di bawah sinar bulan dan cahaya bintang-bintang dengan alunan gitar akustik dari seorang pengamen. Hembusan angin mammiri ikut menambah nikmatnya sarabba di pinggir jalan sungai cerekang, kota Makassar. Begitu indah pagiku dengan alam, hidangan, dan kenangan yang sangat ingin kuulangi sekali lagi dan lagi. 
“Permisi pak guru! pak guRUU!? pak guRUU!” (dengan nada tinggi pada akhir katanya,_ khas dialek Punan) Seorang bocah perempuan mengacaukan momen bahagia yang jarang kudapatkan itu. 
“Yah, ada apa dek?” kujawab dengan 50% perhatian, 50% jengkel.
“Ini ada surat dari kaka saya” balasnya dengan menunduk sambil memberikan selembar kertas dengan lipatan yang sangat berantakan.
“Siapa kaka kamu” kujawab lagi sambil mengambil surat di tangannya dengan perhatian 110%. Perhatianku meluap-luap karena dia membawa surat, benda yang sangat langka di sekolah ini.
“Simson” 
“Oh simson, kenapa dia menulis surat? Sakit kah?”
“Hemm… (si keti bos. Ennong, ennong, si keti’ de atuk) “ katanya dalam bahasa punan sambil mencari-cari kata yang tepat dalam bahasa Indonesia. Gagal! Dia tak berhasil menerjemahkannya dan akhirnya berbalik dan langsung berlalu pergi dengan malu-malu.

Simson, adalah salah satu siswa kelas empat yang di panggil “si gaya” oleh beberapa guru local. Alasannya sederhana, setiap diajak berfoto bersama jari tangannya langsung membentuk symbol metal. Bahkan pada saat sesi foto buku raport, cameramen agak kesulitan mengarahkan karena tangannya tidak berhenti menunjukkan metal dan diikuti dengan senyum manisnya yang memamerkan lesung pipi. Beberapa kali diulang tapi tetap saja jarin-jarinya tak tertahankan, mungkin dia memiliki penyakit tersendiri pada saat menghadapi kamera. Metal syndrome. Ah si Simson, kadang saya lebih senang memanggilnya “the same son”. Meskipun banyak gaya, dia hebat dalam pelajaran mate-matika dan juga paling lancar membacanya. Banyak gayanya terimbangi dengan kecerdasan. Mantap!
Kubuka sepotong kertas yang terlipat secara serampangan itu dan isinya sangat singkat dan sangat jelas tanpa mengurangi unsur-unsur penting dari surat. 

“Sir, bagaimana kabarmu hari ini? Semoga baik-baik saja ya”. 

Saya tidak masuk sekolah hari ini karena harus ikut orang tua saya pergi berburu ke dalam hutan. Sampai di sini dulu ya Sir, yang penting kamu sudah tau.

Long Lamcin, Sabtu 
(Tanda Tangan)
   Simson
       
Setelah membaca surat singkat itu, perasaanku langsung bercampur aduk antara perasaan bangga dan sekaligus prihatin. “The same son”, bocah 11 tahun yang baru tau cara menulis surat melalui pelajaran Bahasa Indonesia 3 hari sebelumnya sudah langsung mengaplikasikan ilmu yang saya berikan. Hal itu membuat saya sangat bangga padanya. Dia tidak menuliskan tanggal setelah nama hari, dan itu sama sekali bukan kesalahan kawan. Di kampung ini, para siswa memang tidak mengingat tanggal dan jug tidak peduli, tapi mereka sangat ingat dengan hari. Minggu hari gereja, senin selasa rabu kamis sekolah, jum’at olahraga dan sabtu berburu. Terus begitu hingga bulan berganti.
Saya merasa prihatin karena tanggung jawab orang tua untuk menghidupi keluarga ternyata ikut dilimpahkan kepada anak-anak mereka. Kebanyakan warga kampung memang sudah terbiasa membawa anak-anak mereka kedalam hutan pada hari sabtu. Dan dari situ, para guru juga mengambil alasan untuk menambah hari libur. Berpura-pura memahami, tak mau berkonfrontasi dan akhirnya jadwal sekolah menyesuaikan jadwal keseharian warga. Sekolah pada hari sabtu hanya bersih-bersih seadanya lalu pulang. Kadang juga libur total. Tapi setelah saya dan Ahmad datang, jadwal hari sabtu bertambah dengan latihan baris berbaris. 

***
Pernah di satu Sabtu yang cerah, saya sedang melatih mereka menyanyikan lagu Indonesia raya (sama sekali mereka tidak tau lagu itu). Tiba-tiba, seorang ibu yang menggendong anjat (tas punggung tradisional yg terbuat dari anyaman rotan) dan seorang bayi di gendongan depan, memasuki kelas dengan ekspresi malu-malu kucing. 

Sambil menunjuk salah seorang siswa kelas 3, dia berkata dengan nada sangat pelan dan lambat “bolehkah saya bawa anak saya ke hutan pak guru?”

“oh, iya boleh bu, silahkan” jawabku setelah sempat bengong sambil sedikit membungkuk dan melipat kedua tangan di atas bokong. (Sopan sekali saya!) 

Dia menggandeng tangan anaknya dan pergi tanpa ucapan terimakasih atau sekedar senyum basa-basi. (Wah, luar biasa “ramah” dia!) Saya sempat merasa tersinggug dengan perilaku itu tapi ah sudahlah. Pandangan saya mengikuti langkah ibu dan anak-anaknya itu berlalu meninggalkan sekolah. Seraya memandang penuh tanya saya membatin “bagaiman anak-anak mereka bisa sekolah dengan baik kalau disibukkan dengan aktifitas orang tuanya”. Setelah latihan menyanyi itu usai anak-anak pulang. Kampung menjadi sangat sepi dan baru muncul beberapa orang pada sore hari menjelang magrib. 
Kami bermain bola voly, dan di tengah permainan menggunakan bola plastic itu, seorang ibu-ibu datang lagi dengan menenteng sebuah kantong kresek berwarna hitam. Ia membawakan saya 2 ekor ikan hasil tangkapan mereka. Ibu yang tadi pagi pergi membawa anaknya kini kembali dengan membawa 2 ekor ikan salap besar dengan senyuman dan kalimat yang masih sangat lambat dan pelan “maaf ya pak guru, kami cuman dapat sedikit” (baik sekali ternyata ibu-ibu ini, kalo bisa minggu depan jemput anaknya lagi ya Bu! Hahaha!!!)

***
Kuhabiskan isi gelasku lalu bergerak menuju ke sekolah. Beberapa siswa sudah stand by dengan sapu dan kain pel masing-masing. Siap menunggu perintah. 
“Alek, Jon Lay, Wang, kumpul semua buku yang ada dalam kelas lalu bawa ke meja Pak Guru! Gamar, Enjel, Menyapu lantai! Langat, Lakkay, Fir’aun angkat air! Selebihnya pel panan tulis!” Perintahku pada mereka dengan nada setengah bertriak.
“ _______” Tanpa tanya tanpa protes mereka langsung bergerak cepat seolah itu adalah perlombaan berhadiah seekor babi. Sangat semangat.

Sekolah kami memang masih menggunakan papan tulis kapur yang cukup merepotkan dengan jebolan-jebolan sebesar alas sepatu. Sejak awal kedatanganku sampai saat saya menulis ini, hidungku terasa sangat gatal jika terkena debu-debu kapur tulis yang beterbangan saat dihapus. Sepertinya saya alergi kapur. That’s why I rarely write on the black board. And you know what the only one school in Berau regency that still utilizes the black board is this school, 012 Kelay Elementary School. I know this after attending K3S convention, Headmaster Meeting. Saya sudah menyampaikan keluhan pada kepala sekolah tentang fakta ini dan berharap agar dia tersinggung dan mau menggantinya dengan papan melamin, tapi ternyata dia belum memberi tanggapan, terlebih lagi dia baru sekali datang ke sekolah sejak kedatangan saya dan Ahmad ke sekolah ini.

“tiiiiitt… tiiiittt..tiiiitt…” suara kelakson motor di halaman sekolah. 
“Pak Guru… Pak Guru… Pak Guru…” Teriak Sumarna dan Daring sambil berlari kearah saya.
“Ada apa? Kenapa kalian teriak-teriak?”
“Pak Guru dicari sama Pak Yakob”
“Pak Yakob? kenapa memangnya?”
“Mana juga kita tau Pak Guru” Jawab mereka dengan tempo yang sangat lambat dan suara yang seolah tertahan di tenggorokan. Begitulah mereka kalau berbahasa Indonesia, saaangaat lambat. Sering hal ini menjadi bahan lelucon sesama kawan SM-3T pada saat kami bertemu dan saling bertukar pengalaman hidup di perkampungan Dayak Punan.

Saya menghampiri Pak Yakob dan menanyakan ada kepeluan apa sehingga dia mencari saya. Oya, Pak Yakob adalah salah satu tokoh masyarakat di kampung Long Lamcin, beliau adalah salah seorang tokoh adat sekaligus tokos agama. Dia menjabat sebagai wakil gembala.

“Pagi Pak, Ada apa ni? Tumben pagi-pagi ke sekolah!” Saya mulai menyapa sambil menjabat tangannya.
Dengan senyuman yang memamerkan deretan giginya yang berwarna kuning kombinasi hitam yang memprihatinkan, dia menjawab penuh santun “Iya Pak Guru, ini orang kampung mau ke sungai Pelay cari ikan, anak-anak mau dibawa, boleh kah pak guru?”
Sebelum jawabanku meluncur, otakku langsung bekerja cepat dan sekektika menarik kesimpulan. Sore ini pasti ada lagi ikan yang datang. Assiik!
“iya boleh pak, siapa yang mau bapak jemput?”
“Hehe.. semua Pak Guru”
What? Semua? Apa saya tidak salah dengar?
 “Lha, kok semua pak?” timpalku dengan expresi kaget cenderung protes.
“Itulah Pak Guru, karena hari ini memang jadwal kita pergi rame-rame”
“maksudnya, semua warga pergi ke sungai yang sama?” tambahku memastikan.
“iya Pak Guru”
“ok baiklah kalau seperti itu Pak. Saya sampaikan pada anak-anak bahwa hari ini kita pulang lebih awal”
“ok Pak Guru, terima kasih ya”
Pak Yakob pergi dan saya langsung menginstruksikan para siswa untuk segera menyelesaikan pembersihan dan bisa langsung pulang karena orang tua mereka sudah menunggu. 
“kita tidak latihan baris-berbaris hari ini, kalian silahkan pulang”.

***
Jam 09.00. Kuperlihatkan sepucuk surat dari Simson kepada Ibu Linlin, seorang fasilitator konservasi alam dari LSM Payo-Payo. Dia ikut senang melihat surat itu karena dia juga sempat beberapa kali mengajar di sekolah untuk membantu mengisi kekosongan guru. Kami berdiskusi tentang perkembangan para sisiwa, dan suara kami terdengar oleh salah seorang warga yang sedang menunggu warga yang lain untuk pergi berburu. 

“Ada pembahasan apa Pak Guru? Sepertinya seru sekali.”
“Ini Pak, kami dapat surat dari Simson” jawabku sambil memperlihatkan sepotong kertas itu.
“Coba saya lihat Pak Guru” dia datang mendekat.
“Wah Kurang Ajar sekali anak ini, Masa tulis surat sebut-sebut nama gurunya” dia melanjutkan dengan nada sedikit kesal.
“Lho, kurang ajar gimana maksudnya Pak?” Tanya Ibu Linlin, terkejut.
“Lihat ini Bu, masa bilangnya “Sir,” itu kan tidak boleh anak-anak sebut nama gurunya langsung”
Beberapa orang warga yang ditunggu, datang dan langsung ikut meramaikan pembahasan. Mereka bercakap dalam bahasa daerah dengan melihat-lihat isi surat itu secara bergantian. Saya dan Ibu Linlin saling melirik dan tersenyum malu-malu melihat kesalah pahaman bapa-bapak itu mengenai isi surat Simson.
“Waduh, bapak-bapak sekalian, ini mah ngga kurang ajar. Si Simson teh nulisnya udah bener. Sir itu bahasa inggris, artinya PAK GURU. Bukan nama gurunya” Jelas  Ibu Linlin dalam logat Sunda yang mantap.
“ooo begitu! Haha kami kira dia kurang ajar Bu’ Guru. Anak kurang ajar harus di hajar! Hehe” Kata salah seorang bapak yang memegang tombak yang tajam. Lalu kami semua pun ikut tertawa. 
Kebanyakan warga kampung memang lebih mengenal saya sebagai Pak Guru, tanpa tau nama saya. Awalnya mereka semua tau saat saya melakukan sosialisasi, tapi katanya nama saya susah disebutkan sehingga mereka cepat lupa. Hasilnya, kata Sir mereka anggap nama saya yang hampir menciptakan masalah.
Percakapan yang berawal dari kesalah pahaman tentang isi surat Simson berlanjut dan hasilnya kami diajak ke sungai Pelay untuk mencari ikan. Huhhuyyy… My adventure begins!

***
Matahari pergi mencampakkan awan yang sejak subuh tadi terus memeluknya. Ia menyinari bumi dengan gagah, menghangatkan angin yang berhembus, menghibur langit yang perlahan membiru, mengeringkan tanah yang becek dan membantu dedaunan melakukan fotosintesis. Matahari memang keren!  
Di bawah langit Lamcin yang cerah, seluruh warga telah berkumpul. Do you hear that? All people. Babies, children, teens, fathers, mothers, grands, grands, all of them, without exception. Mereka berkumpul, menunggu datangnya kendaraan dari perusahaan logging yang akan mengantarkan mereka ke sungai Pelay. Mereka meninggalkan rumah tanpa terkunci, meninggalkan harta benda tanpa rasa takut datangnya pencuri, mereka tak bercemas hati, bahkhan sedikitpun tak mau peduli. They believe that human being is good, nothing to worry. Dan saya adalah satu diantara mereka.
Sebuah truk besar berwarna hijau dan satu mobil 4WD (Strada double cabin) akhirnya datang menjemput kami. Ibu-ibu yang menggendong balita dan anak kecil diangkut menggunakan Strada putih, ibu-ibu yang masih enerjik, anak-anak usia sekolah, dan bapak-bapak yang tidak mengendarai motor berada diatas mobil truk hijau yang sayangnya tidak mempunyai palang belakang. Sangat besar kemungkinan untuk terlempar. Dan sayangnya lagi, saya juga ada di sana. Bapak-bapak yang lain, serta beberapa pemuda mengendarai motor dengan bergandengan. Perlengkapan, semua perlengkapan di cek, Mandao (parang tradisional suku Dayak), tombak, senapan angin, jala, kaca selam, pisau, korek api dan tentunya bekal. Saya sendiri hanya membawa sepiring nasi dan Hand phone untuk mengabadikan gambar. I tell you something, camera is very important. Setelah semua siap, Pendeta Rustam memimpin doa perjalanan kami menuju sungai Pelay.
Kendaraan sepeda motor berada paling depan, diikuti oleh Mobil 4WD kemudian kami yang sedang bersusah payah berdiri dan berpegangan di atas truk raksasa berada pada barisan paling belakang. Formasi ini cukup manusiawi karena jalan yang dilalui adalah jalan mobil pengangkut kayu yang sangat berdebu. Jalan itu tak mendapat jatah hujan dari langit, untung. Kalian bisa bayangkan bagaimana rupa pengendara motor jika berada paling belakang. Tak bisa kubayangkan! Kulirik jam tanganku, 09.30, perjalanan dimulai.
“ngengngemmngng….” Berat suara mesin terdengar melewati jalan yang terus mendaki dan berbelok-belok. Mereka yang badannya cukup tinggi berbaris khusyuk berpegangan di ujung dinding mobil, sedangkan anak-anak yang ukurannya lebih minimalis dengan sangat berhati-hati berpegangan pada mereka yang lebih tinggi, sangat hati-hati jangan sampai salah pegang. Dan, yang ukuran badannya tanggung itu dilematis, berpegangan pada mobil itu susah, mau pegang orang itu malu-malu. Sumpah, itu adalah saya yang benar-benar bingung mau bagaimana. Status saya sebagai Pak Guru, cukup menjadi beban, masa saya harus berpegangan sama murid saya, that’s why saya tepaksa berpegangan pada dinding mobil, nyaris menggantung. Pemandangan diatas mobil itu sungguh mirip dengan pengangkutan para pengungsi, sangat berantakan. Di perparah dengan medan yang mendaki gunung membelah hutan belantara. Jurang yang kami lalui sepanjang jalan Nampak menganga memanggil-manggil, terlebih lagi palang belakang mobil yang sudah tidak ada. Kesalahan sedikit saja pasti koprol mencium tanah menghantam jurang. 
Kecemasan dan rasa takut itu cukup teralihkan dengan kenampakan alam yang alami dan benar-benar hijau. I do love green. Beberapa kali kami nyaris melindas binatang-binatang yang melintasi jalan, ada musang, landak, dan ular. 
“Monyett!!!” teriakku ketika melihat beberapa ekor monyet yang sedang bersantai di tangkai pohon. Hanya Pak Yunus, Ibu Linlin dan Ahmad yang memberi respon, yang lain tak peduli karena mereka sedang berkonsentrasi berpegangan seraya mengeluhkan medan dan tentunya mencaci maki supir yang semakin semena-mena menyetir. Kami berempat bercerita dalam riuhnya angin dan sulitnya berpegngan pada dinding mobil. Pak Yunus bercerita tentang hutan adat yang kini lebih terang karena pembukaan jalan dan penebangan pohon oleh perusahaan.
“Sebelum perusahaan datang, hutan ini hutan adat. Tempat kami berburu binatang sama mencari madu” Teriak Pak Yunus sambil menunduk menghindari angin.
“Kapan perusahaan ini masuk Pak” Tanya Ibu Linlin
“Saya kurang tau pastinya buk, mereka sudah puluhan tahun di Lamcin, tapi baru beberapa tahun terakhir mereka menebang pohon sama buka jalur pengangkutan kayu di hutan ini.”
“Mungkin tempat yang dulu sudah habis pohonnya pak” spontan saya berkomentar.
“Apa masyarakat tidak protes Pak?” Tanya Ahmad, melanjutkan.
“Kampung protes, sampe hampir kelahi sama orang-orang perusahaan tapi mau bagaimana lagi, katanya mereka itu …… “ Pak Yunus menghentikan ucapannya lalu menunduk sambil menutup mulut dengan kain. Mobil menuruni gunung dengan kecepatan tinggi dan menerbangkan debu yang sangat tebal. Saya sendiri langsung memasang masker dan menahan napas selama mungkin agar debu-debu itu tidak tembus. Setelah itu mobil kembali mengerang kesusahan mendaki gunung berikutnya dan bapak salah seorang murid saya itu kembali bangkit melanjutkan kata-katanya.
“Sampai di mana tadi?”
“Mmm…” kami berpikir sejenak.
“Oh iya, warga kampung dan perusahaan bersitegang.” saya mengingatkan.
“Kami tidak bisa banyak protes sama perusahaan, karena mereka yang berkuasa. Katanya mereka itu punya surat ijin. Padahal nenek kami sudah tinggal lama di sini”
“Tapi kan ini hutan Adat Pak” Protes Ibu Linlin yang memang datang ke kampung ini untuk misi konservasi.
“Iya buk, tapi perusahaan itu kuat. Mereka punya banyak petugas keamanan yang pegang senjata. Mana kami berani sama mereka. Tapi untungnya mereka kasi ganti rugi sama kami. Mereka bayar denda”
“Berapa mereka bayar pak?”
“Ada lah Pak Guru, Saya juga kurang ngerti berapa, mereka juga sudah janji mau pasang lampu di kampung kita itu, jadi nanti kita sudah enak, tidak gelap-gelap lagi.”
Saya, Ahmad dan Ibu Linlin diam dan saling menatap, seolah berbicara dan memikirkan hal yang sama. 
Dari cerita Pak Yunus itu, saya sendiri memikirkan nasib masyarakat pedalaman yang wilayahnya menjadi area operasi HPH (Hak Pengusahaan Hutan). Tempat yang mereka keramatkan dan mereka banggakan kini telah rusak karena penebangan pohon dan pembukaan jalur pengangkutan kayu bagi perusahaan. Hutan yang tiap harinya dilalui truk-truk besar itu adalah warisan leluhur mereka dan kelak akan mereka wariskan kepada anak cucunya. Disanalah mereka menggantungkan hidup dengan berburu binatang, mencari buah dan memanen madu. Kini, apakah babi, beruang, kijang masih akan bertahan disana takala mesin singso mangaung-ngaung merebahkan pepohonan tempat satwa-satwa itu hidup? Apakah lebah tidak pergi ketika tak ada lagi pohon yang tinggi untuk membuat sarangnya? Perusahaan itu hadir mengelola hutan, memotong warisan budaya yang telah ada dari generasi ke generasi. Warga kampung pedalaman berpikir bahwa dengan membayar denda, perusahaan itu telah menebus dosanya, mereka berpikir bahwa iming-iming seperti pencahayaan adalah harga mahal yang telah di bayar perusahaan, seimbang dengan harga hutan yang sebentar lagi akan kehabisan taring. Perusahaan memang sangat cerdas. Bagi saya, kehadiran perusahaan adalah ancaman tapi bagi warga itu adalah harapan. Mudah-mudahan saya salah.
Setelah 40 menit berlalu, laju mobil melambat ternyata di depan ada antrian menyebrangi sungai. Momen itu dimanfaatkan banyak penumpang untuk turun dari kendaraan demi menghirup udara segar, mencuci wajah, atau sekedar mengambil gambar. Aliran air sungai yang deras cukup menyulitkan pengendara motor untuk menyebrang,  untunglah semua selamat dan perjalanan dilanjutkan. 40 menit kemudian, kami tiba di mini kamp perusahaan logging yang mengantar kami. Di kamp itu, tinggal beberapa pekerja perusahaan yang bertugas menebang pohon, mereka dipanggil “operator sengso”. Kayu-kayu yang mereka tebang nantinya akan diangkut oleh truck houling menuju kamp induk yang berlokasi di kampung Long Lamcin.

***
Air yang sangat jernih, batu-batu sungai yang besar, dan deretan pepohonan yang berbaris di sepanjang mata memandang membuat saya tak henti-hentinya mengagumi sungai Pelay itu. Sangat jernih airnya hingga saya tak sedikitpun ragu untuk langsung meminumnya. Mini kamp yang berlokasi di hilir menjadi garis start kami berjalan menyusuri sungai menuju hulu untuk menangakap ikan menggunakan jala dan tombak. 
Kami berjalan dengan berkelompok-kelompok, masing-masing kelompok terdiri atas penjala (biasanya bapak-bapak), pengangkat sekaligus pembersih hasil tangkapan (ibu-ibu), dan orang yang bertugas mematikan dan melepas ikan dari jala. Saya sendiri mengambil bagian sebagai pembunuh ikan yang telah terjaring. Jangan pikir itu sepele kawan karena orang pertama yang terjun kedalam air adalah saya saat ikan yang terjaring menggeliat-geliat mencoba meloloskan diri. Cara membunuh ikan-ikan sapan dan salap itu cukup dengan memasukkan jari telunjuk kedalam mulutnya lalu menariknya keatas sampai leher terasa patah. Perlu ketangkasan dan timing yang pas agar ikan tidak tersiksa. Kadang, sekali lemparan itu bisa menjaring sampai 40 ekor ikan dengan ukuran 5 sampai 10 jari orang dewasa. Sangat kaya bukan?
Selain kelompok penjala seperti yang saya ikuti, ada juga kelompok penombak ikan. Mereka adalah penyelam-penyelam handal yang mengejar ikan sampai ketempat persembunyiannya, biasanya dibawah batu-batu besar. Tangkapan mereka adalah sapan dengan ukuran raksasa, saya lebih senang menyebutnya “monster”. Ukuran monster-monster itu bisa sampai 1 meter panjangnya dengan lebar hingga 2 jengkal orang dewasa. Ngeri bukan? 
Kami terus berjalan melawan arus sampai pukul 01.00 PM. Semakin ke hulu ikan-ikan semakin banyak, semakin besar dan semakin mudah dijaring. 2 Karung beras 10 kg telah terisi penuh dan belum lagi dengan 1 karung penuh yang telah kami tinggalkan di bawah sana. Pak Yunus sebagai ketua rombongan memtuskan untuk beristirahat, menyalakan api lalu memanggang beberapa hasil tangkapan.
Di tepian sungai yang berbatu, kami melingkar mengitari api, membakar ikan sepuas hati kami. “Pilih yang paling besar Pak Guru, biar tambah besar” kata Ibu Tami mengundang tawa semua orang dalam lingkaran. “hhahaha”. 3 orang anak kecil yang ikut dalam rombongan langsung bermain kejar-kejaran di dalam air. Mereka Nampak begitu bahagia dan menikmati alam tanpa rasa takut sedikitpun. Orang tua mereka juga tidak melarang dan tidak khawatir kalau saja anak-anak mereka akan hanyut atau terluka karena benda-benda yang ada di sungai itu. Sambil mengawasi panggangan, kami bercerita tentang kejadian-kejadian lucu yang telah kami lalui. Saat kami jatuh terpeleset karena bebatuan yang licin, atau saat saya panik, menjerit ketakutan dan nyaris menangis karena Pacet yang menempel di kaki saya. Pacet itu adalah lintah darat yang hidup di hutan-hutan yang lembab. Ukurannya sangat kecil tapi akan membesar sepuluh kali lipat setelah mengisap darah kita. Beberapa kali saya meminta tolong kepada orang lain untuk melepaskan ketika puluhan pacet telah menempel disela-sela jari kaki. Saking takutnya dengan binatang yang satu itu, saya lebih memilih untuk terus berjalan didalam air meskipun itu lebih jauh daripada berjalan diantara pepohonan yang menjadi tempat hidup pacet. Dalam tawa yang sambung menyambung sesekali mereka berbicara dalam bahasa daerah kemudian tertawa lebih keras. Saya yang sedikitpun tidak mengerti bahasa mereka paham bahwa mereka sedang menertawakan saya yang lebih penakut dari anak balita mereka. Saya ikut tertawa. Hahaha.

***
02.30 perjalanan kami lanjutkan. Perut yang kenyang membuat gerakan sedikit lebih melambat dan perasaan ngantuk mulai menyerang. Pak Yunus bahkan sempat bertanya apakah sebaiknya kita tidur saja dulu. Tapi ibu-ibu langsung menolak dan memutuskan untuk melanjutkan penangkapan. Ah ibu-ibu, padahal ikan-ikan kita sudah sangat banyak. 30 menit kemudian kami bertemu dengan rombongan penombak ikan yang bersusah payah memikul hasil tangkapan mereka yang besar-besar dan banyak. Sebatang kayu yang mereka pikul tergantung puluhan ikan yang bahkan menyentuh tanah. Wah, luar biasa! Saya sampai menganga melihat ukuran tangkapan mereka.
“Pak, bagaiman cara menangkap ikan sebesar itu?” tanyaku dengan heran kepada Bapak Melda (ayahnya Melda)
“Gampang pak guru, yang penting kuat tahan nafas. Mereka jinak kalo dalam air” 
“Ah masa jinak pak? Jadi mereka tidak lari?”
“Iya, pak Guru mau liat kah?
“Mau pak, kapan?”
“Ya sekarang, kita cari tempat yang dalam dulu ya, yang airnya agak tenang”
Perjumpaan kami dengan rombongan penyelam itu menjadi tanda dihentikannya perjalanan menuju hulu sungai dan sekarang kami berbalik arah, kembali ke hilir. Beberapa orang mengambil jalan pintas melalui hutan. Saya sendiri tetap memilih berjalan di sungai, selain ingin melihat cara menombak ikan saya juga sudah kapok berurusan dengan pacet.
“Ayo pak Guru, pake kaca selamnya kita tombak ikan di bawah batu itu” Pak Melda memberi instruksi seraya meletakkan kayu penuh ikan dari pundaknya.
Ia dengan tenang berpegangan pada batu sambil mengawasi ikan dari sela-sela. Saya sendiri berusaha sekuat tenaga menahan napas, sambil menunggu ikan muncul. Belum lagi ikan keluar dari persembunyiannya saya sudah kehabisan nafas dan langsung kembali kepermuakaan menarik napas yang panjang. Pak Melda masih disana, dan memasukkan ujung tombaknya kedalam sela-sela batu agar ikan cepat keluar. Dan benar 2 ekor Sapan kira-kira seukuran sepuluh jari berenang santai keluar dari bawah batu. Entah apa yang mereka lakukan berdua-duaan di tempat sepi seperti itu. Ah dasar ikan. 
Sebiasa mungkin saya tidak bergerak agar ikan itu tidak lari. Pak melda secepat kilat langsung mengayunkan tombaknya kearah ikan itu. Gelembung air menghalangi pandangan, saya tidak bisa melihat apakah tombak itu melumpuhkan ikan atau tidak. Saya kehabisah nafas lagi, Sial! Padahal saya tak ingin melewatkan satu menitpun di dalam air. Sekali lagi saya kembali kepermukaan, menarik nafas yang panjang dan siap kembali meyelam. Belum sempat menyelam Pak Melda sudah muncul. Bapak 33 tahun itu tertawa penuh bengga sambil mengangkat seekor ikan yang sudah tak berdaya. “huuuuhuuuu, keren. Asik sekali bang” teriakku kegirangan. 
Menombak ikan adalah cara paling tradisional yang pernah kulihat. Tombak tersebut terbuat dari sebuah tangkai pohon yang lurus dan bundar dengan ukuran panjang 2 meter dan diameter kurang lebih 1 cm. pada ujung tombak terdapat besi runcing yang seukuran ujung jari manis. Hanya seperti itu, tak ada sentuhan modern sama sekali. Sederhana tapi mematikan. Warga kampung Long Lamcin memang hebat menombak ikan karena mereka sudah terbiasa, bahkan anak-anak  usia sekolah pun bisa melakukannya. Berdasarkan hasil diskusi-diskusi saya dengan beberapa orang tua di kampung ini, cara menangkap ikan dengan menggunakan jaring atau jala adalah metode yang sangat baru bagi mereka. Sungguh primitive.     
 
***
Seluruh rombongan telah berkumpul di hilir, mobil juga sudah siap mengangkut kami. Ternyata sudah pukul 5 sore dan perjalanan kembali kekampung akan segera dimulai. Hasil tangkapan dibagi berdasarkan kebutuhan dan permintaan. Tidak ada aturan untuk pembagian jadi mereka yang mendapatkan ikan lebih banyak dengan sendirinya memberikan pada yang mendapat hasil sedikit dengan prinsip suka rela. 
Kami kembali ke posisi semula, masih dengan mobil yang sama, mobil yang tak memiliki palang belakang. Yang berbeda adalah, kondisinya semakin licin karena semua pakaian basah, dan ditambah lagi dengan aroma ikan yang sumpah membuat kepala pusing dan perut mual. Arghhh… andaikan jaraknya dekat, saya memilih berjalan kaki.
Hari sudah gelap saat kami tiba di kampung, seharusnya terdengar suara adzan magrib dari speaker mesjid. Unfortunately, this is not my hometown. No Masjid at all!. Saya kembali kerumah, membersihkan badan dan ikan lalu beristirahat.
Telah ku habiskan satu sabtu yang panjang dan menyenangkan bersama warga. Kini aku tau bahwa kehutan bukanlah sebuah beban dan pekerjaan yang berat buat anak-anak, ke hutan adalah sebuah tamasya yang sangat menyenangkan bagi mereka, momen berkumpul dan menikmati alam yang kaya. Mungkin itulah mengapa mereka lebih memilih hutan daripada sekolah. Forest gives what they want, school? Ah, sudahlah! 
Saat saya membuat tulisan ini, sudah banyak sabtu yang telah saya lewati, sudah banyak sungai yang saya datangi, Sungai Lamcin, Sungai Keluh, Sugai Jengan dan beberapa anak sungai yang tak tau apa namanya. Semua memiliki ikan, pemandangan dan keseruan yang tak kalah dengan Sengai Pelay. Sabtu adalah hari perbaikan gizi, hari yang selalu kami tunggu. 


Long Lamcin, 
Rabu, 25 Oktober 2015, 
#MenungguSabtu 
      

3 Response to "Guru SM-3T Juga Petualang"

  1. Unknown says:
    26 Mei 2016 pukul 23.55

    Keren juga anak lamcin. Mantap

  2. Unknown says:
    26 Mei 2016 pukul 23.59

    Keren juga anak lamcin. Mantap

  3. Unknown says:
    21 Juni 2016 pukul 11.42

    hehe thankyou @Qadar Syukri. thans for visiting this blog

Posting Komentar

On SM-3T Mission Gallery

This gallery shows what did i do at Berau Regency during my mission as a young educator on behalf of Maju Bersama Mencerdaskan Indonesia. I am proud of being a witness of a real Indonesia.
karena pendidikan adalah hak segala bangsa