berlibur untuk memupuk semangat.

Libur Lebaran

Ransel hitamku sudah membuncit, mirip perut para pejabat korup yang berseliweran meneriakkan omong kosong di negeri ini. Untuk pertama kalinya setelah setahun, eh salah, sebulan di tanah pengabdian, tasku kembali tersesaki oleh pakaian, peralatan mandi, buku-buku, dan batu mulia, tawas. Ya, libur lebaran telah tiba dan kini saatnya keluar dari “Nusa kambangan”.
Lingkungan hidup yang serba berbeda bahkan cenderung terbalik dari apa yang selama ini saya hadapi berefek pada gejolak fisik dan psikologis. Listrik minim, jaringan blank, masyarakat yang homogen tak se-suku dan tak se-agama, alam liar, dan dunia kerja yang baru membuat pergeseran waktu sangat terasa. Tiap detik yang berlalu bagaikan menit, menit seperti jam, jam seolah hari, hari menyerupai minggu, minggu mirip bulan, dan bulan persis dengan tahun. Maka tak heran jika saya sempat salah menyebut satu bulan sebagai setahun. Ini bukan perkara tidak siap mental atau fisik hanya saja teori relativitas Einstein sedang terjewantahkan dalam hidupku, dan ternyata memang benar, presepsi sebuah subjek terhadap ruang dan waktu itu relative. 
Ketinting berkekuatan 16 PK milik pak Mared sudah siap untuk mengangkut kami menyebrangi sungai Kelay, sungai indah tempatku mandi, mencuci, bermain dan membangun keakraban dengan anak-anak, menonton orang mencari ikan dan mendulang emas, serta salto-salto, dan sekali-sekali menyelam sambil buang air. Saya, Ahmad dan 6 anak LSM yang bahasa kerennya environmentalists dari perkumpulan Payo-Payo akan segera meluncur ke Tanjung Redeb. 
Kargo puntung, kaos merah, dan sandal outdoor menjadi penutup badanku kali ini, lebih mirip Panji si petualang daripada seorang guru. Biarlah, saya sudah kapok dengan pakaian kebesaran yang serba panjang dan rapi seperti ketika pertama datang akhir Agustus yang lalu. Bagaimana tidak, medannya bukanlah jalan yang lurus dan mulus, melainkan arena off road yang menakutkan, apalagi pakean andalan terasa lebih menyakitkan jika terkena muntahan, potongan yang seperti ini tidaklah terlalu masalah.
Kali ini strada hitam double cabin menjadi tumpangan kami, saya dan Ahmad duduk di belakang bersama tumpukan barang-barang yang mempersulit kami banyak bergerak. Heri dengan mantap duduk di belakang kemudi, menyetel lagu Bugis lalu berteriak lantang “magani, siap?” langsung dijawab oleh penumpang, “brangkat broooo!”. 6 jam kemudian, kami telah berada di ibu kota kabupaten Berau.

***
Tanjung Redeb namapak kelap-kelip dengan lampu jalan yang warna-warni. Suara azdan isya dari pengeras suara mesjid memberikan sensai kebahagiaan tersendiri. Kerinduan pada mesjid sudah terasa sangat akut, sepertinya saya sudah sakau ingin segera bersujud bersama orang-orang muslim di kota ini. 5 kali absen menunaikan solat Jum’at adalah rekor terburuk yang pernah kubuat. Teringat dengan expresi bapak di kampung ketika azan telah berkumandang dan saya masih sok sibuk dengan pekerjaaan atau bermalas-malasan tidak jelas, beliau akan mengomel dengan segala macam dalil dan hadis Nabi yang meluncur dari mulutnya. Itu adalah saat dimana Bapak tampil lebih cerewet dari mama. Sisi feminimnya sontak mendominasi. 
Jika sedari awal dia tahu bahwa di lokasi pengabdian anaknya ini akan jauh dari mesjid, bisa dipastikan bahwa dia tidak akan mengizinkan saya untuk mengemban tugas mulia ini. Di manta Bapak, semulia apapun tugas yang kau emban, jika harus menjauhkanmu dari Tuhan maka segala yang kau kerjakan sama dengan nol, sia-sialah segala waktu, tenaga dan harta yang kau curahkan. Mati sewaktu-waktu wajib masuk neraka. Maafkan anak laki-lakimu ini, pak. Meskipun jauh dari mesjid dan komunitas muslim, saya masih tetap beriman dan menjadikan Allah sebagai pelindung dan pelipur laraku. Bukankah kau sendiri yang pernah mengatakan bahwa Tuhan itu tidak bermalas-malasan di dalam mesjid, Dia ada di  hati kita. So let me fight for our education on behalf of God.
Sebelum melanjutkan perjalanan ke kantor Payo-payo, kami mengisi “kampung tengah” di sebuah rumah makan dekat Gedung Pemuda. Daftar menu yang panjang membuat yang lain bingung menetapkan pilihan, tapi tidak dengan saya. Straight to the point! Bakso. Entah kenapa makanan yang satu ini menempati tingkatan teratas daftar makanan favoritku selain Kapurung, Pacco, dan Lawara. Untungnya, Bakso dapat dengan mudah ditemukan di setiap daerah, ada di Jawa, Sulawesi, Papua, Sumatra, Kalimantan, Aceh, Bali, Maluku, ada di Jalan Jendral Sudirman, ada di Lorong 3, di Gang Husada, di samping pasar, di belakang rumahnya pak haji Colli, pokoknya makanan ini selalu exis, tapi menjadi spesies sangat langka di kampung Lamcin. Ah, lokasiku memang anti mainstream. 
Ibu Linlin menjadi sosok paling keren kali ini, dia mentraktir kami semua menggunakan dana surplus dari program sosialisasi yang dia laksanakan pagi tadi. Mantap, Buk, hemat anggaran terus biar bisa sering-sering mentraktir. 
Payo-payo bermarkas di sebuah rumah permanen bercat kuning dengan aneka jenis tanaman yang tertata rapi di Jl. Murjani III, Gg. Asri Mandiri. Kantor ini adalah kantor cabang mereka yang disewa untuk 4 tahun ke depan sampai kontrak mereka untuk misi pendampingan masyarakan di pedalaman Berau ini berakhir. Saya dan Ahmad untuk sementara menumpang di sini sampai kami mendapatkan informasi dari Mukhlis, Koordiantor Kabupaten perihal Posko atau rumah singgah untuk teman-teman SM-3T yang berlibur ke Kota. 

***
Handphone hitamku yang kini kehilangan beberapa tombol tak henti-hentinya berdering, lagu Alter Bridge berjudul Watch Over You berulang kali mengingatkan untuk segera diangkat. Nama Hadi terlihat di layar. 
“Halo Assalamualaikum” Suaraku tegas dan memberi kesan bahwa saya sangat bahagia.
“Waalaikumussalam” suaranya terdengar kaget, lalu melanjutkan dengan menggebu-gebu “weh dari manako, ndi? Kenapa nda bisa dihubungi hpmu? Baek-baek ji ko ga? Khawatir sekali mama sama bapak, bagaimana itu sekolahmu? Apa kau makan di sana?” dia belum berhenti memberondongiku dengan segala macam pertanyaan, tak memberiku celah untuk menjawab. Sejenak kujauhkan Hp dari telinga lalu menyeruput segelas teh hangat yang diberikan oleh Uci, bendahara Payo-payo. 
Tak jelas lagi apa yang dia katakan, saya hanya tertawa-tawa kecil mendengarkan ekspresi kaka laki-lakiku ini. Dia adalah sosok pahlawan terhebat dalam hidupku, dia lah yang berjuang membanting tulang bekerja keras, dari menarik ojek, mendulang emas, berjualan sayur, ikan, menjadi buruh kasar sampai kini menjadi seorang juru mudi armada republic, dan segala macam pekerjaan halal dia lakukan demi membiayai kuliahku sampai akhirnya bisa menyelesaikan S1. Dia jugalah yang tak henti-hentinya menyemangatiku untuk terus belajar dan bersekolah tinggi hingga cita-citaku bisa tercapai. Bagi Hadi, selama tubuh ini masih mampu, kejarlah semua mimpi-mimpi dan jangan pernah menyerah hanya karena persoalan dana. Mimpiku begitu banyak untuk dikejar, sedangkan bagi dia mimpinya hanya satu, melihat adiknya ini meraih mimpi. Jika dia harus berhenti di bangku SMA, minimal adiknya selesai di tahap yang lebih tinggi.
“Halo, halo, ooo, Useng, manako? Dia sadar kalau saya telah membelot dari percakapan. Secepat kilat saya kembali menyambar Hp dan pertanyaan pamungkasnya meluncur “Kapan kamu pulang?” Haduh, ini belum apa-apa bang.
“Iya, Halo, tadi jaringan jelek. Alhamdulillah kabar aku baik-baik aja” 
“Eh, tunggu tunggu, kayaknya bahasamu berubah”
“Hahaha, tidak ji bos. Masa baru satu bulan langsung pake aku-kamu” kami langsung tertawa geli.
“Baru satu bulan di Kaltim sudah borro, saya ini sudah 3 tahun di Kalteng belum berubah-berubah”
“Beda bos, kamu kan temenan ama orang Palopo juga, nah aku? sama orang Berau!”
“Hah, terserah pale’! Jadi bagaiman di situ, ceritakan dulu e”
“Lokasiku luar biasa, keren sekali. Saya mengajar di perkampungan orang Dayak. Jauh dari kota, cuman 29 KK dalam satu kampung dan hidupnya masih bergantung sama hutan” dengan heboh saya menceritakan semua kesan yang saya dapatkan selama di kampung, dia hanya fokus mendengar dan sesekali menimpali dengan ekspresi takjub. 2 jam berlalu dengan cepat, saya belum bosan menceritakan detailnya tapi sebuah keperluan harus menghentikan percakapan. Ya udahlah bang, intinya aku baik-baik aja. 11 bulan lagi  aku balik kok. Nnah, kumat lagi kan! Hehehe, piss!

***


Wisata 4 pulau
Saat sedang berada di mesjid menunaikan ibadah solat Jum’at, saya sengaja berlama-lama untuk melepas rindu dan sekaligus balas dendam. Mungkin dengan tinggal 5 kali lebih lama dari banyak Jum’at yang telah lalu, dosa-dosaku bisa terampuni atau paling tidak dimaklumi. Saya duduk bersila sementara orang-orang telah meninggalkan mesjid, bertebaran di muka bumi mencari rezki. Setelah benar-benar merasa lega, saya kembali ke rumah dan ternyata sebuah rencana hebat telah menanti. Anak Payo-payo akan berwisata ke Pulau Derawan, Maratua, Kakaban, dan Sangalaki. Sungguh bodoh jika ajakan ini saya tolak. Baru satu malam meninggalkan puncak gunung, kini kami bersiap untuk menjelajahi lautan. Ah, mumpung masih di Berau, saya harus menginjakkan kaki di setiap sudut-sudut kabupaten ini. Apalagi keempat Pulau yang akan kami kunjungi adalah destinasi wisata bahari bertaraf internasional. Plus cost trip yang dipangkas abis karena saya dan Ahmad terhitung sebagai anak bawang. “Berapa aja boleh asal tidak di bawahnya 500 ribu.” Kata Bang Icul sambil bercanda. Saya sedikit ragu tapi Ahmad meyakinkan, “OK kita berangkaaat!”
Avanza putih yang lagi-lagi di nahkodai oleh Heri, menjadi carteran kami sore ini. Masih terasa kepusingan perjalanan 6 jam kemarin sore dan sekarang 5 jam perjalanan darat ke arah timur menuju Tanjung Batu menjadi tantangan selanjutnya. Lelah memang lelah tapi ini demi pengalaman hidup, demi satu cerita di hari esok. 
...bersambung...

2 Response to "berlibur untuk memupuk semangat."

  1. Unknown says:
    21 Juni 2016 pukul 10.10

    Di tunggu cerita sambungannya

  2. Unknown says:
    21 Juni 2016 pukul 11.38

    ok temangs. thanks for visiting

Posting Komentar

On SM-3T Mission Gallery

This gallery shows what did i do at Berau Regency during my mission as a young educator on behalf of Maju Bersama Mencerdaskan Indonesia. I am proud of being a witness of a real Indonesia.
karena pendidikan adalah hak segala bangsa