Tiga Gembok Untuk Sekolahku

Tiga Gembok Untuk Sekolahku


           
Setidaknya 8 minggu sudah saya berada di Lamcin, pergaulanku dengan sekolah dan kampung berjalan perlahan namun harmonis. Meskipun banyak hal yang saya sangat tidak sepakat dengan sikap dan cara berpikir para guru di sini, saya lebih memilih menunggu saat yang tepat atau mencari cara yang lebih santun dalam menegur mereka. Seperti kebiasaan buruk menghabiskah lebih banyak waktu di kota atau di kampung sendiri, bercenggkrama dengan keluarga lalu mengabaikan tugas mendidik di mana Negara menggelontorkan banyak dana untuk menghidupi mereka. 

52 hari yang lalu, maksud saya 4 hari setelah saya dan Ahmad tiba di sini, kepala sekolah beserta 4 guru yang lain langsung bertolak ke kota dengan alasan ada terlalu banyak guru, 10 guru mengajar 31 siswa dianggap sebagai penumpukan yang berarti mubazzir. Dan hingga kini baru dua orang yang kembali muncul. Moment itu langsung dimanfaatkan oleh sepasang guru untuk turun ke kota, “Gantian lah, Masa kita terus yang mau menderita di sini!” kata Ibu Rina dengan aksen Toraja yang tegas. Saya tidak mungkin mendebatnya dengan logika terbalik, dia orangtua, senior, sementara saya adalah anak kemarin sore di sekolah ini. 

“Di sini, kita punya aturan sendiri, Pak Saddang. 1 bulan di kampung 1 bulan di kota. Sistemnya roling, supaya sekolah tidak kosong, kita juga guru-guru tidak bosan di kampung terus.” Terangnya dengan kepercayaan diri tinggi ketika satu pagi saya mengulik informasi darinya. Dari situ jelas terlihat kurangnya rasa tanggungjawab atau sense of responsibility atas propesi sebagai tenaga pendidik. Bayangkan saja jika harus absen selama satu bulan lalu gaji mereka terus berjalan, lalu bagaimana nasib para peserta didik? Bukankah itu berarti lari dari tanggung jawab? Ujung-ujungnya adalah kerugian Negara.

Hal lain yang membuatku prihatin terhadap mentalitas guru di pedalaman Kalimantan ini adalah kurangnya Sense of Belonging atau rasa memiliki. Itu terlihat dari sikap abai atas kondisi sekolah yang jauh dari kata memadai. Sebut saja pintu ruangan yang tak pernah terkunci sebagai satu contoh.

  “Sekolah tempat kamu nanti ngajar itu kandang anjing” kata Salah seorang kepala sekolah kepada saya ketika acara penyambutan di hotel cantika tempo hari. Saat itu hatiku hanya menganggapnya sebagai guyonan dan tindakan menakut-nakuti untuk menguji mentalku, tapi jika memang benar maka mungkin itulah salah satu kesempatanku untuk membawa perubahan pada tempat pengabdianku.

Dalam prosesnya, kata “kandang anjing” menurutku adalah hiperbola. Kenyataannya adalah ruang kelas memang selalu menjadi tempat tidur kawanan anjing yang kadang-kadang meninggalkan kotorannya di sana. Tapi setidaknya tidak ada yang menginginkan hal itu, baik para guru ataupun siswa, semua benci dengan aroma kotoran anjing. Hanya saja tidak ada yang mau mengambil inisiatif untuk memecahkan masalah tersebut. 

Pernah di satu pagi, ketika saya sedang mengajar kelas rangkap 4, 5, dan 6 seekor anjing tanpa permisi melompat keluar dari sebuah laci meja guru yang seharusnya menjadi tempat penyimpanan buku. Saya yang baru saja duduk setelah manunaikan doa bersama langsung kaget dan berteriak spontan “Anjing, Astaghfirulloooh!”. “Atapirullooo” teriak anak-anak kompak meniru ucapanku sambil tertawa. Cepat-cepat seorang siswa mengusir si Dogy keluar. 

Masalah lain yang ditimbulkan oleh kondisi pintu yang tak terkunci adalah ruang kelas kerap menjadi arena mojok bagi remaja-remaja labil. Posisi sekolah yang berada diatas bukit dan terpisah dari deretan rumah warga menjadi sangat strategis bagi mereka yang ingin ruang remang-remang. Sempat beberapa kali saya memergoki pemuda 18 tahun bernama (sebut saja) Jon bermesraan dengan gadis belia yang masih berstatus anak sekolah. Miris sekali melihat itu dan batinku berontak ingin mengakhirinya seketika dan selamanya.
Kini, setelah kembali dari libur, 3 buah gembok berwarna hitam telah siap saya lekatkan pada pintu kelas untuk mengakhiri kejadian “anjing melompat” dan kejadian ‘remaja mojok” itu. Syukur-syukur jika nanti guru lokal mau melihat ini sebagai tindakan positif dengan melakukan hal-hal kecil yang bisa bermanfaat besar. Saya sangat yakin bahwa manusia sejatinya baik, dan senang melakukan kebaikan. Hanya saja, pengaruh eksternal yang terkadang menuntun manusia pada perilaku buruk yang tak manusiawi.   
Menjadi seorang guru dalam hemat saya, wajib menanamkan pada dirinya dua sikap dasar dalam menjalani propeseinya yaitu sense of belonging dan sense of responsibility. Bahwa seorang guru yang memiliki rasa tanggungjawab kepada sekolah dan segala elemen terkait itu tak ubahnya seorang ayah yang akan melakukan segala daya upaya demi menjaga dan membahagiakan anak dan istrinya. He is a super Dad. Sebaliknya, orang tua yang mengabaikan tanggung jawabnya kepada keluaga pantas menyandang gelar “durhaka”.
Siapapun manusia yang merasa memiliki sesuatu, selama dia masih dalam kondisi waras, tentu akan mencintai dan selalu ingin berada dekat dengan kepunyaannya. Seorang ibu misalnya, akan merawat dan memelihara buah hatinya dengan penuh cinta. Dia akan memandikan, memberi makan, membelikan aneka mainan, dan menjauhkan dari segala bentuk ancaman.
Pada gilirannya, ketika guru memiliki dua hal tersebut maka dengan sendirinya akan timbul pada dirinya kreatifitas untuk memudahkan dia dan anak didiknya dalam proses belajar-mengajar, akan timbul pada dirinya sikap disiplin agar dapat menjadi model buat peserta didiknya. Akan menjadi inovatif, menjadi among, menjadi pamong dan menjadi super teacher. Sebaliknya, seorang guru yang bermasa bodoh, seolah buta dan tuli terhadap kondisi sekolah dan peserta didiknya akan sangat pantas menjadi guru yang “durhaka”
Saya mungkin bukanlah seorang super teacher seperti Ibu Muslimah dalam cerita Laskar Pelangi atau Ki Hajar Dewantara dalam coretan sejarah bangsa tapi saya akan berusaha untuk menjadi demikian. 3 gembok di tanganku saat ini adalah salah satu upaya untuk menuju ke titik itu. Anis Baswedan dalam pengantarnya di buku Indonesia Mengajar 1, mengatakan bahwa inilah saatnya orang-orang terdidik berhenti mengeluhkan kegelapan dan mulai menyalakan lilin. Saya tak ingin berlarut-larut mengeluhkan aliran dana operasional sekolah yang tak tau rimbanya seperti yang selalu didengung-dengungkan oleh para guru di sini. Mengorbankan sedikit harta demi pintu sekolahku adalah satu tindakan nyata menyalakan lilin dalam kegelapan.
Melihat mentalitas sebagian guru di ujung negeri ini, saya langsung teringat pada sederet kalimat yang ditulis dengan indah oleh seorang sastrawan asal Makassar, Mochtar Pabottingi. Dia menulis dalam auto biografinya“….bahwa melanglang buana tidak dengan sendirinya memahami buana-pengalaman tidaklah otomantis searti dengan pemahaman. Seperti kehidupan pada umumnya, cakrawala pun selalu mengandung misteri.”. Jika pengalaman bisa membuat para guru di sini paham arti menjadi pendidik, maka kurang apalagi pengalaman mengajar selama lebih dari 10 tahun? Wallahua’lam bissawab.


Berau, 10 June 2016


Saddang Husain.

On SM-3T Mission Gallery

This gallery shows what did i do at Berau Regency during my mission as a young educator on behalf of Maju Bersama Mencerdaskan Indonesia. I am proud of being a witness of a real Indonesia.
karena pendidikan adalah hak segala bangsa