Satu Duka menjadi Guru SM-3T

Menyalahkan Keadaan



6 oktober 20015 beberapa kali aku terbangun karena hawa dingin yang menembus jaket tebal dan selimut panjang yang membungkus badanku. Pukul 2 dini hari aku terjaga, terdengar gemericik air sungai, diikuti oleh nyanyian binatang malam yang merdu menghibur semesta. Ada juga suara dedaunan yang saling bertabrakan karena angin yang berhembus menambah dingin di pagi yang gelap itu. Aku berdiri dengan perlahan, menyeret selimut melangkah menuju ke jendela. Kurapatkan mataku pada kaca jendela sambil sedikit menarik kain horden biru yang baru terpasang 2 hari yang lalu. Tak ada siapa-siapa di luar sana, kawanan anjing yang biasanya tidur di tengah jalan depan rumah juga memilih memojok di kolong rumah Pak kepala kampung. Sepertinya mereka ikut merasakan siksaan dingin di hari itu. Tulangku terasa sangat kaku, persendian seolah beku dan tenggorokan kering, kembali aku menuju ke tempat tidur yang hanya beralaskan karpet plastik berbantal lengan. 1 jam kemudian, kembali aku terbangun karena dingin yang semakin menyengat. Aku hanya meraba-raba mencari Hp untuk melihat jam, berharap hari sudah benar-benar pagi. Kulipat badanku lebih kecil agar terasa lebih hangat, dan akhirnya kembali aku tertidur.

Beberapa saat kemudian sesuatu terjadi dan aku tak yakin itu adalah mimpi, Aku melihat seseorang berjalan mendekat, membawakan selimut tebal, bantal empuk dan sebuah bantal guling yang panjang. Ia tersenyum, mengusap wajahku dengan lembut lalu mengacak-acak rambutku dengan penuh kasih sayang. Aku ingin berbicara padanya tapi tak satu pun kata yang berhasil ucapkan, rahangku terasa kaku. Bahkan tanganku tak mampu bergerak untuk meraih tangannya. Dia cantik, berkerudung dan memakai kaca mata. Garis wajahnya, kerutan-kerutan dan plek hitam itu menandakan ia semakin menua. Aku mengenalnya,ia adalah ibu. Aku sangat merindukan ibu, sudah lama aku ingin memeluknya, bercerita padanya tentang perjuanganku di kampung orang. Tapi aku tak bisa berkata apa-apa, dan ia juga tidak. Hanya senyum dan belaian itu, lalu ia pergi meninggalkan aku dengan kehangatan baru. Aku terbangun, memeluk lutut dalam selimut dan mengucurkan air mata sampai pagi menjelang.
           
Setelah mandi dan sarapan 2 potong roti, aku berjalan kesekolah dengan perasaan yang kurang enak. Kepala terasa berat dan sedikit pusing. Anak-anak sudah menunggu di halaman sekolah, meminta bola takraw sebelum jam pelajaran di mulai. Kuberikan bola yang mereka minta dan aku duduk dalam kelas seorang diri sambil menahan kepala yang semakin terasa berat. Dalam keadaan seperti ini, aku selalu merasa dunia sangat menjengkelkan dan kesalahan sedikit saja bisa memicu kemarahan besar. Ada lagi yang paling tidak enak saat kesehatanku terganggu, pikiranku bekerja lebih cepat ke arah yang negative dan pesimis, menghubungkan banyak hal yang seharusnya tidak difiikirkan lalu menarik kesimpulan bahwa dunia sungguh mencampakanku.

***
            Pelajaran pertama adalah Bahasa Indonesia, aku langsung benci kepada kepala sekolah yang jarang sekali datang untuk menunaikan tugasnya. Buku-buku sangat kurang, aku membutuhkan 13 eksamplar buku pelajaran Bahasa Indonesia kelas 6 tapi yang ada cuman 5, kulirik buku kelas 5 untuk pelajaran yang sama tapi jumlahnya juga tidak jauh beda. Akhirnya buku kelas 4 lagi yang harus aku gunakan untuk mengajar kelas 4,5 dan 6. Setelah menarik buku-buku cetak itu dari lemari yang pintunya menghasilkan suara sumbang saat dibuka atau ditutup, kebencianku menular kapada para sisiwa. Bagaimana tidak, nyaris semua buku cetak itu kehilangn sampul depan, hanya tulisan pada tulang buku yang membuatnya bisa dikenali. “arrgh, little busters!” umpatku dalam hati.
            Seprti biasa, kelas diawali dengan warming up dan pembacaan “rule and regulation” yang berisi:
1.      There is no Bahasa Punan in the class. Only English and Bahasa.
2.      Nobody can enter or exit the class without permission.
3.      Nobody spit on the floor.
Serempak para siswa berteriak “yes,yes, ready!” sesaat setelah saya membaca dan menanyakan “ready?”. Pelajaran pun di mulai dan kebencianku semakin merambah kemana-mana saat Yoses (kelas IV) dan Jeki (V) saling tuduh soal bau tai anjing. Yoses menunjuk Jeki yang telah membawa “racun” itu kedalam kelas dan Jeki tak menerima. Aksi saling tuduh itu berubah menjadi percekcokan yang melibatkan seluruh kelas. Yoses menuduh Jeki, Jeki menuduh balik, tak terima, Yoses mengatakan itu pasti orang yang duduk bersebelahan dengan Jeki. Naas, sebuah pulpen langsung mendarat di kepala Yoses karena Yaret (VI) teringgung dengan perkataannya. Nopel (IV) merasa terganggu dengan keributan itu dan langsung memukul meja. Akhirnya Welden (VI), Amos (VI), Juli (V), Dion (V) dan yang lain ikut marah satu sama lain. Keributan pun tak terhindarkan. Mereka saling tunjuk dan ngomel dalam bahasa punan, bahasa daerah mereka yang mirip bahasa Thailand, bahasa yang sedikitpun tak bisa kupahami. See? They break the rule number one, “there is no bahasa punan in the class!” What can I do now? Punish them? Let them fight? Or going out of the class? None of them! Aku melerai mereka satu persatu lalu kemudian meminta Herlina (IV) mengambil sapu dan menyuruh seluruh kelas keluar untuk melihat sepatu mereka masing-masing tanpa harus mengontrol satu sama lain. Herlina menyapu bawah bangku setelah itu aku persilahkan semua kembali kekelas. Entah siapa pelakunya, tapi itu tidak penting, intinya bau itu sudah hilang.

Kejadian itu sontak membuatku benci kepada semua guru-guru local yang tak kunjung datang setelah meninggalkan aku dan dua guru lainnya selama lebih dari satu bulan. Bahkan ada yang sudah 2 bulan. Ada 6 orang guru yang telah pergi dengan janji akan kembali setelah paling lama 1 minggu saja. “Hell for them all. They don’t think how difficult we are. They take high salary from government, twice of mine, but they leave their duty, their job. They don’t deserve to be teachers. If they were here we would teach each class well, educate the students and consume the salary in peace”. Bukankah kebencianku pada mereka beralasan? Baru kali ini aku mengumpat dan mengeluhkan keadaan kawan, sumpah aku malu mengatakannya “aku sakit dan tak seorang pun menanyakan keadaanku” that’s all.

“Tengng Tengng Tengng ten ten ten ten tengngng”. Aku benci suara lonceng itu. Belasan tahun lalu saat aku masih duduk di bangku SD, bukan kaleng yang dipukul dengan besi untuk memanggil para siswa setelah jam istirahat tapi bel. Bel yang bersuara lebih merdu, tidak membutuhkan tenaga untuk membunyikannya, hanya menekan tombol dan suara keluar dari pengeras suara yang terpasang dengan gagah di sudut bangunan kantor. Di sini, suara itu nyaris memecahkan kepalaku yang tak kunjung reda. “argh sial!”. Setelah menunggu selama beberapa menit, semua siswa sudah duduk ditempat mereka masing-masing, bingung melihatku yang tiba-tiba berwajah dongkol dan tak mengucapkan apa-apa. Kemarin, mereka adalah sahabat-sahabat kecilku, manis, active, creative dan cerdas tapi sekarang mereka semua penjahat kelas teri. Kumal, nakal, brutal dan tumpul aku benci mereka, juga pada orang tua mereka semua. Mereka begini pasti karena didikan orang tua dan lingkungan mereka. Sekarang, nyaris tak ada yang tidak kupersalahkan. Mungkin yang terakhir ini kurang beralasan tapi saya memikirkannya demikian dan itu sudah final.  

***
Kepalaku terasa semakin berat, suhu badan memanas dan perasaanku sangat dingin, aku menggigil dan tak seorangpun peduli. Aku membaringkan badan dalam kamar berguling kanan kiri mencari posisi yang paling pas namun tak kunjung dapat. Ingin rasanya aku menelpon orang tua dan orang-orang terkasih untuk menyampaikan keluh kesahku tapi itu justru memancing kebencianku pada orang lain. Tak ada jaringan! “oh no!” kenapa dinas mengirimku ketempat seperti ini, padahal banyak teman-teman yang dengan status dan tugas yang sama tapi mendapatkan tempat dengan pelayanan yang sangat jauh berbeda. “what the hell. It’s not fair, I hate this life”. Aku terus megumpat mencari-cari kesaahan orang lain,  memikirkan yang tidak perlu dan akhirnya terlelap hingga sore hari.

Badanku bergetar, tidak diragukan lagi pasti aku kelaparan. Di dapur tak ada yang bisa dimakan meskipun banyak yang bisa diolah untuk menjadi makanan. “Mi instan menjadi pilihan terbaik”, pikirku. Hanya beberapa menit saja mi instan dengan irisan lombok biji yang banyak sudah siap santap bersama dengan segelas susu putih. Di pintu belakang, angin bertiup dengan perlahan, menyejukkan tubuhku yang berkeringat kecil karna kepedisan, kusandarkan tubuh di dinding sambil menatap deretan pohon yang hijau dengan selimut daun yang sangat rapat. Sedikit demi sedikit susu putih itu terisap kedalam mulutku. Sambil menikmati itu aku berpikir dan menyadari betapa bodohnya aku telah menyiksa diri sendiri dengan pikiran-pikiran yang tidak baik. Untunglah aku hanya bermain dalam pikiranku sendiri sehingga tak melukai hati siapa-siapa. Aku tak mesti meminta maaf pada seorangpun bahkan keluhanku mungkin ada benarnya juga. Ya sudahlah, beginilah nasib perantau, bukan sakit yang menyiksa, tapi kau tidak punya orang yang tepat untuk berbagi.


Long lamcin, 7 oktober 2015

3 Response to "Satu Duka menjadi Guru SM-3T"

  1. Unknown says:
    11 Oktober 2015 pukul 10.02

    semangat kka....... saya nantikan kisah berikutnya" semoga di sana lancar barokah "amin"

  2. Unknown says:
    11 Oktober 2015 pukul 20.04

    faigk blay,ceritain lagi yang banyak yak

  3. Unknown says:
    26 Mei 2016 pukul 18.27

    ok adik anis, thanks sudah berkunjung ya.
    blay, kuceritakan lebih banyak nanti kamu yang buatkan materi stand up nah

Posting Komentar

On SM-3T Mission Gallery

This gallery shows what did i do at Berau Regency during my mission as a young educator on behalf of Maju Bersama Mencerdaskan Indonesia. I am proud of being a witness of a real Indonesia.
karena pendidikan adalah hak segala bangsa