Star, Smile, and Oops I Speak Bahasa

 Star, Smile, and Oops I Speak Bahasa




Tempo berjalan sangat cepat. Kreatifitasku terus diuji untuk menaklukkan kelas rangkap dengan kejutan tak berujung. Dion melaju bak jet dalam pelajaran Bahasa Indonesia. Lesung pipi dan deretan giginya yang rata dan kecil-kecil membuatnya terlihat sangat manis ketika tersenyum sambil menceritakan ulang hikayat Malin Kundang atau sejarah Danau Toba, dan cerita-cerita rakyat suku Dayak. Dia begitu cerdas, mengingatkanku pada seorang kawan ketika masih SD dulu, Angga. Penyabar, penurut, dan berotak encer. Dialah komik berjalan yang tak pernah kehabisan cerita. Dion, persis seperti Angga, hanya saja Dion jauh lebih tampan. 
Lalu ada Mika, kakaknya Dion di rumah tapi menjadi adik di sekolah. Ya, meskipun masih satu pabrikan, tapi Mika tergolong produk special, dia limited edition. 3 kali ketinggalan kelas dalam karir bersekolah, Mika menjadi sosok yang butuh perhatian lebih. Itu hanya terjadi di dalam ruangan karena urusan di luar seperti menahkodai perahu ketinting dan menangkap ikan, dia lah jagonya.
Bernasib sama dengan Mika, Nopel memiliki sedikit masalah dalam hal menyambung huruf menjadi suku kata dan kata. Apalagi dengan urusan mengingat angka, “Pak Guru, sudah selelsai” selalu seperti itu katanya ketika kuberi tugas matematika. Dia menjadi juara dalam urusan paling cepat, tapi posisi buncit untuk benar-benaran. Di kelas 4 Nopel seharusnya sudah asik bermain angka dalam perkalian dan pembagian tapi sayang sekali, penjumlahan dia masih mengeja. Walaupun begitu, saya tidak mungkin mengatakan Si Nopel bodoh, kecerdasannya ada di bidang lain. Lebih tepatnya gaya belajarnya yang belum bisa saya temukan.
Keajaiban selanjutnya adalah 2 bersaudara, Fir’aun dan Yaret. Keponakan Nopel dari jalur Ibu. Sekarang, maaf, Nopel menjadi om-om. Kedua kakak beradik ini adalah jawara pada rombel masing-masing, Firaun kelas 4, Yaret kelas 6. Seperti kebanyakan bersaudara di dunia, mereka adalah Tom and Jerry dalam wujud manusia. Tak pernah akur!
Masih bersepupu dengan 2 bersaudara di atas, Yoses dan Simson. Mereka mengklaim bahwa mereka adalah sahabat sejati. Dengan pedenya Yoses pernah memperlihatkanku sebuag foto di atas kertas biasa, bukan kertas foto. Terlihat Yoses dengan pipi tembemnya mengenakan topi bertuliskan “Monster”. Ujungnya dilekuk ke atas agar poninya yang sedikit miring jelas terlihat. Sementara itu Simson mengenakan kacamata plastik berwarna biru langit. Keduanya berpose metal dengan wajah yang dipaksa cute. “keren kan, Pak Guru”. “Iya, Nak, kalian memang ajaib” jawabku sambil mengangkat dua jempol. Verbal mereka kuat sekali. Di dalam kelas, Yoses gemar melawak dan bernyanyi tanpa disuru, sementara Simson doyan mengomentari banyak hal. Pada momen-moment butuh tenang, kebiasaan mereka cukup merepotkan. 
Jika Nopel dan Mika adalah siswa spesial maka Resta adalah istimewa. Sekali saja bisa mendengar suaranya dalam kelas maka itu saya nilai sebagai progres. Dalam usianya yang sudah menghampiri 16, kaka kandung Simson ini masih bercokol di bangku kelas 5. Tulisannya rapi, tapi entah kenapa dia sangat sulit memahami instruksi. Contoh, saya minta dia mengerjakan tugas maka soal dan jawabannya selalu sama. Pertanyaan: 1. Siapa nama presiden pertama Indonesia? Jawaban: 1. Siapa nama presiden pertama Indonesia? Bayangkan jika saya memberinya 100 soal esai. Ah, bukan main. Tak heran jika sudah dua buku rapor yang ia miliki. Untungnya, Resta tak pernah membantah. Celakanya, saya tidak pernah tau apa maunya. 
Bersama dengan Resta, ada Juli dan Herlina. Mereka selalu jalan bertiga, atau berempat dengan Yeni. Tapi karena Yeni tidak masuk dalam kelas rangkap lantaran lebih junior maka pengamatanku fokus pada tiga gadis ini. Herlina dan Juli cukup cekatan dan responsif, paham instruksi dan bisa diajak berkomunikasi. Melihat itu maka keduanya kunobatkan sebagai juru bicara untuk Resta. Sangat membantu memang, hanya saja usia mereka terlampau dewasa untuk menjadi anak SD. Tak ayal, saya menangkap gelagat menyimpang yang condong ke arah pubertas. Saya sedikit geli dengan itu. 
Selain Nopel, ada Amos yang juga menyandang status sebagai “Om”. Dia sebenarnya layak saya panggil “Bro”, tapi pakaiannya yang masih merah putih maka tetap saja dia kupanggil “Nak”. Padahal garis wajah kami tidak jauh beda. “Amos kelihatan lebih tua” Komentar kawan-kawan ketika melihat Poto yang pernah saya unggah di Facebook. Hati kecil saya menyepakati itu, tapi saya selalu berpura-pura untuk tampil lebih tua. Salah satu caranya adalah dengan memelihara jenggot dan kumis. Oya, Amos tidak banyak bicara tapi tidak separah Resta. Meskipun sudah kelas 6 dia tak sekalipun unggul dalam aneka perlombaan untuk mata pelajaran apapun. Diamnya tidak berarti emas tapi juga tidak berarti mati. Cool kata si Ahmad dalam mendefinisikannya.

Nah, yang 2 terakhir ini adalah pemilik senyum paling mengesankan. Sejak pertama bertemu, nama Jeki dan Welden langsung lekat dalam ingatanku karena gigi depan mereka yang bolong melompong. Hebatnya, senyum mereka sangat mudah merekah. Saya tidak butuh berpikir keras untuk membuat kelucuan karena mereka sangat jeli melihat sisi komedik dari segala sesuatu. Tulisanku yang berombak di papan tulis adalah kelucuan hebat bagi mereka. Atau hal lain seperti jawaban yang ngawur, nilai 0 di buku tugasnya, aroma kotoran anjing di alas sepatu, bekas liur di pipi anak kelas 1, dan kejadian Pak Yohanes yang jatuh dari tangga (Kalau kasus yang satu ini saya pun terpingkal bukan kepalang). Pokoknya ada-ada saja yang membuat tawa mereka terdengar, apalagi ketika Yoses memang sengaja melucu. Tapi ketika saya butuh konsentrasi dan keseriusan menyampaikan materi, tawa mereka adalah neraka Jahanam.
Tiga belas siswa dengan tiga belas wajah berbeda-beda, tentu dengan kelebihan dan keunikan masing-masing. Jumlah yang terbilang sedikit, tidak perlu meminjam jari orang lain untuk menghitungnya, tapi ini kelas rangkap tiga. Tantangannya cukup besar. 

*** 


Salah satu tantangan terbesar saya dalam menghadapi 13 jagoan ini adalah bahasa. Mereka terbiasa menggunakan bahasa ibu mereka sekalipun di dalam kelas. Tak ayal, ini membuat proses belajar mengajar sedikit tersendat. Maka salah satu PR saya adalah memikirkan metode pengajaran dan pendekatan yang dapat merubah itu. Triying to be creative, then I decide to use Price and Punishment method dengan media kartu.

Sabtu siang pada minggu kedua, saat matahari sedang redup dan angin bertiup sepoi-sepoi. Satu moment yang pastinya sangat suci untuk bobok dan melanglang buana di alam mimpi. Tapi gelisahku pada kondisi peserta didik membuatku terus berpikir dan akhirnya merelakannya untuk menemukan jalan keluar. Kubuka Notebook biruku, menjelajahi beberapa folder usang yang telah lama tidak dikunjungi. Di dalam folder “E-House” terdapat beberapa folder lagi yang salah satunya adalah “Flash cards”. Seumpama membuka peti harta karun, perasaanku deg-degan membaca nama-nama file yang puluhan jumlahnya. 

Star, Smile, and Ooops I speak Bahasa, begitulah nama file yang akhirnya membuat perasaanku lega. Jadi ada gambar bintang berwarna biru, senyum berwarna kuning, dan kalimat singkat berstempel miring yang bermakna “DILARANG”. Semuanya saya cetak sambil memikirkan cara paling efektif untuk menerapkannya. Setelah semua tercetak, kulaminating dengan plester bening agar awet. Singkat cerita, pada sore harinya ketika Jeki datang dengan senyum ompongnya membawa 4 ekor ikan Sapan lima jari, seluruh kartu itu sudah siap pakai. 

“Jek, thank you so much. Say my hello to your parents” Kataku penuh semangat sambil merampas ikan di tangannya.
“Ok. You are very welcome, Sir. Hahaha” Jawabnya sambil tertawa lepas. Sebenarnya tidak ada yang lucu, tapi itulah Jeki, mungkin tulang rusukku yang terlihat menonjol adalah kelucuan parah buatnya. Terserah! Yang penting dapat ikan.   

Senin tiba dengan selamat. Tanpa ritual upacara bendera, kami langsung memadati ruang kelas. Kali ini posisi duduk di modifikasi menyerupai huruf U, alasannya sederhana, pembaharuan. 

“Baiklah para calon pahlawan, Pak guru punya sesuatu yang baru hari ini,” Ucapku sambil mengeluarkan kartu-kartu itu dari saku jas. Mata mereka melotot, penasaran memandangi benda alien yang sedang saya pegang. 
“This is star, semua ikuti, THIS IS STAR” Kataku seraya mengangkat kartu bintang yang dibaliknya telah ada bouble tip sebagai perekat. 
“DISIS STAR” seru mereka kompak tapi penasaran. Saya tempel kartu bintang itu di dada kiri tepat di bawah logo Maju Bersama Mencerdaskan Indonesia.
“Good! Next, this is smile” 
“DISIS SMAIL” balas mereka cepat, lalu kembali kutempel pada bagian dada sebelah kanan, di bawah logo RISTEK DIKTI dan UNM. 
“The Last, Oops, I speak Bahasa” bukannya mengikuti, mereka malah tertawa dan berbicara dengan bahasa mereka sendiri. “Susah, Pak guru!” protes Simson.
“Ok. Sekali lagi Oops, I speak Bahasa” Tidak langsung fasih tapi akhirnya mereka bisa setelah beberapa kali pengulangan. Kemudian, saya jelaskan apa, bagaimana, dan untuk apa ketiga kartu tersebut. 

You know, Philosophy teaches these three things “What”, is about existence, the subject is anthology. “How”, is about process, the subject is epistemology. And, “Why”, is about function, the goal of something created, its subject is axiology. Jadi menurut hemat saya, seorang guru sejatinya ada filsuf, setidaknya ketika berada dalam kelas. 

Ok, kembali ke laptop!   

Saya menjelaskan, setiap siswa yang terdengar menggunakan bahasa daerah selama pelajaran berlangsung akan mendapatkan satu kartu Oops untuk satu kata. Jika siswa hanya menggunakan Bahasa Indonesia atau English maka dia akan mendapatkan satu kartu bergambar senyum. Begitu pula ketika dia berprestasi atau antusias dalam mengikuti pelajaran akan mendapatkan kartu Smile. 10 kartu Senyum bernilai sama dengan satu kartu bintang. Untuk 3 bintang akan langsung mendapatkan hadiah dari saya. 

Mereka sangat gembira mendengar kalimat terakhir, tapi “Ingat, satu kartu Oops berarti mengurangi satu smile. Jadi meskipun kalian banyak dapat smile tapi terdengar berbahasa Punan sementara jam belajar maka tetap akan dikurangi. Understand?” kataku membangunkan mereka dari hayalan menerima hadiah. “Yes, Sir” jawab mereka cepat.

Kelas mendadak jadi senyap sepeti kuburan. Sekalipun ada yang ingin berbicara mereka akan sangat berhati-hati. Ada yang menarik telinga temannya untuk berbisik, namun yang dibisik malah jail dan justru melaporkan pada saya. Di situ kadang dia merasa sedih.  Ada pula yang dengan jujur mengatakan tidak tahu apa terjemahan dari sesuatu yang hendak dia ungkapkan. Seperti kata cyaaap yang berarti ulat. Dion selalu menjadi penerjemah andalan. 

Setiap siswa kemudian menjadi pengawas bagi yang lain. Itu sangat membantu saya untuk mengontrol mereka. Resta, dan Amos tambah bisu. Yaret dan Firaun gali lubang tutup lubang. Menjawab banyak pertanyaan dengan benar tapi spontanitas berbicara membuat mereka kehilangan smile. Yoses jadi berhati-hati melucu. Mika dan Nopel memilih menjadi polisi kelas. Mungkin sadar bahwa mereka sulit menjawab dengan benar tapi giat melaporkan pelanggaran setidaknya dapat memperlambat laju peraihan smile. Cukup cerdik. Adapun Herlina dan Juli kehilangan job karena nyaris tak ada lagi yang diucapkan Resta. Peluang mereka untuk “dekat-dekat” menjadi sempit. 

Senin itu menjadi hari paling mengenaskan buat Simson. Kebiasaannya berkomentar alias ceplas-ceplos menjerumuskannya pada kubang Oops yang hina. 8 kartu berstempel merah menggantung di dada kirinya, tepat di atas kantong. Ajaibnya dia malah bangga. Setidaknya dengan satu alasan, menjadi siswa paling popular. Bagaimana tidak, setiap akan saya beri kartu dia harus mengucapkan “Oops I speak bahasa Punan”. Temannya bertepuk tangan lalu saya meminta tos “Give me five!”. “Plak” kira-kira begitulah bunyinya. 

Setelah beberapa hari berjalan, kelas semakin kondusif karena pembicaraan ngalor-ngidul yang biasa mereka lakukan semakin berkurang. Ketika kelas berakhir, saya berikan satu smile untuk mereka yang hanya berbicara dalam bahasa nasional. Itu kemudian menjadi motifasi untuk yang lain agar juga bisa menahan diri berbicaraa dalam bahasa ibu mereka dan membiasakan diri menggunakan bahasa Indonesia. Di luar pintu setelah saya berikan satu smile mereka akan berkata, “Thank you, ya, Pak guru”, “you are welcome” jawabku. Lalu mereka melanjutkan “sudah bisa speak bahasa punan kan, Pak guru” kujawab dengan anggukan dan dua jempol terangkat. Dengan mantap mereka berseru “Yes!”. Dan pembicaraan dalam bahasa yang super asing di teingaku itu pun langsung memenuhi udara kampung. 

Dalam pengamatanku, cara ini cukup efektif untuk merubah satu kebiasaan. Sedikitpun tidak ada maksud untuk menjauhkan mereka dari bahasa yang tentu telah menjadi satu harta terbesar untuk satu suku di negeri ini. Rintangan dalam menerapkan sebuah aturan pasti selalu ada, pun begitu dengan godaan untuk melanggar aturan yang kita buat sendiri. Dan di situlah tanggung jawab terbesar kita untuk tetap teguh dalam memegang sebuah prinsip yang kita yakini benar lalu sekuat tenaga berjuang untuk memepertahankannya. Sampai akhirnya kita tahu bahwa yang kita perjuangkan itu baik dan benar adanya ataukah hanya angan-angan kita saja. That is what we call persistent.

Dan ini jugalah salah satu alasan mengapa Negara mengirimku ke satu sudut Indonesia, agar saya mampu menanamkan nilai-nilai nasionalisme pada anak-anak di pelosok negeri. Agar mereka paham bahwa Indonesia bukan milik segelintir orang, bahwa Indonesia juga milik mereka, 13 anak yang selalu merindukan kehadiran seorang model. Untuk digugu dan ditiru.

Lamcin, 27 Juli 2016 
Saddang Husain

On SM-3T Mission Gallery

This gallery shows what did i do at Berau Regency during my mission as a young educator on behalf of Maju Bersama Mencerdaskan Indonesia. I am proud of being a witness of a real Indonesia.
karena pendidikan adalah hak segala bangsa